![]() |
Indonesia melarang pengibaran bendera Israel, mencerminkan sikap tegas terhadap isu Palestina dan konsistensi kebijakan luar negeri RI. (Pexels) |
Indonesia tegas melarang pengibaran bendera Israel di wilayahnya, sebuah kebijakan yang kembali mencuri perhatian setelah finalis Miss Indonesia 2025, Merince Kogoya, didiskualifikasi akibat video kontroversial.
Larangan pengibaran bendera Israel diatur dalam Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 3 Tahun 2019, tepatnya pada Bab X, poin B Nomor 150.
Aturan ini melarang penggunaan bendera, lambang, atribut, hingga pengumandangan lagu kebangsaan Israel di Indonesia.
Diteken oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada 2019, kebijakan ini mencerminkan sikap Indonesia yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan konsisten mendukung perjuangan Palestina.
"Aturan ini bukan sekadar formalitas, tetapi cerminan posisi Indonesia di panggung global yang menolak normalisasi dengan Israel sebelum kemerdekaan Palestina tercapai," ujar Dr. Hikmahanto Juwana, pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia.
Data dari Kementerian Luar Negeri menunjukkan, Indonesia telah menolak hubungan resmi dengan Israel sejak 1948, dengan kebijakan ini diperkuat melalui berbagai regulasi, termasuk larangan surat-menyurat resmi dan penerimaan delegasi Israel di tempat resmi.
Kunjungan warga Israel pun dibatasi ketat, hanya diizinkan dengan paspor biasa dan visa melalui Kedutaan Besar RI di Singapura atau Bangkok.
Kasus Merince Kogoya
Kebijakan ini menjadi sorotan setelah Merince Kogoya, finalis Miss Indonesia 2025 dari Papua Pegunungan, didiskualifikasi pada akhir Juni 2025.
Pemicunya, sebuah video lama yang diunggah pada 16 Mei 2023 di akun Instagram pribadinya (@kogoya_merry), menunjukkan Merince mengibarkan bendera Israel dengan caption, "Giat bagi SION, Setia bagi YERUSALEM, Berdiri bagi ISRAEL."
Video ini viral di tengah karantina Miss Indonesia, memicu kemarahan publik di media sosial.
"Video itu dianggap bertentangan dengan nilai kebangsaan dan sensitivitas Indonesia terhadap isu Palestina," kata Rina Dewi, pengamat budaya populer. "Reaksi publik sangat kuat, dengan lebih dari 70% komentar di X mendukung diskualifikasi Merince berdasarkan sentimen pro-Palestina."
Panitia Miss Indonesia segera bertindak, menggantikan Merince dengan Karmen Anastasya. Meski Merince mengklarifikasi bahwa tindakannya bukan dukungan politik melainkan ekspresi iman Kristen, keputusan diskualifikasi tetap ditegakkan.
"Ini soal konsistensi dengan kebijakan nasional dan ekspektasi publik terhadap figur publik," tambah Rina.
Dampak Sosial dan Politik dari Larangan Ini
Figur publik seperti Merince, yang diharapkan mewakili nilai nasional, menjadi sorotan utama. Data dari Google Trends menunjukkan lonjakan 120% pencarian terkait "Merince Kogoya" dan "bendera Israel" pada akhir Juni 2025, mencerminkan betapa sensitifnya isu ini di Indonesia.
Bagi pemerintah, aturan ini memperkuat posisi Indonesia sebagai pendukung Palestina di mata dunia.
"Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar, dan sikap pro-Palestina adalah bagian dari identitas politik kami," ujar Hikmahanto. "Pelanggaran aturan ini, meski oleh individu, bisa memicu reaksi keras karena sentimen publik sangat kuat."
Di sisi lain, kasus ini juga menyoroti tantangan bagi figur publik di era media sosial. "Satu unggahan bisa menghancurkan karier, terutama jika bertentangan dengan kebijakan nasional yang sensitif," kata Rina.
Dampaknya tidak hanya pada Merince, tetapi juga pada panitia Miss Indonesia yang harus menjaga reputasi acara di tengah tekanan publik.
Lebih dari Sekadar Larangan, Ini Soal Identitas Nasional
Larangan pengibaran bendera Israel bukan sekadar aturan teknis, tetapi simbol komitmen Indonesia terhadap isu Palestina.
Dengan 87% penduduk Indonesia beragama Islam (BPS, 2020), dukungan terhadap Palestina adalah isu yang menyentuh hati masyarakat.
Kasus Merince Kogoya menjadi pengingat bahwa tindakan individu, terutama figur publik, dapat memiliki konsekuensi besar di tengah dinamika politik global.
"Kebijakan ini akan terus relevan selama konflik Israel-Palestina belum usai," tutup Hikmahanto. "Indonesia tidak hanya menjaga sikap diplomatik, tetapi juga memastikan nilai-nilai nasional tercermin dalam setiap aspek kehidupan publik."
0Komentar