Trump ancam cabut kewarganegaraan Zohran Mamdani dan Elon Musk atas sikap politik dan konflik subsidi. (Foto: TT)

Ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mencabut kewarganegaraan dua tokoh publik, Zohran Mamdani dan Elon Musk, kembali mengguncang jagat politik dan bisnis. 

Kapan ancaman ini dilontarkan? Pekan ini, Trump secara terbuka menyuarakan niatnya melalui konferensi pers dan unggahan di Truth Social, menargetkan Mamdani atas penolakannya terhadap operasi deportasi ICE dan Musk karena konflik terkait pencabutan subsidi kendaraan listrik. 

Hukum AS membatasi denaturalisasi hanya pada kasus penipuan atau kejahatan berat, dan para ahli menilai peluangnya sangat kecil. 

Mamdani, kandidat wali kota New York, dan Musk, pendiri Tesla dan SpaceX, kini berada di tengah sorotan, bersama isu imigrasi dan kebijakan ekonomi AS.

Kisruh ini bermula dari dua front berbeda. Zohran Mamdani, politikus Partai Demokrat berusia 33 tahun yang lahir di Kampala, Uganda, menjadi sorotan setelah menolak bekerja sama dengan operasi deportasi yang digawangi agen Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE). 

Mamdani, yang pindah ke AS pada usia tujuh tahun dan resmi menjadi warga negara pada 2018 melalui naturalisasi, dituduh menyembunyikan dukungan terhadap terorisme. 

Tuduhan ini muncul dari surat anggota DPR Partai Republik, Andy Ogles, pada 26 Juni 2025, yang meminta Departemen Kehakiman AS menyelidiki Mamdani. 

Ogles menuding Mamdani mendukung lima tokoh Holy Land Foundation, yang dihukum pada 2008 atas tuduhan mendanai Hamas, organisasi yang dicap teroris oleh AS. 

Mamdani juga dikritik karena tidak mengecam seruan "globalize the intifada" dan berjanji menghalangi deportasi ICE di New York.

Trump langsung merespons keras. Dalam konferensi pers, ia menyatakan, "Jika dia mencegah ICE menegakkan hukum, maka kami akan menangkapnya." 

Mamdani membalas melalui akun X-nya, menyebut ancaman Trump sebagai upaya menakut-nakuti karena ia menolak "membiarkan ICE meneror kota ini." Namun, tuduhan terhadap Mamdani tampaknya lebih berbau politik. 

Michael Kagan, profesor hukum dari University of Nevada, menegaskan bahwa denaturalisasi hanya bisa dilakukan jika ada bukti penipuan material saat naturalisasi. 

"Kasus ini lebih seperti retorika politik untuk menakut-nakuti lawan," ujar Kagan, dikutip dari Al Jazeera pada 3 Juli 2025. 

Hingga kini, tidak ada laporan kasus pengadilan yang menargetkan Mamdani, dan tuduhan Ogles dinilai lemah oleh Council on American-Islamic Relations (CAIR), yang menyebutnya "rasis dan anti-Muslim."

Di sisi lain, ancaman terhadap Elon Musk, pendiri Tesla dan SpaceX, muncul dari ketegangan ekonomi dan politik. 

Musk, yang lahir di Pretoria, Afrika Selatan, pada 1971 dan menjadi warga negara AS pada 2002, kini berhadapan dengan Trump setelah paket pengeluaran "Big Beautiful Bill" disahkan Senat pada Juni 2025. 

Kebijakan ini mencabut subsidi kendaraan listrik, yang selama ini mengerek keuntungan Tesla. 

Dalam unggahan di Truth Social, Trump menyindir, "Tanpa subsidi, Elon mungkin harus menutup tokonya dan pulang ke Afrika Selatan. Tidak ada lagi peluncuran roket, satelit, atau produksi mobil listrik. Negara kita bisa hemat besar!" 

Ketika ditanya wartawan soal kemungkinan mendeportasi Musk, Trump menjawab ambigu, "Kita akan lihat. Mungkin kita perlu minta tim efisiensi (DOGE) untuk periksa dia."

Isu Musk juga terkait spekulasi masa lalunya. Laporan The Washington Post pada Oktober 2024 menyebut Musk mungkin bekerja di AS tanpa izin pada 1990-an, saat ia masih berstatus pelajar dengan visa J-1, yang kemudian beralih ke H-1B untuk tenaga ahli asing. 

Musk sendiri membantah tuduhan ini, menegaskan bahwa ia selalu mematuhi aturan imigrasi. 

Artikel Wired pada 1 November 2024 menyebutkan bahwa denaturalisasi Musk mungkin terjadi jika terbukti ia berbohong dalam formulir imigrasi, tetapi hingga 5 Juli 2025, tidak ada tindakan hukum konkret yang dilaporkan. 

"Tidak ada bukti kuat bahwa Musk melakukan penipuan material saat naturalisasi," kata seorang ahli hukum imigrasi yang dikutip TIME pada 4 Juli 2025.

Secara hukum, denaturalisasi di AS diatur ketat. Menurut Immigration Forum, kewarganegaraan hanya bisa dicabut jika terbukti adanya penipuan dalam proses naturalisasi, keterlibatan dalam kejahatan berat seperti terorisme atau kejahatan perang, atau pengkhianatan terhadap AS. 

Proses ini memerlukan perintah pengadilan, baik melalui jalur sipil maupun kriminal, dan beban pembuktian ada pada pemerintah. 

Untuk Mamdani, tuduhan dukungan terhadap terorisme tidak disertai bukti bahwa ia menyembunyikan informasi saat naturalisasi pada 2018. 

Untuk Musk, spekulasi tentang pelanggaran visa di masa lalu belum terbukti, dan tidak ada kasus aktif yang menargetkannya.

Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa administrasi Trump, melalui memo pada 11 Juni 2025, mendorong denaturalisasi untuk ancaman keamanan nasional, tetapi tidak menyebut nama Mamdani atau Musk secara spesifik, menurut The Hill pada 2 Juli 2025. 

Meski tokoh seperti Rudy Giuliani mendukung langkah terhadap Mamdani, peluang keberhasilan tetap rendah. 

"Denaturalisasi adalah proses rumit yang jarang berhasil tanpa bukti kuat," kata Kagan. 

Data historis mendukung: sejak 2000, hanya sekitar 150 kasus denaturalisasi terjadi di AS, sebagian besar terkait kejahatan perang atau terorisme, menurut laporan TIME.

Dampak ancaman ini lebih terasa di ranah politik dan publik. Bagi Mamdani, ancaman ini memperkuat narasi bahwa ia menjadi target karena sikap progresifnya, yang dapat mengerek dukungan dari basis pemilihnya di New York. 

Bagi Musk, konflik dengan Trump berisiko mengganggu operasi Tesla, yang menguasai 65% pangsa pasar kendaraan listrik AS pada 2024, menurut Statista. 

Pencabutan subsidi sendiri diprediksi dapat memangkas keuntungan Tesla hingga 20% dalam dua tahun, menurut proyeksi Bloomberg pada Juni 2025. 

Namun, ancaman deportasi atau denaturalisasi terhadap Musk tampaknya lebih sebagai sindiran politik ketimbang langkah hukum serius.

Jadi, mungkinkah Trump mencabut kewarganegaraan Mamdani dan Musk? 

Hingga kini, peluangnya sangat kecil. Hukum AS menuntut bukti kuat yang belum ada, dan ancaman ini lebih condong sebagai manuver politik untuk menekan lawan. Meski begitu, dinamika politik AS yang bergejolak membuat situasi ini tetap layak dipantau.