Proyek ambisius penulisan ulang sejarah Indonesia mulai memasuki babak baru. DPR telah menggelar uji publik untuk memastikan narasi sejarah nasional yang baru ini diterima masyarakat, dengan melibatkan akademisi dari Universitas Andalas (Unand), Universitas Diponegoro (Undip), dan Universitas Hasanuddin (Unhas).
Proses uji publik sudah berjalan sejak awal Juli 2025, dengan Kementerian Kebudayaan bersiap menggelar uji publik lanjutan pada akhir bulan ini.
Proyek ini berpotensi membentuk ulang pemahaman kolektif bangsa, namun juga menuai polemik di kalangan DPR dan masyarakat sipil.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon, otak di balik proyek ini, menegaskan bahwa DPR telah memulai langkah konkret.
"Teman-teman DPR juga kemarin sudah mulai di Universitas Andalas, di Undip, dan Universitas Hasanuddin," ujar Fadli dalam acara pagelaran wayang kulit Polri, Jumat (4/7).
Ia menambahkan bahwa uji publik dari Kementerian Kebudayaan akan digelar pada Juli ini untuk mengumpulkan masukan masyarakat, memastikan narasi sejarah yang disusun tidak hanya menjadi monopoli akademisi atau elite politik.
Proyek ini sendiri sudah berjalan lebih dari 7 bulan, dengan progres mencapai 70-80%. Melibatkan 113 sejarawan dari 34 perguruan tinggi di Indonesia, penulisan ulang sejarah ini dipimpin oleh Guru Besar Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi.
Hasilnya akan dikemas dalam 11 jilid yang mencakup sejarah Nusantara sejak masa pra-sejarah hingga era reformasi, bahkan hingga periode kontemporer.
"Kami tidak hanya bicara politik atau konflik, tapi juga budaya, sains, dan peradaban," kata Fadli, menekankan pendekatan ilmiah proyek ini.
Namun, proyek ini tidak berjalan mulus. Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI-P, Mercy Chriesty Barends, memperingatkan bahwa penulisan ulang sejarah berpotensi menyakiti korban peristiwa kelam, seperti tragedi pemerkosaan massal Mei 1998, yang dikonfirmasi tetap dimasukkan dalam narasi.
"Sejarah tidak boleh selektif. Masih banyak kegelapan yang belum terungkap," tegas Mercy.
Sementara itu, Habib Syarief Muhammad dari Fraksi PKB menyoroti waktu yang terlalu singkat—hanya 7 bulan untuk menyusun sejarah sekomprehensif ini, ditambah kurangnya sosialisasi.
"Prosesnya terasa tertutup, dan kami tidak tahu siapa saja yang terlibat," kritiknya.
Fadli Zon menanggapi santai. "Ya, biasalah, kita dulu juga begitu," ujarnya, merujuk pada polemik serupa di masa lalu.
Ia menegaskan bahwa proyek ini jauh dari kepentingan politik dan sepenuhnya diserahkan kepada sejarawan.
"Lihat dulu hasilnya, jangan menghakimi sesuatu yang belum ada," tambahnya, seraya menjanjikan transparansi melalui uji publik yang akan melibatkan masyarakat luas.
Pada 2 Juli 2025, Koalisi Masyarakat Sipil bahkan menggelar aksi protes di Gedung DPR, menuntut penghentian proyek ini dan menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, yang dianggap terkait dengan narasi sejarah yang sensitif.
Dengan melibatkan Unand, Undip, dan Unhas, DPR berupaya menunjukkan bahwa proyek ini tidak hanya berpusat di Jakarta, tetapi juga merangkul perspektif akademik dari berbagai daerah.
Uji publik ini menjadi ujian kunci: mampukah proyek ini merangkul masukan publik tanpa terjebak dalam polemik politik?
Sejarawan senior dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Bambang Purwanto, menilai langkah ini positif, namun menekankan pentingnya keterbukaan. "Uji publik harus benar-benar terbuka, tidak sekadar formalitas. Jika tidak, kepercayaan publik bisa anjlok," katanya.
Proyek ini, dengan anggaran yang belum diungkap secara detail, diprediksi akan selesai dalam beberapa bulan ke depan.
Dengan 70-80% penyelesaian, tekanan kini ada pada Fadli Zon dan timnya untuk memastikan bahwa 11 jilid sejarah ini tidak hanya akurat, tetapi juga diterima oleh masyarakat yang terdampak langsung oleh narasi sejarah dari korban peristiwa kelam hingga generasi muda yang akan mewarisi cerita bangsa ini.
Akankah proyek ini menjadi tonggak baru identitas nasional, atau justru memicu ledakan kontroversi baru?
0Komentar