![]() |
Pembayaran bunga utang 2025 diproyeksikan Rp552,1 triliun, nyaris 100% pagu APBN dan 16% belanja negara. (Foto: Shutterstock) |
Beban pembayaran bunga utang negara pada 2025 diproyeksikan mencapai Rp552,1 triliun, nyaris menyentuh pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Angka ini, yang mencakup hampir 16% dari total belanja negara, menjadi salah satu tantangan fiskal terbesar tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, pembayaran bunga utang ini terdiri dari Rp496,9 triliun untuk utang dalam negeri dan Rp55,1 triliun untuk utang luar negeri, dengan realisasi hingga paruh pertama 2025 telah menyerap Rp257,08 triliun.
“Outlook pembayaran bunga utang sampai akhir tahun 2025 sebesar Rp552.147,9 miliar, terdiri atas bunga dalam negeri Rp496,9 triliun dan bunga luar negeri Rp55,1 triliun,” ungkap Sri Mulyani dalam Laporan Pelaksanaan APBN Semester I/2025, seperti dikutip pada Senin (7/7/2025).
Angka ini menunjukkan beban fiskal yang signifikan, terutama karena porsi bunga utang dalam negeri, yang mayoritas berasal dari Surat Berharga Negara (SBN), melonjak 7,89% dibandingkan tahun lalu.
Pada semester pertama 2025, pemerintah telah menggelontorkan Rp257,08 triliun untuk membayar bunga utang.
Dari jumlah tersebut, sekitar Rp235,18 triliun dialokasikan untuk bunga SBN dalam negeri, sementara bunga utang luar negeri tercatat Rp21,9 triliun, turun tipis dari Rp22 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Untuk paruh kedua tahun ini, pemerintah memproyeksikan kebutuhan tambahan Rp295,05 triliun, dengan rincian Rp261,83 triliun untuk bunga dalam negeri dan Rp33,22 triliun untuk bunga luar negeri.
Beban bunga utang sebesar Rp552,1 triliun ini menyerap hampir 16% dari total belanja negara, yang diperkirakan mencapai Rp3.615 triliun berdasarkan realisasi hingga April 2025.
Dengan kata lain, dari setiap Rp100 yang dikeluarkan pemerintah, sekitar Rp15-16 digunakan hanya untuk membayar bunga utang. Angka ini menempatkan pembayaran bunga utang sebagai salah satu pos belanja terbesar, bersaing dengan kebutuhan anggaran untuk program prioritas seperti makan bergizi gratis yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.
Meski mendekati pagu, Sri Mulyani menegaskan bahwa alokasi untuk bunga utang masih dalam batas aman.
“Pagu bunga utang tetap terjaga, meski sempat tertekan oleh volatilitas nilai tukar rupiah di awal tahun,” ujarnya.
Tekanan nilai tukar ini, yang sempat membuat rupiah melemah, menjadi tantangan tambahan dalam pengelolaan utang luar negeri.
Namun, penurunan bunga utang luar negeri pada semester pertama menunjukkan upaya pemerintah untuk mengelola komposisi utang secara lebih efisien.
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, menilai besarnya beban bunga utang ini mencerminkan tantangan struktural dalam pengelolaan fiskal.
“Porsi 16% dari belanja negara untuk bunga utang adalah angka yang sangat besar. Ini menunjukkan bahwa ruang fiskal kita semakin terbatas, apalagi dengan kebutuhan belanja untuk program sosial yang juga mendesak,” katanya.
Aviliani menambahkan, pemerintah perlu terus mendorong efisiensi anggaran, seperti yang saat ini dilakukan melalui pemangkasan biaya perjalanan dinas dan operasional aparatur sipil negara.
Pemerintah sendiri tengah gencar melakukan refocusing anggaran untuk mendukung program prioritas.
Instruksi Presiden Prabowo untuk memangkas belanja non-esensial menjadi salah satu langkah strategis agar beban bunga utang tidak semakin membebani APBN.
Namun, dengan proyeksi pembayaran bunga utang yang hampir menyentuh pagu, tekanan pada keuangan negara tetap tinggi.
Secara keseluruhan, beban bunga utang Rp552,1 triliun ini tidak hanya menjadi cerminan besarnya kewajiban fiskal Indonesia, tetapi juga menyoroti pentingnya pengelolaan utang yang prudent.
Dengan volatilitas ekonomi global dan tekanan domestik, pemerintah dituntut untuk menyeimbangkan kebutuhan pembayaran utang dengan agenda pembangunan nasional, tanpa mengorbankan stabilitas makroekonomi.
0Komentar