Sekretaris Fraksi Partai Gerindra DPR, Bambang Haryadi, mengusulkan aturan pembatasan kepemilikan akun media sosial (medsos) dan nomor ponsel. Menurutnya, setiap warga hanya boleh memiliki satu akun medsos dan satu nomor telepon seluler.
Usulan itu ia sampaikan pekan ini di Jakarta, merespons merebaknya isu liar mengenai Rahayu Saraswati alias Sara Djojohadikusumo, keponakan Presiden Prabowo Subianto. Sara disebut-sebut mundur dari DPR untuk masuk kabinet, isu yang menurut Bambang menggambarkan betapa terbukanya ruang medsos hingga sulit menyaring kabar benar atau salah.
“Jadi kita kan paham bahwa social media itu benar-benar sangat terbuka dan susah. Isu apapun bisa dilakukan di sana,” kata Bambang.
“Bahkan kami berpendapat bahwa ke depan, perlu juga single account. Setiap warga negara hanya boleh memiliki satu akun. Kami belajar dari Swiss, misalnya, satu warga negara hanya punya satu nomor telepon. Hanya satu punya akun sosmed,” tambahnya.
Bambang menilai pembatasan tersebut penting agar masyarakat lebih bertanggung jawab dalam bermedsos. Dengan aturan itu, katanya, akun anonim maupun buzzer bisa hilang. Ia menegaskan langkah itu bukan pembatasan demokrasi, melainkan perlindungan agar kebebasan tidak disalahgunakan.
“Kita kan paham bahwa era sosial media ini sangat sedikit brutal. Kadang isu yang belum pas, kadang dimakan dengan... digoreng sedemikian rupa,” ujarnya. Ia menambahkan, pembatasan ini diharapkan mencegah framing negatif terhadap individu maupun lembaga.
Usulan ini menuai kritik dari kalangan pegiat hak digital dan hukum. Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif Institute for Policy Research and Advocacy (ELSAM), mengatakan pembatasan satu orang satu akun medsos berpotensi melanggar hak privasi dan kebebasan berekspresi.
“Satu akun pun bisa saja menyebarkan disinformasi. Jadi bukan jumlah akun yang menjadi masalah, melainkan perilakunya,” katanya, seperti dikutip dari Kompas.com.
Pandangan serupa datang dari Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Menurutnya, kebebasan berekspresi adalah hak konstitusional warga negara. Ia menilai solusi yang lebih tepat adalah memperkuat literasi digital, bukan membatasi kepemilikan akun.
Pernyataan Bambang soal “aturan Swiss” ikut menjadi sorotan. Apluswire.com belum menemukan adanya regulasi seperti yang dimaksud. Tim juga mencoba menanyakan kepada dua model kecerdasan buatan, Gemini dan ChatGPT, mengenai keberadaan aturan pembatasan satu nomor ponsel dan satu akun media sosial untuk satu orang di Swiss. Hasilnya, baik Gemini maupun ChatGPT menyatakan tidak ada aturan semacam itu di Swiss.
Sejumlah media sebelumnya juga sudah melakukan verifikasi serupa. Tempo.co dan Kumparan, misalnya, menegaskan bahwa pemerintah Swiss tidak memiliki regulasi yang membatasi kepemilikan akun media sosial. Negara itu justru dikenal sangat ketat dalam melindungi kebebasan berekspresi dan privasi warganya.
Usulan pembatasan akun medsos bukan kali pertama muncul dari lingkaran pemerintah. Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi juga pernah mewacanakan penggunaan Kartu Tanda Penduduk Digital untuk verifikasi akun, meski belum spesifik mengatur jumlah akun per orang.
Beberapa pengamat menilai wacana verifikasi identitas ketat di ruang digital kerap digulirkan dengan alasan memerangi hoaks dan konten negatif. Namun, sebagian besar kritik menyoroti potensi dampaknya terhadap demokrasi dan kebebasan sipil.
Media nasional turut menyoroti kontroversi ini. Titik.co menurunkan laporan berjudul “Politikus Gerindra Usul Satu Orang Boleh Punya Satu Akun Medsos, Ditentang Aktivis”.
Sementara Kumparan menulis artikel “Klaim Swiss Punya Aturan Satu Orang Satu Akun Medsos, Benarkah?” yang menegaskan klaim itu keliru.
Dengan begitu, wacana Bambang Haryadi kini ramai diperbincangkan, tidak hanya karena ide pembatasannya, tetapi juga karena klaim soal praktik di Swiss yang terbukti tidak benar, serta kekhawatiran sejumlah pihak akan dampaknya bagi ruang demokrasi di Indonesia.

0Komentar