Wacana pembubaran DPR kembali mencuat di tengah sorotan publik terhadap kinerja anggota dewan. Banyak pihak mempertanyakan, sejauh mana hal ini memungkinkan secara hukum dan politik dalam sistem presidensial Indonesia. (RES)

Isu pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mencuat di tengah sorotan publik terhadap kinerja anggota dewan. Publik sering menyuarakan kemarahan terhadap perilaku anggota DPR, mulai dari absensi rapat, kontroversi kebijakan, hingga dugaan ketidakberpihakan pada kepentingan rakyat. 

Apakah secara hukum dan politik pembubaran DPR memungkinkan dilakukan di Indonesia saat ini?

Secara konstitusional, DPR tidak dapat dibubarkan oleh presiden maupun rakyat secara langsung. Kedudukan DPR dan presiden sejajar dalam sistem presidensial Indonesia, sebagaimana ditegaskan Pasal 7C UUD 1945. 

Satu-satunya cara teoretis membubarkan DPR adalah melalui amandemen UUD 1945, langkah yang secara praktik sangat sulit dilakukan karena melibatkan persetujuan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang anggotanya sebagian besar adalah juga anggota DPR.


Mekanisme Hukum DPR Saat Ini

DPR merupakan lembaga legislatif yang dipilih melalui pemilu oleh rakyat untuk masa jabatan lima tahun. 

Dalam proses pemilihannya, rakyat memiliki peran langsung melalui pemungutan suara, namun tidak memiliki mekanisme untuk membubarkan lembaga secara kolektif sebelum masa jabatannya berakhir.

Anggota DPR dapat berhenti secara individu berdasarkan beberapa kondisi. Peraturan DPR RI No. 01 Tahun 2009 Pasal 13 Ayat 2 menyebutkan bahwa anggota DPR dapat diberhentikan apabila:

• Tidak mampu mengemban tugas selama tiga bulan berturut-turut tanpa keterangan resmi

• Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota

• Diberhentikan oleh partai politik sesuai ketentuan perundang-undangan

• Melakukan pelanggaran kode etik atau tindak pidana dengan ancaman minimal lima tahun penjara

Markus Gunawan dalam Buku Pintar Calon Anggota & Anggota Legislatif (2008) menegaskan, meski anggota DPR dapat diberhentikan secara individu, tidak ada ketentuan konstitusional yang memungkinkan rakyat membubarkan DPR secara keseluruhan sebelum masa jabatan berakhir.

Dr. Kuskridho Ambardi, pengamat politik Universitas Gadjah Mada, menegaskan, “Rakyat tidak memiliki jalur langsung untuk membubarkan DPR. Sistem presidensial Indonesia menempatkan DPR dan presiden pada kedudukan yang sejajar sehingga keduanya tidak bisa saling menjatuhkan. Perubahan besar hanya bisa melalui amandemen UUD 1945.”

Secara praktis, amandemen UUD untuk menghapus DPR akan menghadapi hambatan besar. MPR yang mengajukan dan menyetujui amandemen terdiri atas anggota DPR sendiri. 

Logikanya, sebagian besar anggota DPR harus menyetujui penghapusan lembaga tempat mereka bekerja, suatu hal yang hampir tidak mungkin terjadi.


Soekarno dan DPR 1955

Sejarah memberikan contoh pembubaran legislatif oleh presiden, namun konteksnya berbeda jauh dengan era sekarang. Presiden Soekarno pada 5 Maret 1960 membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 melalui Peraturan Presiden No. 3 Tahun 1960. 

Keputusan ini muncul karena DPR menolak Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1960/1961, terutama dari Partai Masyumi.

Sejarawan Prof. Dr. Bambang Purwanto menjelaskan, “Pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 bukan semata persoalan administratif, melainkan refleksi ketidakmampuan parlemen bekerja sama dengan pemerintah menghadapi tantangan ekonomi dan politik.”

Langkah Soekarno di era Demokrasi Terpimpin berbeda secara fundamental dari sistem konstitusi saat ini. DPR dibubarkan karena stagnasi politik, fragmentasi ideologi, dan perlunya stabilitas nasional, bukan karena tuntutan publik semata. 

Saat itu, presiden memiliki ruang lebih besar melalui dekrit, sedangkan sekarang sistem presidensial Indonesia membatasi kekuasaan eksekutif untuk membubarkan legislatif.


Jalan Hukum dan Politik Saat Ini

Secara hukum modern, DPR hanya bisa berakhir sesuai masa jabatan lima tahun dan akan digantikan DPR hasil pemilu berikutnya. 

Rakyat memiliki pengaruh melalui partisipasi politik yaitu memilih wakil yang kredibel, mengawasi kinerja, dan menekan partai politik agar mengusung calon berkualitas.

Alternatif radikal yang kadang muncul dalam diskursus publik, seperti revolusi atau kudeta untuk membubarkan DPR, jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hukum. 

Dr. Kuskridho Ambardi menekankan, “Cara-cara kekerasan untuk membubarkan DPR tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga membawa risiko destabilitas politik dan sosial yang besar. Demokrasi modern tidak menoleransi solusi semacam itu.”

Selain itu, mekanisme pengawasan internal DPR masih bisa diperkuat. Komisi Etik DPR, Badan Kehormatan, dan pengawasan oleh media serta lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan instrumen untuk menindak anggota DPR yang menyalahgunakan kewenangan.

Wacana pembubaran DPR sering muncul saat masyarakat menyoroti kinerja dewan atau isu tunjangan anggota dewan. 

Survei opini publik menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR relatif rendah, terutama terkait transparansi anggaran dan efektivitas legislasi.

Namun, menurut Dr. Kuskridho Ambardi, “Kemarahan publik bukan basis hukum untuk membubarkan DPR. Demokrasi bukan sekadar lembaga, tapi proses yang menuntut partisipasi cerdas. Mengganti lembaga secara paksa bertentangan dengan prinsip hukum dan stabilitas negara.”

Pendidikan politik, literasi publik, dan partisipasi pemilu menjadi kunci untuk menyehatkan lembaga legislatif. Rakyat dapat mendorong akuntabilitas melalui pemilihan wakil yang berkualitas, pengawasan media, serta advokasi kebijakan.


Studi Banding dengan Sistem Parlementer

Di negara dengan sistem parlementer, kepala negara bisa membubarkan parlemen. Contohnya, Perdana Menteri atau Raja memiliki kewenangan tertentu untuk memanggil pemilu baru ketika parlemen tidak stabil. Mekanisme ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan eksekutif dan legislatif.

Indonesia berbeda. Sistem presidensial menempatkan presiden dan DPR pada posisi sejajar, sehingga pembubaran DPR secara eksekutif tidak dimungkinkan.

Tujuannya menjaga kestabilan pemerintahan, mencegah monopoli kekuasaan, dan memastikan legislasi dilakukan melalui proses konstitusional.

Berdasarkan hukum dan praktik demokrasi saat ini, DPR tidak dapat dibubarkan oleh presiden atau rakyat secara langsung. 

Jalan satu-satunya secara teoritis adalah melalui amandemen UUD 1945, yang secara politik hampir mustahil dilakukan. 

Sejarah pembubaran DPR oleh Soekarno hanya menjadi konteks yang menunjukkan bahwa langkah ekstrim mungkin dilakukan di masa lalu, namun dengan konsekuensi serius dan berbeda dari era demokrasi modern.

Rakyat memiliki peran dalam membentuk dan memperbaiki DPR melalui partisipasi politik, pemilu, dan pengawasan terhadap kinerja anggota legislatif. 

Solusi realistis bukan menghapus lembaga, tetapi menata mekanisme kontrol internal, meningkatkan transparansi, dan menekan praktik korupsi serta politik transaksional.

Dr. Kuskridho Ambardi menyimpulkan, “Pembubaran DPR bukan jawaban bagi krisis kepercayaan publik. Jalan yang aman dan konstitusional adalah memperkuat demokrasi melalui partisipasi politik dan akuntabilitas.”

Dengan demikian, wacana pembubaran DPR sebaiknya dilihat dari perspektif konstitusi dan politik modern. 

Publik perlu memahami bahwa DPR, sebagai lembaga legislatif, hanya bisa diperbaiki melalui proses demokrasi, bukan dihapus secara sepihak. 

Pendidikan politik, literasi pemilih, dan pengawasan berkelanjutan menjadi instrumen utama untuk memastikan DPR menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan sesuai kepentingan rakyat.