Kehadiran Prabowo di KTT BRICS 2025 memicu kekhawatiran soal arah kebijakan luar negeri Indonesia dan mengancam prinsip bebas-aktif yang telah lama dijunjung. (mehrnews.com)

Indonesia resmi bergabung dengan BRICS pada 7 Januari 2025, sebuah langkah bersejarah yang menandai keterlibatan lebih dalam di panggung global. Namun, kehadiran Presiden Prabowo Subianto di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Rio de Janeiro, Brasil, pada 5-6 Juli 2025, justru memicu kontroversi. 

Langkah ini, yang diklaim sebagai wujud diplomasi bebas-aktif, berisiko menyeret Indonesia ke dalam persepsi sebagai pendukung poros revisionis Rusia-China-Iran. 

Di tengah situasi geopolitik dunia yang memanas, mulai dari perang Rusia-Ukraina hingga ketegangan Israel-Iran, kebijakan luar negeri Prabowo berpotensi menciptakan mispersepsi dan miskalkulasi. 

Reputasi Indonesia sebagai negara nonblok, yang telah dibangun sejak Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955, kini dipertaruhkan. Pemerintah, masyarakat global, dan pelaku ekonomi menjadi pihak yang terdampak langsung dari dinamika ini.

BRICS: Langkah Ekonomi atau Jebakan Geopolitik?

Keanggotaan Indonesia di BRICS, yang kini mencakup Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, serta anggota baru seperti Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, menawarkan peluang ekonomi signifikan. 

BRICS menyumbang sekitar 30% Produk Domestik Bruto (PDB) global dan memiliki populasi lebih dari 3,2 miliar jiwa, atau hampir 40% populasi dunia. 

Prabowo Subianto menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-17 yang diselenggarakan di Museum of Modern Art, Rio de Janeiro, Brasil. (Foto: Facebook Presiden Prabowo Subianto)

New Development Bank (NDB), bank pembangunan BRICS, berpotensi mendanai proyek infrastruktur Indonesia, yang pada 2024 mencatat kebutuhan investasi hingga Rp 6.000 triliun untuk periode 2025-2029. 

Prabowo sendiri menegaskan bahwa Indonesia bergabung untuk memperkuat suara negara-negara Selatan, bukan untuk memihak kubu tertentu. 

Dalam pidatonya di KTT BRICS, ia menawarkan Indonesia sebagai jembatan antara BRICS dan ASEAN, sebuah gagasan yang disambut positif oleh beberapa pemimpin.

Namun, di balik retorika ekonomi, BRICS bukanlah sekadar klub pembangunan. Radityo Dharmaputra, pengamat hubungan internasional dari Universitas Airlangga, memperingatkan bahwa BRICS kini semakin berbau revisionis. 

“Rusia dan China menggunakan BRICS untuk melawan hegemoni Barat, bukan hanya untuk kerja sama ekonomi,” ujarnya.

Pernyataan bersama KTT BRICS 2025, yang mengutuk serangan Ukraina ke wilayah Rusia tanpa menyebut invasi Rusia ke Ukraina yang telah menewaskan lebih dari 40.000 jiwa sejak 2022, menjadi bukti kuat. 

Indonesia, yang tidak bersuara kritis dalam forum ini, berisiko dianggap sebagai pion geopolitik Rusia.

Mispersepsi: Indonesia di Mata Barat

Langkah Prabowo, terutama kunjungannya ke Rusia pada Juni 2025 dan pujiannya terhadap Rusia serta China yang disebut “tidak menerapkan standar ganda,” memicu kekhawatiran. 

Idil Syawfi, akademisi dari Universitas Katolik Parahyangan, menilai bahwa Barat, khususnya Amerika Serikat (AS), melihat BRICS sebagai ancaman terhadap tatanan dunia yang dipimpin Barat. 

“AS memandang Rusia, China, dan Iran sebagai poros revisionis. Kehadiran Indonesia di BRICS bisa dianggap sebagai legitimasi terhadap poros ini,” katanya.

Ancaman tarif 100% dari Presiden AS Donald Trump pada November 2024 terhadap negara BRICS yang mencoba menggantikan dolar AS menambah tekanan.

PRESIDEN Prabowo Subianto (kanan).(Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr).                                                                                             

Fakta bahwa Rusia melanggar asas kemanusiaan di Ukraina dan China dituduh melakukan pelanggaran HAM di Xinjiang memperumit posisi Indonesia. 

Jika Indonesia terus mengecam Israel atas dugaan genosida di Palestina—dengan korban lebih dari 38.000 jiwa per Oktober 2024—tapi diam terhadap isu Ukraina dan Xinjiang, tuduhan munafik akan sulit dihindari. Ini mengancam prinsip bebas-aktif yang selama ini menjadi pilar diplomasi Indonesia.

Reputasi Nonblok di Ujung Tanduk

Reputasi Indonesia sebagai negara nonblok, yang lahir dari semangat KAA 1955, bergantung pada kemampuannya bersikap netral dan kritis di semua forum. 

Namun, sikap Prabowo yang terkesan performatif, seperti kritik tajamnya terhadap standar ganda Barat tanpa menyeimbangkannya dengan kritik terhadap Rusia atau China, menciptakan persepsi bahwa Indonesia condong ke timur. 

“Indonesia harus terlibat di semua forum BRICS, ASEAN, G20, G77 dan berani bersuara keras, termasuk terhadap sesama anggota BRICS,” tegas Radityo.

Kegagalan Indonesia memanfaatkan peringatan 70 tahun KAA pada 2025 untuk memperbarui komitmen terhadap nonblok juga disorot.

Mohamad Rosyidin, dosen hubungan internasional dari Universitas Diponegoro, mencontohkan India sebagai anggota BRICS yang berhasil menjaga hubungan dengan Barat. 

“Indonesia harus belajar dari India, yang tetap jadi sekutu Barat sambil aktif di BRICS,” ujarnya.

Tanpa keseimbangan ini, reputasi Indonesia sebagai negara nonblok yang dihormati di panggung global, yang telah dibangun selama hampir tujuh dekade, terancam luntur.

BRICS Bukan Representasi Negara Berkembang

Meski sering diklaim sebagai suara Global South, BRICS bukanlah representasi murni negara berkembang. China, dengan PDB lebih dari $18 triliun pada 2024, dan Rusia, dengan kekuatan militer global, jelas bukan negara berkembang. 

“BRICS adalah klub elite yang kini semakin revisionis,” kata Radityo. 

Narasi Global South sering digunakan Rusia dan China untuk memajukan agenda geopolitik mereka. 

Presiden Prabowo Subianto mengikuti rangkaian hari kedua Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 di Museum of Modern Art (MAM), Rio de Janeiro, Brasil, Senin (7/7/2025). (Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden)


Jika Indonesia serius ingin memperjuangkan negara-negara Selatan, forum seperti ASEAN, G20, G77, atau MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, Australia) jauh lebih relevan. Sayangnya, Indonesia belum maksimal memanfaatkan forum-forum ini untuk menegaskan posisinya.

Selain risiko geopolitik, ancaman ekonomi juga nyata. AS, yang menyumbang 24% perdagangan Indonesia pada 2024, bisa memberlakukan sanksi atau tarif tinggi jika menganggap Indonesia terlalu dekat dengan BRICS. 

Mitigasi dan Strategi

Untuk menjaga reputasi bebas-aktif, Indonesia perlu strategi matang. Pertama, pemerintah harus melibatkan diplomat berpengalaman di Kementerian Luar Negeri dan segera mengisi pos duta besar di negara-negara Barat, seperti AS dan Jerman, yang hingga Juli 2025 masih kosong. 

Kedua, Prabowo harus menghindari pengambilan keputusan sepihak dan melibatkan Dewan Keamanan Nasional serta akademisi untuk merumuskan kebijakan luar negeri yang seimbang. 

Ketiga, Indonesia harus aktif di forum lain seperti ASEAN dan G20 untuk menunjukkan komitmen terhadap multilateralisme, perubahan iklim, dan keadilan sosial, bukan hanya mengikuti narasi geopolitik BRICS.

“Dalam KTT BRICS, Prabowo seharusnya menekankan isu-isu seperti perdamaian dan kedaulatan, bukan hanya mengikuti arus Rusia,” ujar Radityo. 

Dengan bersikap kritis terhadap semua pihak, termasuk Rusia atas invasi Ukraina atau China atas isu Xinjiang, Indonesia bisa membuktikan bahwa keanggotaan BRICS bukan langkah geopolitik, melainkan bagian dari diplomasi yang inklusif.

Indonesia di Persimpangan

Indonesia sudah terlanjur “bermain dengan api BRICS,” dan kini kuncinya adalah bagaimana mengelola konsekuensinya. Tanpa strategi yang jelas, Indonesia berisiko menjadi “useful idiot” bagi kepentingan Rusia dan China, sebagaimana diungkapkan Radityo di X 

Di sisi lain, dengan pendekatan yang tepat, Indonesia bisa memanfaatkan BRICS untuk memperkuat posisi ekonominya sambil tetap menjaga prinsip bebas-aktif. 

Tantangan terbesar bagi Prabowo adalah membuktikan bahwa Indonesia tetap menjadi jembatan, bukan pion, di panggung geopolitik global. 

Reputasi 70 tahun sebagai negara nonblok kini berada di ujung tanduk, dan langkah berikutnya akan menentukan apakah Indonesia bisa menjaga keseimbangan atau justru terjebak dalam polarisasi dunia.