![]() |
| Impor air dan es Indonesia melonjak tajam awal 2025. Produk dari China, Prancis, Bahrain, dan UEA mendominasi. Industri lokal dinilai kalah saing. |
Indonesia kembali menghadapi paradoks perdagangan. di tengah wacana kemandirian pangan dan minuman, justru terjadi lonjakan mencolok pada impor air minum dan es sepanjang Januari hingga Mei 2025. Dari air mineral Prancis hingga es dari Uni Emirat Arab, nilainya bukan hanya tumbuh dua atau tiga digit, tapi tembus lima digit pada beberapa kategori.
Menurut data Kementerian Perdagangan, total impor dari empat pos tarif HS utama untuk air dan es HS22011010 (air mineral), HS22011020 (air soda), HS22019090 (air tanpa pemanis), dan HS22019010 (es dan salju) mengalami lonjakan signifikan baik dari sisi nilai maupun volume. Pertumbuhannya, dalam beberapa kasus, nyaris tak masuk akal.
Kategori air tanpa tambahan gula (HS22019090), misalnya, mencatatkan kenaikan nilai impor hingga 7.172,82% year-on-year (YoY), atau setara US$ 564.000.
Volume yang masuk mencapai hampir 12 ton, naik lebih dari 1.100% dibanding periode sama tahun lalu. Yang paling mencolok, 98% dari total nilai ini berasal dari China, yang menyuplai 10,93 ton air naik 546.369% dibandingkan tahun sebelumnya.
Air berkarbonasi (HS22011020) juga melonjak drastis. Dalam lima bulan pertama 2025, Indonesia mengimpor 304 ton air soda senilai US$ 306.000. Angka ini tumbuh 213% secara nilai dan 122% secara volume.
Negara pemasok utamanya adalah Italia (164 ton), Prancis (84 ton), dan Korea Selatan (39 ton), menunjukkan preferensi konsumen Indonesia terhadap merek-merek Eropa seperti San Pellegrino dan Perrier.
Sementara itu, air mineral dalam kemasan (HS22011010) mencatatkan nilai impor terbesar capai US$ 1,742 juta dengan volume 1.707 ton. Yang menarik, Prancis mendominasi pasar ini. Dari negara ini saja, masuk 826 ton air naik hampir 950.000% YoY dengan nilai US$ 870.000 (+11.233%).
Namun yang paling mengejutkan adalah kategori es dan salju (HS22019010). Indonesia mengimpor 367 ton es senilai US$ 263.600, naik masing-masing 709% dan 532% secara volume dan nilai.
Negara asal utamanya bukan dari kawasan dingin, melainkan Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA). Es dari Bahrain mencapai 213 ton, naik 674% dengan nilai US$ 111.900. Dari UEA, volumenya melonjak lebih dari 2.200%.
“Gaya Hidup Premium atau Ketergantungan Impor?”
Pakar perdagangan dari Center for Strategic Economics, Dr. Fitri Ayu Puspasari, menilai fenomena ini sebagai cermin dari naiknya permintaan konsumen kelas menengah-atas Indonesia yang semakin terpapar gaya hidup global.
“Ada tren konsumen Indonesia yang mengasosiasikan air tertentu dengan status sosial entah karena brand luar negeri, kemasan, atau asal negara,” ujarnya.
Air mineral Prancis seperti Evian dan Perrier, misalnya, bukan hanya produk konsumsi, tapi juga simbol gaya hidup. Konsumennya bukan hanya di restoran mewah, tapi juga di kalangan muda urban yang terpapar gaya hidup luar negeri.
Hal serupa terjadi pada air soda Italia dan Prancis yang banyak digunakan dalam industri F&B kelas atas. Munculnya tren mixology dan cocktail premium di kafe maupun bar mendorong permintaan pada produk yang tak diproduksi lokal.
Namun di sisi lain, lonjakan ini memunculkan tanda tanya besar terkait ketahanan konsumsi domestik.
“Ketika air minum pun tergantung pada impor, kita harus bertanya: apa yang salah dengan sistem produksi dan distribusi dalam negeri?” kata ekonom senior INDEF, Rusdy Hartono.
“Es dari Padang Pasir, Apa yang Dicari?”
Yang paling mengundang perhatian adalah tingginya impor es dari Bahrain, UEA, dan Arab Saudi. Negara-negara ini jelas bukan produsen es secara alamiah, karena berada di kawasan gurun dengan suhu rata-rata sangat tinggi. Lalu mengapa Indonesia mengimpor es dari negara-negara ini?
Salah satu hipotesisnya berkaitan dengan industri perhotelan, katering, atau cold chain ekspor yang memerlukan es dalam standar tertentu.
“Bisa jadi es tersebut memiliki spesifikasi industri, misalnya ultra-clear ice untuk keperluan mixology atau es blok untuk pengangkutan seafood premium,” ujar Haryo Nugroho, analis logistik rantai dingin dari LPEM FEB UI.
Faktor lain yang mungkin berperan adalah tarif preferensial dalam perjanjian dagang. Indonesia dan UEA telah menandatangani CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) yang menurunkan tarif impor sejumlah komoditas, termasuk produk HS22. Ini bisa menjelaskan mengapa es dari negara padang pasir bisa masuk dengan harga kompetitif.
Tetapi dalam perspektif kebijakan, ini tetap menjadi anomali. “Bayangkan biaya logistik dan emisi karbon dari pengiriman es ribuan kilometer. Ini tidak efisien dan tidak masuk akal secara keberlanjutan,” kata Fitri Ayu.
“Wacana Substitusi Impor: Sekadar Retorika?”
Pemerintah selama ini gencar mendorong substitusi impor, terutama dalam pangan, air, dan energi. Namun realitas di lapangan menunjukkan sektor air minum dan es justru semakin terbuka terhadap arus barang dari luar.
Data menunjukkan bahwa total nilai impor empat kategori air dan es selama Januari–Mei 2025 sudah mencapai hampir US$ 3 juta, melonjak drastis dibanding periode sama 2024.
Dalam periode yang sama, ekspor Indonesia untuk produk HS22 justru minim. Ekspor ke UAE, misalnya, hanya senilai US$ 2,27 juta sepanjang 2023, sementara impor es dari UEA dalam lima bulan 2025 sudah menembus US$ 100.000.
“Impor air dan es adalah simbol kegagalan substitusi impor pada sektor paling mendasar,” kritik Rusdy. Ia menyarankan pemerintah memberikan insentif kepada produsen air kemasan lokal, terutama yang ingin masuk segmen premium, misalnya dengan teknologi filtrasi mineral tinggi atau kemasan ramah lingkungan.
Selain itu, program pelatihan dan pembiayaan untuk UMKM air minum perlu dilanjutkan dan diarahkan pada penguasaan standar internasional. Sertifikasi halal, food-grade, dan carbon-neutral juga bisa menjadi nilai jual baru bagi pasar ekspor maupun segmen menengah-atas domestik.
Vietnam Jadi Contoh, Indonesia Tertinggal
Data global menunjukkan bahwa Vietnam berhasil mengekspor produk air (HS22019090) ke lebih dari 13.000 destinasi pengiriman di seluruh dunia pada 2024, menjadikannya salah satu eksportir utama dunia. Bandingkan dengan Indonesia yang justru menjadi importir besar, terutama dari China dan negara-negara non-tradisional.
“Vietnam memiliki kebijakan insentif ekspor yang kuat, sekaligus pengendalian impor yang ketat. Indonesia sebaliknya,” ujar Haryo.
Ironisnya, Indonesia justru punya potensi besar. Sumber daya air bersih cukup melimpah, dari pegunungan Jawa hingga perbukitan Sumatera. Masalahnya, kapasitas produksi dan teknologi pemrosesan masih minim.
Lonjakan impor ini seharusnya menjadi momentum untuk evaluasi menyeluruh terhadap strategi industri minuman nonalkohol nasional. Pemerintah perlu membuat peta jalan yang jelas. apakah kita akan terus membuka keran impor untuk produk premium, atau mendorong industri lokal menyaingi kualitas luar negeri?
Dengan penguatan teknologi, insentif fiskal, dan pengendalian impor selektif berbasis kebutuhan industri, Indonesia bisa bertransformasi dari pasar bagi air kemasan luar menjadi pemain ekspor regional.
Seluruh data dalam artikel ini bersumber dari Kementerian Perdagangan RI, Laporan Ekspor-Impor Indonesia 2025, ASEANStats, UN Comtrade, serta pemberitaan dan data sekunder dari CNBC Indonesia (2025). Kutipan dan analisis juga diperkuat dengan wawancara terhadap narasumber ahli ekonomi dari INDEF dan LPEM FEB UI. Data ekspor global mengacu pada Trade Map dan DataVietnam (2024).

0Komentar