![]() |
| Pembantaian Nanjing pada 1937 menewaskan ratusan ribu warga sipil China dan masih menjadi sumber ketegangan diplomatik dengan Jepang. (AFP/Johannes Eisele) |
Hayato Kato, seorang vlogger Jepang dengan 1,9 juta pengikut di platform Douyin, biasanya dikenal lewat konten perjalanan dan humor. Namun pada 26 Juli lalu, ia membagikan video berbeda, yaitu ulasan tentang film Dead To Rights atau Nanjing Photo Studio yang mengisahkan kekejaman militer Jepang saat menyerbu kota Nanjing pada 1937.
Film tersebut menyoroti nasib warga sipil yang berusaha bersembunyi dari tentara Jepang. Dalam video itu, Kato menceritakan adegan memilukan bayi yang dipukuli hingga tewas, warga sipil ditembak di depan umum, serta penderitaan perempuan yang diperkosa.
"Jika kita menyangkalnya, ini akan terjadi lagi," kata Kato dalam videonya. Ia menambahkan, "Sayangnya, film-film perang anti-Jepang ini tidak ditayangkan di Jepang secara publik, dan orang-orang Jepang tidak tertarik untuk menontonnya."
Pesan utama yang ia sampaikan adalah bahwa sejarah kelam tak boleh diabaikan, agar tragedi serupa tidak berulang.
![]() |
| Warga memukul Lonceng Perdamaian di Balai Peringatan Korban Pembantaian Nanjing oleh Penjajah Jepang di Nanjing, Provinsi Jiangsu, Tiongkok timur, 18 September 2023. (FOTO/XINHUA) |
Perang Nanjing bermula Pada akhir 1937, setelah pasukan Jepang berhasil merebut kota Nanjing saat itu ibu kota China serangkaian kekejaman terjadi.
Diperkirakan sekitar 300.000 warga sipil dan tentara China yang menyerah tewas dalam enam minggu kekerasan. Lebih dari 20.000 perempuan diperkosa, mulai dari remaja hingga lanjut usia.
Pembantaian Nanjing menjadi bagian dari Perang Tiongkok-Jepang yang berlangsung panjang, sejak 1931 hingga berakhir bersamaan dengan Perang Dunia II pada 1945.
Menurut berbagai perkiraan, konflik itu menewaskan antara 10 hingga 20 juta jiwa di pihak China. Jepang sendiri kehilangan sekitar 480.000 prajurit.
Selain pembantaian, praktik sistematis “perempuan penghibur” atau ianfu juga meninggalkan luka mendalam.
Sekitar 200.000 perempuan dari berbagai wilayah Asia termasuk dari Hindia Belanda (kini Indonesia) dipaksa bekerja di rumah bordil militer Jepang.
![]() |
| Nanjing Photo Studio merupakan salah satu dari sekian banyak film yang mencoba merekam kembali kengerian Perang Dunia II. (Future Publishing via Getty Images) |
Narasi film Nanjing Photo Studio merangkum atmosfer kecurigaan dan kebencian kala itu. Salah satu dialognya berbunyi: "Kita bukan teman. Kita tidak pernah berteman."
Di Jepang, peristiwa Nanjing sering menjadi topik sensitif. Sebagian publik menekankan bahwa Jepang adalah korban, terutama akibat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki serta kehancuran Tokyo akibat serangan udara Amerika Serikat.
Namun, kelompok sayap kanan di Jepang kerap menolak mengakui kejahatan perang, termasuk pembantaian Nanjing dan praktik ianfu. Beberapa menyebut laporan-laporan itu dilebih-lebihkan atau sekadar propaganda.
Sikap tersebut memicu ketegangan diplomatik, serta membentuk persepsi negatif di negara-negara Asia yang pernah dijajah Jepang.
Seorang warga Tiongkok yang tinggal di Jepang mengatakan kepada media lokal "Orang-orang yang saya kenal di Jepang tidak terlalu membicarakannya. Beberapa orang percaya bahwa tentara Jepang pergi untuk membantu China membangun tatanan baru disertai konflik dalam prosesnya. Tentu saja, ada juga yang mengakui bahwa itu sebenarnya adalah sebuah invasi."
Dengan kata lain, kesadaran sejarah di Jepang masih terbagi antara penyangkalan dan pengakuan.
Di China, sebaliknya, pemerintah menjadikan peristiwa perang melawan Jepang sebagai bagian penting dari identitas nasional. Presiden Xi Jinping mendorong narasi “peremajaan nasional” dengan menekankan patriotisme.
Setiap 3 September, pemerintah menggelar peringatan resmi untuk mengenang kemenangan atas Jepang. Parade militer besar di Lapangan Tiananmen memperkuat pesan bahwa China kini bangkit dari masa lalu yang kelam.
Industri film juga berperan dalam narasi sejarah ini. Film-film seperti Unit 731, Dongji Rescue, dan Mountains and Rivers Bearing Witness menampilkan kekejaman pasukan Jepang dengan tujuan mengingatkan generasi muda akan penderitaan rakyat.
Unggahan media sosial memperlihatkan bagaimana narasi ini disambut publik. Seorang pengguna Weibo menulis: "Satu generasi itu berperang demi tiga generasi, dan menanggung penderitaan demi tiga generasi. Salut untuk para martir."
Komentar lain menekankan kekecewaan terhadap Jepang "Kita bukan teman..., bukan sekadar dialog. Kalimat itu juga berasal dari jutaan rakyat Tiongkok biasa ke Jepang. Mereka [Jepang] tidak pernah menyampaikan permintaan maaf yang tulus…"
![]() |
| Monumen Memorial Pembantaian Nanjing berdiri sebagai pengingat tragedi kelam tahun 1937, ketika pasukan Jepang membantai ratusan ribu warga sipil dan tentara. (Wikimedia Commons) |
Perbedaan cara pandang atas sejarah menjadi hambatan utama dalam rekonsiliasi China-Jepang. Di satu sisi, Jepang ingin menatap masa depan dengan kerja sama ekonomi dan teknologi. Di sisi lain, China menekankan bahwa masa lalu tidak bisa dihapus begitu saja.
Profesor Gi-Wook Shin dari Stanford University menilai, Meskipun perang militer telah berakhir, perang sejarah masih berlanjut.
Yinan He, pakar hubungan internasional dari Seton Hall University, berpendapat bahwa nasionalisme di China membutuhkan musuh eksternal.
"Karena komunisme kehilangan daya tariknya, nasionalisme dibutuhkan. Dan Jepang adalah sasaran empuk karena merupakan [agresor] eksternal terbaru," ujarnya.
Ia menambahkan, "Mereka hanya berkata, 'mari kita lupakan itu, mari kita kesampingkan itu'. Mereka tidak pernah mengurusi sejarah – dan sekarang masalah itu kembali menghantui mereka."
Ketegangan ini tak hanya terjadi di ranah diplomasi. Dalam kehidupan sehari-hari, warga Tiongkok dan Jepang di negara masing-masing juga terdampak. Ada kasus serangan terhadap warga asing, prasangka sosial, hingga boikot produk.
Peringatan Pembantaian Nanjing rutin digelar di China sebagai momen refleksi. Pada peringatan ke-85 tahun, 2022 lalu, pejabat tinggi Partai Komunis menyerukan agar kedua negara membangun kepercayaan dengan tulus.
Namun, reaksi dari Jepang kerap dingin. Kelompok nasionalis di Tokyo menuduh peringatan itu sebagai alat propaganda. Penolakan untuk memberikan permintaan maaf penuh membuat hubungan bilateral kerap kembali tegang.
Di tingkat diplomasi, isu sejarah kerap muncul bersamaan dengan masalah kontemporer. Misalnya, sikap Jepang dalam boikot Olimpiade Beijing dikritik di China sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap luka sejarah.
Meski begitu, hubungan ekonomi tetap berjalan erat. Jepang adalah salah satu mitra dagang terbesar China. Tetapi, narasi sejarah sering muncul sebagai pengingat bahwa luka lama belum sepenuhnya sembuh.
Pendidikan sejarah di Jepang juga menjadi sumber kontroversi. Banyak buku teks sekolah dasar dan menengah yang dinilai mengecilkan atau melemahkan skala kejahatan perang Jepang.
Topik pembantaian Nanjing dan pemerkosaan massal sering hanya disebut sekilas, sementara fokus lebih besar diberikan pada penderitaan Jepang akibat bom atom.
Tekanan dari kelompok nasionalis membuat kurikulum sejarah di Jepang tetap longgar dalam membahas isu ini.
Kritik internasional, terutama dari China dan Korea Selatan, menilai bahwa generasi muda Jepang tidak mendapatkan pemahaman penuh tentang peristiwa tersebut.
![]() |
| Di China, pendidikan tentang masa perang dijadikan alat untuk menanamkan nasionalisme dan memperkuat ingatan kolektif. (Picture Alliance/Photoshot) |
Sebaliknya, di China, topik ini diajarkan secara mendalam sebagai bagian dari pendidikan nasionalisme. Hal ini memperkuat perbedaan persepsi antara kedua negara.
Selain Nanjing, kisah Unit 731 unit riset militer Jepang di Manchuria juga menjadi bagian penting dari narasi sejarah di China. Unit ini diketahui melakukan eksperimen biologis terhadap ribuan tahanan, termasuk anak-anak dan perempuan.
Film dan dokumenter China menggambarkan praktik-praktik brutal seperti pengujian senjata biologis dengan menyebarkan pes, kolera, hingga pembedahan hidup-hidup tanpa anestesi.
Narasi ini digunakan untuk mengingatkan publik pada bahaya perang sekaligus menegaskan kejahatan Jepang. "Unit 731 menjadi simbol kengerian perang biologis yang tidak manusiawi," tulis sebuah ulasan film.
Bagi pemerintah China, penggambaran ini juga berfungsi memperkuat identitas nasional dan menyoroti bahwa Jepang belum sepenuhnya memberikan pengakuan atau permintaan maaf tulus.
Pembantaian Nanjing pada 1937 bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga titik penting dalam hubungan China dan Jepang hingga hari ini. Luka sejarah tersebut terus membayang dalam narasi nasional, pendidikan, hingga diplomasi kedua negara.
Di Jepang, ingatan tentang perang kerap berfokus pada penderitaan sendiri, sementara di China, narasi berpusat pada perlawanan terhadap agresor. Perbedaan cara memandang sejarah ini membuat rekonsiliasi berjalan lambat.
Lantas, apakah generasi baru di kedua negara mampu melampaui luka masa lalu, atau sejarah akan terus menjadi tembok yang memisahkan China dan Jepang?







0Komentar