![]() |
| Iran, Arab Saudi, Korea Selatan, hingga Jepang diprediksi akan bergabung dalam kelompok negara pemilik senjata nuklir pada 2035. (Russian Defence Ministry handout via REUTERS) |
Iran menjadi negara yang paling diyakini akan memiliki senjata nuklir pada 2035, menurut laporan Global Foresight 2025 yang dirilis Atlantic Council. Laporan itu menyebutkan mayoritas responden terdiri dari 357 pakar dari berbagai belahan dunia menilai Iran berpotensi besar bergabung ke dalam kelompok negara bersenjata nuklir dalam sepuluh tahun ke depan.
Keyakinan ini berakar pada ketegangan geopolitik yang tak kunjung reda, terutama di kawasan Timur Tengah. Iran, yang selama ini bersikeras bahwa program nuklirnya bersifat damai, terus dicurigai sedang mengembangkan kemampuan militer nuklir secara diam-diam.
Dukungan domestik terhadap kebijakan konfrontatif, ditambah lemahnya kontrol internasional pasca keluarnya Amerika Serikat dari perjanjian nuklir 2015 (JCPOA), memperkuat pandangan ini.
Arab Saudi muncul sebagai kandidat berikutnya. Negara itu dinilai akan mempercepat ambisi nuklirnya jika Iran berhasil mengembangkan senjata nuklir.
Skenario ini mengancam stabilitas kawasan dan memunculkan kekhawatiran akan terciptanya perlombaan senjata nuklir di Timur Tengah. Meski belum secara terbuka menunjukkan niat tersebut, investasi Arab Saudi dalam infrastruktur nuklir sipil sudah mengundang tanya banyak pihak.
Korea Selatan dan Jepang berada di posisi selanjutnya. Dorongan ini bukan hanya berasal dari tekanan internal, melainkan juga persepsi bahwa perlindungan keamanan dari Amerika Serikat semakin melemah.
Di tengah agresi Korea Utara yang belum reda, serta meningkatnya ketegangan di Laut Cina Timur, kedua negara itu dinilai berpeluang mengembangkan senjata nuklir sebagai bentuk strategi deterensi.
Namun, langkah tersebut akan membuka krisis politik domestik yang serius, mengingat konstitusi Jepang dan opini publik Korea Selatan masih menolak keras penggunaan senjata pemusnah massal.
Ukraina dan Taiwan pun muncul dalam daftar negara yang diperkirakan akan memiliki senjata nuklir, meski dengan tingkat keyakinan yang lebih rendah.
Ukraina, yang telah menyerahkan arsenal nuklirnya pasca runtuhnya Uni Soviet, kini berada dalam kondisi geopolitik ekstrem akibat invasi Rusia.
Dalam konteks ini, upaya mengembangkan kembali senjata nuklir dapat dipandang sebagai cara mempertahankan kedaulatan, namun berisiko memancing eskalasi lebih jauh dengan Moskow.
Sementara itu, Taiwan menghadapi tekanan militer yang meningkat dari Republik Rakyat Tiongkok. Sejumlah kecil responden memperkirakan Taiwan akan mengejar kemampuan nuklir sebagai bentuk pertahanan terakhir.
Namun, hal itu hampir mustahil dilakukan tanpa dukungan eksplisit dari Amerika Serikat yang hingga kini masih mempertahankan kebijakan “strategic ambiguity” terhadap Taiwan.
Dalam survei yang sama, sebagian responden memperkirakan tidak akan ada negara tambahan yang memperoleh senjata nuklir dalam satu dekade ke depan.
Mereka berpegang pada komitmen internasional seperti Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan kekuatan lembaga pengawas seperti Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Namun, semakin kompleksnya lanskap politik global dan melemahnya konsensus internasional membuat pandangan ini tampak kian minor.
Survei dilakukan oleh Atlantic Council pada November hingga awal Desember 2024, melibatkan para ahli dari lebih dari 60 negara di lima benua.
Sekitar 55 persen responden berasal dari Amerika Serikat, sedangkan sisanya mewakili sektor-sektor seperti swasta, lembaga multilateral, lembaga nirlaba, pendidikan, dan pemerintahan. Mayoritas berjenis kelamin laki-laki dan berusia lebih dari 45 tahun.
Laporan ini menjadi pengingat bahwa ancaman nuklir bukan hanya soal senjata, tetapi juga soal persepsi, ketakutan, dan kalkulasi politik.
Di tengah krisis kepercayaan terhadap tatanan dunia yang ada, apakah komunitas internasional mampu mencegah lahirnya negara-negara nuklir baru tanpa harus membuka jalan menuju perlombaan senjata global yang tak terkendali?

0Komentar