![]() |
| Investasi China di Indonesia capai US$35,3 miliar sejak 2020, tumbuh 31% dalam enam tahun terakhir dengan fokus hilirisasi logam dan kendaraan listrik. (AFP/PHOTO STR) |
Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM mencatat realisasi investasi asal China di Indonesia mencapai US$35,3 miliar atau sekitar Rp578,8 triliun sejak 2020 hingga semester I/2025. Angka itu tumbuh 31% dalam enam tahun terakhir, menjadikan China salah satu investor terbesar di Indonesia.
Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi sekaligus Wakil Kepala BKPM, Todotua Pasaribu, menyebut sebagian besar investasi mengalir ke industri pengolahan logam dengan nilai mencapai US$15,55 miliar (sekitar Rp254 triliun).
Menurutnya, tren ini memperlihatkan peran strategis modal asal China dalam mendorong hilirisasi, terutama di sektor mineral yang menopang transformasi ekonomi nasional.
“Kontribusi investor China sangat signifikan di sektor pengolahan logam, termasuk nikel dan stainless steel. Ini sejalan dengan arah kebijakan hilirisasi yang menjadi prioritas pemerintah,” kata Todotua dalam keterangan resmi, Senin (26/8).
Sektor utama penerima investasi
Data BKPM menunjukkan industri pengolahan logam menyerap sekitar 44% dari total investasi China di Indonesia sejak 2020. Setelah itu, sektor transportasi, pergudangan, dan telekomunikasi tercatat menerima US$6,39 miliar atau 18%.
Industri kimia dan farmasi juga menjadi salah satu tujuan penting dengan investasi senilai US$3,41 miliar atau 10% dari total. Selebihnya mengalir ke sektor energi, properti, dan manufaktur lain.
Menurut catatan BKPM, investasi tersebut tidak hanya terpusat di Jawa, melainkan juga tersebar ke sejumlah kawasan industri di Sulawesi, Kalimantan, dan Kepulauan Riau.
Namun, Jawa tetap menjadi tujuan utama karena basis populasi dan infrastruktur pendukung yang relatif lengkap.
Sejumlah proyek utama yang didukung investasi China kini menjadi bagian penting dari peta industri dan infrastruktur Indonesia.
Di Sulawesi Tengah, kawasan industri Morowali (IMIP) menjadi pusat pengolahan nikel dan baterai kendaraan listrik.
Di Sulawesi Tenggara, proyek serupa hadir di Kawasan Industri Konawe yang dikelola oleh PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM) dan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), dengan fasilitas smelter dan pabrik feronikel.
Di luar sektor mineral, investor China juga membiayai pembangunan infrastruktur besar. Misalnya, Waduk Jatigede di Jawa Barat yang mendapat dukungan pendanaan dari Bank Exim China, serta Jalan Tol Medan–Kualanamu di Sumatera Utara yang sebagian besar dananya berasal dari pinjaman serupa.
![]() |
| Proyek kereta cepat WHOOSH merupakan hasil kerja sama strategis antara Indonesia dan China, melalui PT Kereta Cepat Indonesia China. (Dok. KCIC) |
Untuk transportasi massal, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCIC) senilai US$7,3 miliar adalah salah satu contoh paling menonjol keterlibatan investor China dalam pembangunan infrastruktur strategis.
Investasi juga masuk ke Kepulauan Riau melalui PT Bintan Alumina Indonesia (BAI) di KEK Galang Batang dengan nilai Rp14 triliun, yang saat ini menyerap lebih dari 4.000 pekerja.
Selain itu, Xinyi Group dari China menanamkan modal sebesar US$11,6 miliar di Batam untuk pengembangan industri kaca panel surya dengan rencana penyerapan tenaga kerja hingga 35.000 orang.
Sementara itu, di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur, pemerintah mencatat pembangunan Kawasan Industri Kalimantan (KIKI dan KIPI) yang meliputi pelabuhan umum, terminal khusus petrokimia, dan pabrik industri petrokimia.
Di Jawa Tengah, sejumlah proyek berbeda juga tengah berjalan, mulai dari pengelolaan sampah terintegrasi, pembangunan rumah sakit internasional, tanggul laut raksasa (Giant Sea Wall) di pesisir Pantura, hingga pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Batang.
Dukungan kebijakan dan kerja sama bilateral
Selain realisasi investasi, pemerintah Indonesia dan China pada Mei 2025 menandatangani dua nota kesepahaman strategis.
![]() |
| Peletakan batu pertama Kawasan Industri Batang di bawah Two Countries Twin Parks China-Indonesia mulai dibangun di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Minggu (10/12/2023). (ANTARA/Xinhua). |
Kesepakatan tersebut mencakup pengembangan twin industrial parks serta penggunaan mata uang lokal (Local Currency Settlement/LCS) untuk memperkuat transaksi bilateral.
Menurut Todotua, penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan dan investasi akan mengurangi ketergantungan pada dolar AS serta meningkatkan efisiensi.
“Skema LCS memberi ruang yang lebih fleksibel bagi pelaku usaha di kedua negara,” ujarnya.
Sejumlah lembaga keuangan juga terlibat mendukung proyek-proyek tersebut. OCBC Indonesia, bersama mitra perbankan asal China, menyediakan pembiayaan untuk sektor industri, pengelolaan kas lintas negara, hingga trade finance.
Layanan ini diarahkan agar lebih banyak transaksi antarperusahaan dapat diselesaikan menggunakan mata uang lokal.
Peran strategis dalam hilirisasi
Sejak 2013, investor China menjadi salah satu pemain terbesar di sektor mineral Indonesia, dengan keterlibatan dalam lebih dari 48% dari sekitar 50 proyek mineral nasional.
Keterlibatan ini semakin menonjol setelah pemerintah mempercepat kebijakan hilirisasi mineral, khususnya larangan ekspor bahan mentah.
Modal dari perusahaan-perusahaan China masuk ke sektor smelter, industri pengolahan nikel, hingga rantai pasok kendaraan listrik (EV).
Di Morowali, investasi yang dikelola bersama perusahaan lokal telah menghasilkan ekosistem industri terintegrasi, mulai dari pengolahan nikel hingga produksi komponen baterai kendaraan listrik. Perusahaan seperti Yadea dan BYD juga telah membangun fasilitas produksi EV di Indonesia.
Pemerintah menilai tren ini berperan penting untuk memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global, terutama di tengah transisi energi dunia.
“Investasi hilirisasi yang masuk bukan hanya soal modal, tetapi juga transfer teknologi dan perluasan lapangan kerja,” kata Todotua.
Meskipun pertumbuhan investasi China tercatat signifikan, sejumlah pengamat menilai ada tantangan yang perlu diperhatikan.
Beberapa di antaranya terkait ketergantungan modal asing pada sektor mineral, isu lingkungan dari aktivitas smelter, serta kapasitas tenaga kerja lokal untuk beradaptasi dengan teknologi baru.
Pemerintah menegaskan bahwa peningkatan ekosistem investasi akan terus didorong melalui perbaikan regulasi dan percepatan pelayanan.
“Kami memastikan iklim investasi di Indonesia tetap kondusif dengan tata kelola yang lebih baik, agar investasi membawa manfaat luas bagi masyarakat,” kata Todotua.
Selain itu, kerja sama dengan berbagai negara termasuk China disebut tidak hanya soal penanaman modal, tetapi juga mencakup penguatan kapasitas industri dalam negeri agar mampu bersaing di pasar global.
Latar belakang hubungan ekonomi
China telah menjadi mitra dagang terbesar Indonesia dalam satu dekade terakhir. Nilai perdagangan kedua negara pada 2024 tercatat lebih dari US$127 miliar, dengan ekspor utama Indonesia berupa batu bara, minyak sawit, serta produk mineral.
Hubungan ekonomi tersebut diperkuat dengan masuknya investasi dalam skala besar, terutama di sektor energi dan manufaktur.
Sejumlah proyek infrastruktur strategis, termasuk kereta cepat, bendungan, dan kawasan industri, menjadi simbol keterlibatan modal China di Indonesia.
Dengan pertumbuhan 31% dalam enam tahun terakhir, investasi asal China kini menjadi bagian penting dari strategi hilirisasi Indonesia.
Pemerintah menargetkan agar pola ini tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi jangka pendek, tetapi juga memperkuat daya saing industri nasional di masa depan.





0Komentar