Pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 oleh Presiden Soekarno bukan karena masalah tunjangan, melainkan karena dinamika politik dan kegagalan DPR mendukung sistem Demokrasi Terpimpin. (Istimewa)


Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, pada 5 Maret 1960 secara resmi membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilu 1955 dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Gotong Royong (DPR-GR). Keputusan ini dikeluarkan melalui Peraturan Presiden No. 3 Tahun 1960 dan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960.

Langkah tersebut dilakukan setelah DPR menolak Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 1960/1961 yang diajukan pemerintah. Penolakan terutama datang dari Partai Masyumi, yang mengkritik kebijakan ekonomi dan arah politik Presiden Soekarno.

Pembubaran DPR kerap disalahpahami sebagai persoalan tunjangan anggota dewan atau hal administratif kecil. 

Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa keputusan itu terkait erat dengan kegagalan DPR mendukung arah politik negara yang digagas Bung Karno melalui sistem Demokrasi Terpimpin.


Latar belakang politik dan kondisi pasca-Pemilu 1955

Pemilu 1955 menjadi pemilihan umum pertama Indonesia yang digelar secara demokratis berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953. 

Pemilu dilaksanakan dalam dua tahap yaitu pemilihan anggota DPR pada 29 September 1955 dan pemilihan anggota Konstituante pada 15 Desember 1955.

Lebih dari 30 partai politik dan ratusan calon perseorangan ikut serta. Hasilnya menunjukkan fragmentasi politik yang tajam:

Partai Nasional Indonesia (PNI) memperoleh 22,3% suara dengan 57 kursi.

Masyumi meraih 20,9% suara dengan 57 kursi.

Nahdlatul Ulama (NU) 18,4% suara dengan 45 kursi.

Partai Komunis Indonesia (PKI) 16,4% suara dengan 39 kursi.

Komposisi ini menghasilkan DPR yang sangat plural tetapi juga sulit mencapai konsensus. Sistem kabinet parlementer yang berlaku kala itu membuat pemerintahan tidak stabil. Sepanjang 1950–1959, lebih dari tujuh kabinet jatuh berganti.

Selain instabilitas politik, perdebatan ideologi antara nasionalis, Islamis, dan komunis kerap menghambat pengambilan keputusan. 

Ketidakmampuan Konstituante menyusun UUD baru memperburuk situasi hingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945.

Meski Konstituante dibubarkan melalui dekrit, DPR hasil Pemilu 1955 masih dipertahankan untuk sementara. 

Soekarno menginginkan parlemen berfungsi mendukung kebijakan pemerintah, termasuk rencana pembangunan nasional dan penerapan Demokrasi Terpimpin.

Namun, kenyataannya DPR justru bersikap kritis terhadap berbagai program pemerintah. Penolakan RAPBN 1960/1961 menjadi puncak ketegangan.

Menurut Prof. Dr. Bambang Purwanto, sejarawan Universitas Indonesia, “Pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 bukan semata persoalan administratif, melainkan refleksi ketidakmampuan parlemen bekerja sama dengan pemerintah dalam menghadapi tantangan ekonomi dan politik.”

Bung Karno berpendapat sistem multipartai memecah belah bangsa dan memperlemah persatuan nasional. Oleh karena itu, ia menggagas konsep Demokrasi Terpimpin dengan peran presiden sebagai pusat kendali pemerintahan.


Reaksi partai politik dan masyarakat

Keputusan pembubaran DPR mendapat respons beragam. Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) memandang langkah tersebut sebagai bentuk otoritarianisme dan pelanggaran prinsip demokrasi. 

Kedua partai kemudian dibubarkan pemerintah pada awal 1960-an karena dianggap menentang kebijakan negara.

Sebaliknya, Partai Komunis Indonesia (PKI) mendukung penuh gagasan Bung Karno. Dukungan ini membuat PKI semakin menonjol dalam politik nasional. 

PNI dan NU, meski memiliki keberatan, cenderung menyesuaikan diri dengan sistem baru agar tetap memiliki ruang dalam pemerintahan.

Reaksi masyarakat umum tidak sekeras di level elit politik. Sebagian besar publik menerima keputusan tersebut, terutama karena keinginan akan stabilitas setelah satu dekade politik yang penuh kegaduhan.

Hj. Raden Siti Mariah, mantan anggota DPR hasil Pemilu 1955, dalam wawancara beberapa tahun kemudian mengakui, “Keberadaan DPR yang diisi banyak partai sering kali menimbulkan kebuntuan, sehingga sulit menetapkan kebijakan yang dibutuhkan pemerintah.”


Respons internasional dan dimensi hukum

Di tingkat internasional, Amerika Serikat dan negara Barat memandang pembubaran DPR sebagai tanda pergeseran Indonesia ke arah sistem yang kurang demokratis. 

Kekhawatiran meningkat karena Bung Karno semakin dekat dengan PKI serta negara-negara blok Timur.

Secara hukum, penggunaan peraturan presiden untuk membubarkan lembaga legislatif menuai perdebatan. Para pengamat menilai langkah ini melemahkan prinsip trias politika yang membagi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. 

Namun, dalam kerangka UUD 1945 hasil dekrit 1959, presiden memiliki ruang yang lebih besar untuk menafsirkan kewenangannya.

Lahirnya DPR Gotong Royong dan Demokrasi Terpimpin

Pasca-pembubaran, Soekarno membentuk DPR Gotong Royong (DPR-GR) dengan anggota yang diangkat langsung oleh presiden. 

Sistem ini tidak lagi berbasis pemilihan umum, melainkan perwakilan kelompok politik dan golongan fungsional yang dianggap mewakili rakyat.

Bersamaan dengan itu, kabinet diganti menjadi Kabinet Gotong Royong. Sejumlah pejabat tinggi negara merangkap jabatan sebagai menteri pembantu presiden, termasuk Ketua MPR, Ketua BPK, dan Ketua Mahkamah Agung.

Langkah ini menandai konsolidasi Demokrasi Terpimpin, di mana peran presiden menjadi pusat kekuasaan negara. Bung Karno menyebut sistem ini sebagai jalan tengah antara demokrasi liberal dan otoritarianisme, dengan semangat gotong royong sebagai landasan.

Pembubaran DPR dan lahirnya Demokrasi Terpimpin membawa konsekuensi besar bagi politik Indonesia. Peran partai politik berkurang drastis, sementara peran presiden dan militer meningkat.

Sistem ini berjalan hingga kejatuhan Bung Karno pada 1966, setelah peristiwa G30S 1965 yang diikuti perubahan drastis menuju Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto.

Menurut Dr. Ahmad Syafii Maarif, cendekiawan dan sejarawan, “Pembubaran DPR 1960 adalah awal dari konsentrasi kekuasaan di tangan presiden. Meski dimaksudkan untuk persatuan, langkah ini menutup ruang oposisi dan membatasi demokrasi.”


Relevansi dengan wacana pembubaran DPR masa kini

Wacana pembubaran DPR muncul kembali dalam diskusi publik modern, terutama saat masyarakat menyoroti besaran tunjangan atau kinerja anggota dewan. Sebagian kalangan mengaitkannya dengan langkah Bung Karno enam dekade lalu.

Namun, konteks saat ini berbeda. Indonesia pasca-Reformasi menganut sistem presidensial dengan mekanisme check and balance yang lebih ketat, termasuk keberadaan Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kebebasan pers.

Seruan pembubaran DPR di era kini lebih banyak didorong faktor kepercayaan publik dan situasi ekonomi, bukan konflik ideologi atau kegagalan sistem parlementer seperti 1950-an.

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Kuskridho Ambardi, menilai, “Membandingkan pembubaran DPR 1960 dengan kondisi saat ini tidak sepenuhnya tepat. Sistem politik Indonesia sekarang jauh lebih mapan dan konstitusi memberikan perlindungan lebih kuat terhadap keberadaan parlemen.”

Keputusan Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 pada dasarnya merupakan respons terhadap stagnasi politik, konflik ideologi, dan kegagalan parlemen mendukung visi Demokrasi Terpimpin. 

Keputusan ini lebih berkaitan dengan konteks politik masa itu dibanding persoalan tunjangan atau urusan administratif.

Peristiwa tersebut menjadi momen penting dalam sejarah politik Indonesia karena membuka jalan bagi lahirnya sistem Demokrasi Terpimpin, yang kemudian berakhir dengan kejatuhan Bung Karno.

Pemahaman mendalam atas konteks sejarah ini penting agar wacana pembubaran DPR di masa kini tidak semata didasarkan pada kekecewaan ekonomi, melainkan melalui evaluasi serius terhadap fungsi dan peran lembaga legislatif dalam sistem demokrasi modern.