![]() |
| Ekonomi Rusia menghadapi tekanan besar akibat sanksi Barat dan isolasi global setelah kehilangan dukungan dari negara-negara sekutu utama. (AP) |
Rusia tengah menghadapi kekuatan penuh negara-negara Barat tanpa dukungan aliansi besar. Di dalam negeri, tekanan ekonomi mulai terasa, dari sektor industri hingga konsumsi rumah tangga. Situasi ini disorot langsung oleh Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dalam forum Territory of Meanings akhir Juli 2025. Dalam pernyataannya, Lavrov menyebut Rusia kini “berjuang sendirian melawan seluruh Barat” dalam konflik berkepanjangan di Ukraina.
Ucapan itu bukan sekadar retorika, melainkan cerminan realitas baru pascainvasi 2022. Moskow harus menghadapi sanksi ekonomi, tekanan diplomatik, dan isolasi geopolitik tanpa sokongan sekutu kuat seperti sebelumnya.
“Dalam Perang Dunia I dan II, kami memiliki sekutu. Sekarang kami tidak memiliki sekutu di medan perang. Jadi kami harus mengandalkan diri kami sendiri dan tidak mengizinkan adanya kelemahan,” tegas Lavrov.
Namun, kekuatan geopolitik tak selalu berbanding lurus dengan ketahanan ekonomi. Di balik retorika kedaulatan dan perlawanan terhadap NATO, Rusia menunjukkan tanda-tanda serius dari tekanan domestik. Konsumsi menurun, investasi mandek, dan sektor industri mulai melambat.
Posisi Rusia Pasca-Invasi Ukraina
Lavrov menggarisbawahi bahwa tuntutan Rusia tetap tidak berubah sejak awal konflik, dengan tidak ada perluasan NATO dan tidak ada keanggotaan Ukraina dalam blok militer tersebut.
Ia menuduh Barat mengingkari perjanjian yang pernah dibuat, dan menyamakan blok Barat dengan anak besar yang suka mengganggu yang lemah di taman bermain.
“Ketika Anda masih anak-anak bermain... terkadang seorang anak besar, yang lebih tua tiga atau empat tahun, muncul dan mulai mengejar yang kecil. Itu kira-kira apa yang dilakukan Barat kepada semua orang saat ini,” sindir Lavrov.
Namun strategi “berdiri sendiri” itu menuntut ongkos ekonomi yang tidak kecil. Rusia kini sepenuhnya mengandalkan ekspor energi, cadangan devisa, dan hubungan dengan negara-negara non-Barat.
Ketika tekanan internasional terus menumpuk, gejolak mulai terasa di pasar domestik. Banyak pelaku industri kini kehilangan optimisme, dan tanda-tanda perlambatan mulai tak bisa disembunyikan.
Peringatan paling serius datang dari Boris Titov, penasihat ekonomi Presiden Putin. Dalam evaluasi terbarunya, ia mengungkap bahwa hanya 48% perusahaan Rusia yang masih melakukan investasi (turun dari 64% tahun lalu), dan hanya 35% yang tengah bersiap meluncurkan produk baru (turun dari 50%).
“Hasilnya, meskipun sudah diperkirakan, tetap mengecewakan,” ujar Titov.
Ekonomi mulai retak
Indikator lain juga tak kalah mengkhawatirkan. Indeks Manajer Pembelian (PMI) sektor jasa Rusia, yang menjadi barometer penting aktivitas ekonomi domestik, turun menjadi 49,2 pada Juni 2025 dari 52,2 di bulan sebelumnya. Angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi. Ini adalah penurunan pertama sejak Juni 2024.
![]() |
| Permintaan konsumen yang melemah masih menjadi hambatan utama sektor jasa Rusia di tengah harapan pemulihan teknikal pada akhir 2025. (AP) |
Beberapa faktor utama penyebabnya adalah permintaan konsumen yang melemah, perlambatan penjualan baru, serta inflasi input yang meski sudah melandai ke level terendah lima tahun, masih cukup membebani biaya produksi.
Proyeksi jangka panjang memang terlihat sedikit optimis PMI jasa diperkirakan naik kembali ke 52,8 pada akhir kuartal III-2025 dan stabil di sekitar 52 pada 2026–2027. Namun sebagian analis melihat rebound ini akan lebih bersifat teknikal, bukan fundamental.
Yang lebih kentara adalah menurunnya konsumsi domestik. Penjualan mobil, salah satu indikator kunci daya beli masyarakat kelas menengah, anjlok 30% pada Juni 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Bank Sentral Rusia telah memangkas suku bunga dua kali berturut-turut pertama 1%, kemudian 2% untuk merangsang konsumsi dan investasi. Namun langkah itu belum mampu membalikkan tren negatif.
Menteri Ekonomi Maxim Reshetnikov akhirnya angkat suara. “Kami berada di ambang masuk ke dalam resesi,” ujarnya, mengindikasikan bahwa kontraksi teknikal bisa saja terjadi di kuartal akhir 2025.
Belanja negara makin terfokus militer
Secara makro, Rusia masih memiliki bantalan ekonomi yang kuat cadangan internasional mereka dilaporkan mencapai rekor Rp11.137 triliun.
![]() |
| Cadangan devisa Rusia tetap kuat dan jadi penyangga fiskal utama di tengah anjloknya ekspor migas ke Eropa. (The Moskow Times) |
Cadangan ini berhasil menjaga stabilitas rubel dan mendukung ketahanan fiskal meski ekspor migas ke Eropa terus tergerus. Namun, kuatnya cadangan bukan berarti ekonomi aman dari erosi struktural.
Dalam praktiknya, prioritas belanja negara kini lebih fokus pada sektor pertahanan ketimbang kebutuhan sipil. Ini memicu kekhawatiran bahwa kualitas layanan publik, infrastruktur, dan kesejahteraan sosial akan semakin terpinggirkan.
Sebagai langkah antisipasi, Rusia memperkuat ekspansi sektor strategis non-Barat, terutama energi nuklir. Melalui Rosatom, Moskow memulai proyek pengolahan uranium senilai Rp22,82 triliun di Tanzania, dengan target produksi 3.000 ton per tahun pada 2029. Proyek ini juga menciptakan 4.000 lapangan kerja dan memperkuat pengaruh Rusia di Afrika.
Rencana serupa juga disiapkan di Namibia dengan nilai investasi Rp8,15 triliun. Kedua proyek ini menjadi simbol penting strategi energi Rusia untuk mengurangi ketergantungan pada pasar Eropa.
Di tengah embargo dan pembatasan Barat, Rusia tetap mendorong diplomasi ekonomi aktif ke kawasan Asia Tenggara. Salah satu sorotan penting adalah Forum Bisnis Indonesia–Rusia yang digelar pada April 2025.
Forum tersebut membahas peluang investasi di sektor teknologi digital, energi, dan manufaktur. Selain itu, Rusia juga mendorong percepatan perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Ekonomi Eurasia (EAEU), yang akan membuka akses pasar baru bagi eksportir Rusia dan mitra dagangnya.
Perusahaan migas Rusia, Zarubezhneft, juga memastikan tetap berinvestasi di Blok Tuna di Natuna meski sempat tersiar kabar penundaan akibat sanksi Barat. Proyek ini krusial bukan hanya dari sisi energi, tetapi juga posisi strategis kawasan yang bersinggungan dengan klaim Laut China Selatan.
Kemitraan Rusia dengan negara-negara seperti Indonesia menunjukkan bahwa meski isolasi Barat nyata, peluang Rusia di Global South belum sepenuhnya tertutup.
Rusia kuat tapi terkurung
Kombinasi antara isolasi geopolitik, tekanan domestik, dan belanja militer yang agresif membuat ekonomi Rusia berada di persimpangan jalan.
Strategi “berdiri sendiri” memang berhasil dalam beberapa hal, seperti menjaga surplus perdagangan dan membangun proyek-proyek energi strategis. Namun kerentanan struktural mulai terlihat dari sektor jasa, industri, hingga konsumsi rumah tangga.
Lavrov menegaskan bahwa Rusia tidak akan mundur dari tuntutan keamanannya. Tapi di sisi lain, suara-suara dari dalam negeri seperti Boris Titov dan Maxim Reshetnikov menggambarkan kekhawatiran nyata tentang kelangsungan ekonomi jangka menengah.
Jika konsumsi terus menurun dan investasi industri tak kembali dalam enam bulan ke depan, resesi bisa menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan. Meski demikian, sektor-sektor seperti energi dan nuklir mungkin akan tetap menjadi penyangga utama ekonomi Rusia.



0Komentar