BRICS luncurkan New Development Bank (NDB) sebagai alternatif IMF dan Bank Dunia, menawarkan pembiayaan adil untuk negara berkembang. (TRT World)

Negara-negara berkembang kini punya senjata baru untuk memperkuat pembiayaan pembangunan. New Development Bank (NDB), yang digagas oleh kelompok BRICS sejak 2014, hadir sebagai jawaban atas lambatnya reformasi di lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. 

Indonesia, yang resmi bergabung dengan NDB pada Maret 2025, langsung tancap gas dengan potensi pembiayaan hingga US$39 miliar atau setara Rp627,9 triliun untuk 120 proyek strategis, mulai dari energi terbarukan hingga infrastruktur hijau.

NDB lahir dari keresahan negara-negara BRICS—Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan—terhadap dominasi lembaga keuangan warisan Bretton Woods. 

Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir menegaskan, negara-negara berkembang sudah lama kehilangan pengaruh di badan-badan multilateral besar. 

"Reformasi di IMF dan Bank Dunia berjalan sangat lambat. Karena itu, BRICS ambil inisiatif membentuk NDB untuk jadi opsi pendanaan yang lebih adil bagi negara berkembang," ujarnya dalam konferensi pers usai mendampingi Presiden Prabowo Subianto di KTT BRICS di Rio de Janeiro, Brasil, pada 7 Juli 2025.

Langkah ini bukan cuma wacana. Pada Rapat Tahunan ke-10 NDB di Rio de Janeiro, 5 Juli 2025, BRICS mempertegas komitmennya melalui Deklarasi Rio de Janeiro. 

Deklarasi ini menegaskan peran NDB sebagai tulang punggung kerja sama ekonomi Global South, dengan fokus pada pembangunan berkelanjutan dan tata kelola global yang lebih inklusif. 

Sepanjang 2025, NDB telah menyetujui sejumlah proyek strategis, seperti infrastruktur sosial di India pada 25 April, energi bersih di Brasil pada 21 April, hingga proyek air dan sanitasi di Brasil pada 20 Maret. Total, lebih dari 100 proyek telah didanai NDB sejak berdiri, dengan nilai pembiayaan mencapai puluhan miliar dolar.

Indonesia, sebagai anggota baru BRICS sejak Januari 2025, tak mau ketinggalan. Presiden Prabowo Subianto, dalam KTT BRICS, mendorong NDB untuk lebih agresif menyalurkan pembiayaan ke negara-negara berkembang. 

"Kemitraan ekonomi negara berkembang menjadi sangat penting. Kami harap pemanfaatan NDB bisa ditingkatkan," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang ikut mendampingi. 

Airlangga menambahkan, Indonesia siap memanfaatkan NDB untuk mendanai 77 proyek strategis, dengan potensi nilai US$39 miliar. Proyek-proyek ini fokus pada transformasi hijau, seperti energi terbarukan dan infrastruktur berkelanjutan, yang diproyeksikan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 6% per tahun.

Keunggulan NDB dibandingkan IMF dan Bank Dunia terletak pada fleksibilitasnya. Berbeda dengan institusi Bretton Woods yang kerap dikritik kaku dan condong pada kepentingan negara maju, NDB menawarkan pendanaan yang lebih menghormati kedaulatan nasional. 

Presiden NDB, Dilma Vana Rousseff, memuji ketahanan ekonomi Indonesia dan program biodiesel B40 sebagai contoh proyek yang selaras dengan visi NDB. 

"Indonesia adalah mitra strategis, dan keanggotaannya memperkuat posisi NDB di Asia Tenggara," ujar Rousseff saat bertemu Prabowo di Jakarta, 25 Maret 2025.

Tak berhenti di situ, NDB juga meluncurkan terobosan baru, BRICS Multilateral Guarantee (BMG). Mekanisme ini, yang diumumkan menjelang KTT BRICS 2025, dirancang untuk menekan biaya pembiayaan dan memikat investor swasta. 

Dengan rasio mobilisasi dana 1:5 hingga 1:10, BMG diprediksi bakal menggenjot investasi di proyek-proyek infrastruktur dan adaptasi iklim. Proyek pilot BMG dijadwalkan mulai pada 2026, dengan persiapan teknis rampung akhir 2024. 

Langkah ini diyakini akan meningkatkan daya tarik NDB, yang kini memiliki peringkat kredit lebih tinggi dibandingkan banyak negara anggotanya, sehingga meminimalkan risiko bagi investor.

Keanggotaan NDB sendiri terus meluas. Selain Indonesia, Uzbekistan dikabarkan bakal segera bergabung, menambah daftar anggota yang kini mencakup sembilan negara. 

Dengan langkah ini, NDB tak hanya jadi penantang IMF dan Bank Dunia, tapi juga simbol perubahan tata kelola keuangan global yang lebih berpihak pada negara-negara berkembang. 

Bagi Indonesia, keterlibatan aktif dalam NDB bukan cuma soal akses dana, tapi juga langkah strategis untuk memperkuat posisi di panggung global sambil mengejar target transformasi ekonomi hijau.