Indonesia gagal dapat keringanan tarif impor AS meski tawarkan Rp551 triliun. Keanggotaan BRICS dan kebijakan hilirisasi jadi ganjalan, ancam tarif hingga 40%. (REUTERS/Leah Millis)

Indonesia gagal mendapatkan keringanan tarif impor dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump meskipun telah menawarkan paket investasi dan impor senilai Rp551 triliun. 

Dalam unggahan di Truth Social, Trump menegaskan produk Indonesia akan dikenakan tarif 32 persen, jauh dari harapan Jakarta yang mengincar nasib serupa Vietnam, yang berhasil memangkas tarifnya dari 46 persen menjadi 20 persen. 

Keanggotaan Indonesia dalam blok ekonomi BRICS dan kebijakan perdagangan domestik yang dianggap tak kooperatif menjadi biang kerok kegagalan ini, menempatkan Indonesia dalam posisi rentan di tengah perang dagang global.

Mengapa Rp551 Triliun Tak Membuahkan Hasil?

Pada April 2025, Trump mengobarkan kembali perang dagang dengan mengumumkan tarif impor baru untuk sejumlah negara, termasuk Indonesia. 

Tarif 32 persen untuk Indonesia merupakan bagian dari kebijakan proteksionis yang menargetkan negara-negara dengan defisit perdagangan signifikan terhadap AS. 

Selain Indonesia, Bangladesh menghadapi tarif 35 persen, Thailand 36 persen, hingga Laos dan Myanmar yang terkena 40 persen. Vietnam menjadi pengecualian, berhasil melobi Trump hingga tarifnya dipangkas menjadi 20 persen.

Indonesia berupaya keras menghindari tarif tinggi ini. Pemerintah menawarkan paket perdagangan dan investasi senilai US$34 miliar (sekitar Rp551 triliun), termasuk pembelian gandum AS sebesar US$500 juta, peluang investasi di sektor mineral kritis seperti nikel dan tembaga, serta rencana Garuda Indonesia untuk membeli hingga 75 pesawat Boeing. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga mengajukan “second offer” yang mencakup pengolahan mineral kritis dengan bantuan perusahaan AS, Danantara, serta pengalihan impor energi senilai lebih dari US$10 miliar.

Namun, upaya ini tak cukup meluluhkan Trump. Dalam unggahan di Truth Social pada 7 Juli 2025, Trump menegaskan kebijakan tarifnya tak akan berubah untuk Indonesia. 

“Negara mana pun dari BRICS yang mendukung kebijakan anti-Amerika akan dikenakan tarif tambahan 10 persen. Tidak ada pengecualian!” tulisnya di akun @realDonaldTrump.

BRICS: Berkah atau Bencana Geopolitik?

Keanggotaan Indonesia dalam BRICS, yang resmi berlaku sejak Januari 2025, menjadi salah satu faktor utama kegagalan negosiasi. Indonesia bergabung dengan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, dan lima negara lain dalam blok yang kini mewakili 39 persen PDB global. 

Presiden Prabowo Subianto baru saja menghadiri KTT BRICS ke-17 di Brasil, di mana deklarasi bersama mengecam “tarif yang meningkat secara tidak wajar” – sebuah pernyataan yang kemungkinan memicu respons keras dari Trump.

“Keanggotaan Indonesia di BRICS memperberat posisi tawar kita. Dalam narasi Trump, BRICS adalah ancaman bagi dominasi ekonomi AS, terutama jika ada indikasi dedolarisasi,” kata M Rizal Taufikurahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, kepada CNN Indonesia. 

“Kehadiran Presiden Prabowo di KTT BRICS bisa ditafsirkan sebagai sinyal geopolitik yang kontraproduktif dengan kepentingan AS.” tambahnya.

Selain BRICS, kebijakan domestik Indonesia juga menjadi ganjalan. Larangan ekspor komoditas mentah, kebijakan hilirisasi, dan ketidakpastian regulasi investasi dianggap tidak kooperatif oleh Washington. 

“AS mengharapkan Indonesia membuka pasar secara sistemik dan memberikan kepastian regulasi, terutama untuk izin usaha pertambangan. Tanpa itu, Indonesia dianggap kurang kredibel sebagai mitra dagang strategis,” tambah Rizal.

Vietnam: Pelajaran dari Tetangga

Keberhasilan Vietnam menjadi cerminan kontras. Negara tetangga Indonesia ini menawarkan tarif impor nol persen untuk produk AS dan menunjukkan kesediaan mengurangi ketergantungan pada rantai pasok Tiongkok – dua langkah yang selaras dengan kepentingan strategis AS. 

Hasilnya, pada 2 Juli 2025, Trump mengumumkan penurunan tarif untuk Vietnam, sebuah kemenangan diplomasi yang tak diraih Indonesia.

“Vietnam bermain lebih cerdas. Mereka langsung menawarkan koncesi yang konkret dan strategis, sementara Indonesia masih terjebak dalam framing geopolitik BRICS,” ujar Muhammad Andri Perdana, ekonom dari Bright Institute. 

Menurutnya, meskipun tawaran Indonesia cukup besar, manfaatnya dianggap bersifat jangka pendek oleh AS. “Impor energi senilai US$10 miliar mungkin membantu neraca dagang AS, tapi itu tidak cukup untuk mengubah persepsi bahwa Indonesia belum sepenuhnya kooperatif.”

Ancaman Tarif 40 Persen Mengintai

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, memproyeksikan dua skenario tarif untuk Indonesia. 

Skenario realistis menempatkan tarif di kisaran 35-40 persen, terutama jika Trump menerapkan ancaman tambahan 10 persen untuk anggota BRICS. 

Skenario moderat memperkirakan tarif bisa ditekan ke 25-28 persen jika Indonesia berhasil menawarkan koncesi tambahan yang lebih eksplisit, seperti akses hilirisasi mineral bagi pengusaha AS atau komitmen strategis di kawasan Indo-Pasifik.

“Risiko utama bukan hanya defisit perdagangan AS sebesar US$17 miliar dengan Indonesia, tetapi juga persepsi bahwa Indonesia menjauh dari pengaruh ekonomi Washington,” jelas Yusuf. “Jika tarif naik ke 40 persen, dampaknya akan signifikan bagi ekspor Indonesia, terutama tekstil, alas kaki, dan elektronik, yang bergantung pada pasar AS.”

Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan AS merupakan tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia setelah Tiongkok, dengan nilai ekspor US$24 miliar pada 2024. 

Tarif 32 persen, apalagi jika meningkat, dapat menekan daya saing produk Indonesia dan memicu kenaikan harga di pasar AS, yang pada akhirnya merugikan eksportir lokal.

Bagaimana Respons Pemerintah?

Pemerintah Indonesia memilih pendekatan diplomasi ketimbang membalas tarif AS. Airlangga Hartarto mengatakan pihaknya terus bernegosiasi dengan Gedung Putih, dengan rencana pertemuan lanjutan pada minggu kedua Juli 2025. 

“Kami sudah menyampaikan penawaran kedua, termasuk kerja sama mineral kritis dan impor energi. Kami optimistis negosiasi akan membuahkan hasil,” ujarnya dalam konferensi pers pada 7 Juli 2025.

Namun, para ahli menilai negosiasi ini tidak akan mudah. “Indonesia perlu membebaskan diri dari framing geopolitik BRICS. Gesture politik Presiden Prabowo berisiko ditafsirkan sebagai aliansi dengan Tiongkok dan Rusia,” kata Rizal. 

Ia menyarankan pemerintah segera mendiversifikasi pasar ekspor ke negara-negara BRICS lain, seperti India dan Afrika Selatan, serta mempercepat implementasi perjanjian perdagangan bebas, seperti RCEP dan IPEF.

Yusuf menambahkan tiga strategi jangka pendek: pertama, diversifikasi pasar ekspor ke mitra nontradisional; kedua, mempercepat perjanjian perdagangan bebas yang sudah ada; dan ketiga, memberikan insentif fiskal dan nonfiskal bagi eksportir yang terdampak tarif. 

“Ini saatnya Indonesia bermain dua kaki dengan lebih cerdas, tanpa terjebak dalam polarisasi geopolitik,” tegasnya.

Indonesia di Persimpangan Geopolitik

Kegagalan Indonesia mendapatkan keringanan tarif menunjukkan tantangan besar dalam menavigasi lanskap ekonomi dan geopolitik global. 

Keanggotaan BRICS, yang awalnya diharapkan membawa manfaat ekonomi, kini menjadi beban diplomatik. Di sisi lain, kebijakan hilirisasi yang menjadi kebanggaan nasional justru dianggap sebagai penghalang oleh AS.

“Indonesia ingin menikmati manfaat BRICS, tapi belum siap menghadapi konsekuensi geopolitiknya. Kita bisa saja bermain dua kaki, tapi kini dua kaki itu sama-sama goyah karena tidak cukup kuat berpijak di salah satu sisi,” ujar Andri.

Dengan tenggat penerapan tarif pada 1 Agustus 2025 semakin dekat, Indonesia harus bergerak cepat. Negosiasi dengan AS perlu diperkuat dengan koncesi yang lebih strategis, sementara diversifikasi pasar menjadi keharusan untuk mengurangi ketergantungan pada AS. 

Di tengah ancaman perang dagang yang kian memanas, Indonesia berada di persimpangan: tetap pada prinsip nasionalisme ekonomi atau berkompromi demi kepentingan jangka pendek. Pilihan ini akan menentukan posisi Indonesia di panggung global untuk tahun-tahun mendatang.