Uang kertas BRICS pecahan 200 memicu perdebatan tentang ambisi mengurangi dominasi dolar AS. Meski bukan alat tukar resmi, simbol ini dinilai punya pesan politik kuat. (Foto: via X)

Uang kertas pecahan 200 dengan simbol negara-negara BRICS menjadi perbincangan hangat di media sosial, bertepatan dengan gelaran KTT BRICS 2025 di Brasil. 

Gambar uang ini, yang menampilkan bendera dan burung nasional dari anggota seperti Rusia, China, India, Brasil, Afrika Selatan, serta anggota baru seperti Iran dan Uni Emirat Arab, memicu spekulasi: apakah ini langkah nyata menuju mata uang bersama atau sekadar simbol politik?

Faktanya, uang ini tak punya nilai tukar resmi dan bukan alat pembayaran sah. Namun, kehadirannya menandakan ambisi besar sebagian anggota BRICS untuk menantang dominasi dolar AS di panggung global.

Uang kertas ini pertama kali mencuri perhatian pada KTT BRICS 2024 di Kazan, Rusia, ketika Presiden Vladimir Putin memamerkan prototipenya. 

Pada 18 Juni 2025, Putin kembali menampilkannya di Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg (SPIEF), menegaskan narasi bahwa BRICS sedang mencari alternatif sistem keuangan berbasis dolar. 

Menurut laporan The Financial Express, desainnya mencakup burung nasional seperti beruang untuk Rusia dan singa untuk Afrika Selatan, yang disebut oleh Evgeny Fedorov, CEO ARM-Registr yang merancangnya, sebagai simbol “multipolaritas dan kesetaraan” ala “Kapal Nuh” untuk menyelamatkan dunia dari krisis keuangan global. 

Meski tampak resmi, AFP Fact Check menegaskan bahwa uang ini hanya suvenir, tanpa status legal atau nilai di pasar keuangan.

Seberapa besar dampaknya? Hingga kini, uang kertas BRICS pecahan 200 hanya viral di dunia maya, tanpa keberadaan nyata sebagai alat tukar. 

Kyiv Post menyebutnya sebagai gimmick politik yang jauh dari realisasi ekonomi. Namun, kehadirannya mencerminkan ambisi geopolitik Rusia, China, dan Iran untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS, terutama di tengah sanksi ekonomi Barat. 

Rusia dan Iran, misalnya, ingin mendorong sistem transaksi alternatif di luar SWIFT, jaringan pembayaran internasional yang didominasi Barat. Data dari Reuters menunjukkan bahwa 90% transaksi global masih menggunakan dolar AS, sehingga ide mata uang BRICS menjadi tantangan besar.

Namun, tidak semua anggota BRICS sejalan. India, Brasil, Afrika Selatan, dan UEA menunjukkan sikap hati-hati. 

Watcher Guru melaporkan bahwa India secara terbuka menolak gagasan mata uang bersama, dengan alasan tidak ingin satu mata uang mendominasi blok. 

Perbedaan pandangan ini menjadi batu sandungan utama. “BRICS bukanlah aliansi monolithik. Setiap negara punya prioritas ekonomi dan geopolitik sendiri,” kata Dr. Anil Sooklal, Duta Besar Afrika Selatan untuk BRICS, dalam wawancara dengan Sputnik Globe

Ia menambahkan bahwa meski ide mata uang bersama menarik, implementasinya bisa memakan waktu hingga satu dekade karena disparitas ekonomi.

Ambisi ini juga memicu spekulasi bahwa China sedang memanfaatkan BRICS untuk memperluas pengaruh ekonominya. 

Menurut Bay of Bengal Post, China mendorong penggunaan yuan dalam perdagangan antar-anggota, dengan transaksi lintas batas menggunakan yuan meningkat 15% sejak 2023. 

Di sisi lain, Rusia dan Iran melihat mata uang BRICS sebagai cara untuk melindungi ekonomi mereka dari sanksi. Namun, tanpa konsensus, proyek ini tetap di ranah wacana. 

Polling pasca-KTT Kazan, seperti dilansir Wikipedia, mengungkapkan bahwa 39% responden global bahkan tidak tahu apa itu BRICS, menunjukkan tantangan dalam membangun kesadaran publik.

Bagi pelaku pasar, kehadiran uang kertas ini belum mengguncang stabilitas keuangan global. “Ini lebih ke sinyal politik daripada langkah ekonomi konkret,” ujar Prof. Eswar Prasad, ekonom dari Cornell University, kepada Reuters

Ia menilai peluang mata uang BRICS menggantikan dolar dalam waktu dekat hanya 5-10%, mengingat kompleksitas infrastruktur keuangan global. 

New Development Bank, lengan keuangan BRICS, juga belum mengonfirmasi rencana mata uang bersama, seperti dilaporkan Eastern Herald.

Jadi, apakah uang kertas BRICS pecahan 200 ini simbol atau cikal bakal realita ekonomi baru? Untuk saat ini, ia lebih sebagai pernyataan politik yang menggambarkan visi dunia multipolar. 

Namun, tanpa kesepakatan politik dan harmonisasi ekonomi di antara anggota, mimpi mata uang bersama masih jauh dari kenyataan. 

Yang pasti, kehadiran uang ini telah berhasil memicu diskusi global tentang masa depan tatanan keuangan dunia.