Pengamat menilai Presiden Prabowo Subianto keliru karena hanya menyampaikan belasungkawa tanpa permintaan maaf usai tragedi tewasnya pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang dilindas kendaraan taktis Brimob di Jakarta. (Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden)

Presiden Prabowo Subianto meminta masyarakat tetap percaya kepada pemerintahannya dan mewaspadai pihak-pihak yang disebut ingin membuat kekacauan, menyusul gelombang demonstrasi di Jakarta dan tragedi tewasnya pengemudi ojek online, Affan Kurniawan. 

Namun, pernyataan itu menuai kritik karena dinilai tidak disertai permintaan maaf langsung dari kepala negara.

Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Virdika Rizky Utama, menilai sikap Prabowo lahir dari ketakutan menghadapi kemarahan publik. 

“Prabowo tahu publik sedang marah, sedang bertanya, sedang menuntut. Dia takut kalau kemarahan itu berubah jadi delegitimasi,” ujar Virdika saat dihubungi, Jumat (29/8/2025).

Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, meninggal dunia setelah dilindas kendaraan taktis Brimob Polda Metro Jaya ketika polisi membubarkan demonstrasi di kawasan Rusun Bendungan Hilir II, Jakarta Pusat, pada Kamis (28/8/2025). 

Insiden ini memicu gelombang protes baru dari komunitas ojek online dan kelompok masyarakat sipil.

Dalam keterangan pers yang disampaikan melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Prabowo menyampaikan belasungkawa. Ia mengaku kaget dan kecewa atas tindakan aparat. 

Presiden juga memerintahkan agar kasus ini diusut tuntas dan menegaskan akan ada transparansi serta penegakan hukum terhadap petugas jika terbukti bersalah.

Namun, Prabowo tidak mengucapkan permintaan maaf secara langsung. Hal ini berbeda dengan langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang segera mendatangi RSCM, menyampaikan permintaan maaf resmi kepada keluarga korban, serta berjanji melakukan evaluasi menyeluruh di tubuh Polri.

Virdika menilai sikap Prabowo yang hanya menyampaikan belasungkawa tanpa permintaan maaf merupakan bentuk penghindaran tanggung jawab politik. 

“Permintaan maaf adalah bentuk paling dasar dari tanggung jawab. Tapi Prabowo tidak memilih itu. Dia memilih untuk tetap berada di posisi netral, seolah-olah dia hanya pengamat, bukan pelaku,” kata dia.

Menurut Virdika, belasungkawa tanpa maaf “kosong”. Ia menekankan, jika Presiden tidak meminta maaf, maka negara seakan menolak mengakui ada yang rusak secara struktural dalam penanganan aksi. 

“Hal itu berbahaya. Karena kalau negara tidak bisa mengakui kesalahan, maka kekerasan akan terus jadi bagian dari cara kerja,” ujarnya.

Sejumlah pengamat lain juga menilai seharusnya Presiden meminta maaf secara langsung. Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menekankan bahwa permintaan maaf perlu disertai evaluasi total SOP penggunaan kekuatan dan kepemimpinan Polri, bukan sekadar ucapan duka dan santunan.

Sementara peneliti kebijakan publik Riko Noviantoro menilai Presiden perlu hadir langsung di tengah keluarga korban. 

“Selain menyampaikan belasungkawa secara pribadi, Presiden harus memastikan perlindungan maksimal dan penegakan hukum yang tegas. Dialog dengan pihak terkait juga penting untuk meredakan ketegangan,” ujarnya.

Pengamat komunikasi politik Bawono Kumoro menilai pernyataan Presiden sudah memuat simpati, janji penegakan hukum, serta jaminan bagi keluarga korban. 

Namun, ia menekankan pentingnya publik mengawal agar janji tersebut benar-benar dijalankan secara transparan.

Insiden tewasnya Affan Kurniawan kini menjadi sorotan luas, baik di kalangan masyarakat maupun komunitas ojek online. Tragedi ini menambah tekanan politik terhadap pemerintahan Prabowo yang baru berjalan beberapa bulan.

Bagi sejumlah pengamat, kepercayaan publik tidak bisa sekadar diminta. Ia harus dibangun melalui pengakuan kesalahan dan tindakan nyata. 

Jika pemerintah gagal menunjukkan transparansi dan akuntabilitas, ketidakpuasan publik dikhawatirkan berkembang menjadi krisis legitimasi bagi kepemimpinan Presiden.