Indonesia tengah bersiap untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga arus laut (PLTAL) komersial pertama yang akan beroperasi pada 2028. Proyek senilai US$220 juta ini akan dibangun di dua titik strategis, Selat Lombok dan perairan NTT, dengan kapasitas 40 MW.
Ketika sebagian besar negara masih menggantungkan transisi energi pada panel surya dan turbin angin, Indonesia mengambil jalan yang lebih dalam—secara harfiah.
Pada 15 Juni 2025, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) mengumumkan rencana pembangunan PLTAL pertama di Indonesia, yang dijadwalkan mulai beroperasi penuh pada 2028.
Proyek ini terbagi dua: masing-masing 20 megawatt di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), dua provinsi dengan potensi arus laut paling agresif di Asia Pasifik.
Fokus utama berada di Selat Lombok, Selat Alas, dan Selat Larantuka—lokasi dengan kecepatan arus mencapai 3 hingga 5 meter per detik.
Potensi energi laut Indonesia diperkirakan mencapai 43 gigawatt, tetapi hingga kini belum satu megawatt pun mengalir ke jaringan nasional.
Angka Besar, Potensi Lebih Besar
Proyek ini akan menyerap investasi senilai Rp3,56 triliun, dengan biaya pembangunan sekitar US$5,5 juta per megawatt—hampir lima kali lipat dari pembangkit surya.
Tapi dalam jangka panjang, stabilitas energi arus laut yang tak tergantung cuaca bisa menjustifikasi harga tinggi itu.
Direktur Jenderal EBTKE Eniya Listiani Dewi menyebut proyek ini sebagai “fondasi awal” dari ekosistem energi laut yang lebih luas.
Data dari PT PLN dalam RUPTL 2025–2034 mengidentifikasi puluhan titik lain yang siap dikembangkan, termasuk di Maluku dan Papua.
Sebagai gambaran, Selat Capalulu di Maluku Utara memiliki arus laut tercepat di Indonesia, mencapai 5 meter per detik, dan potensi lebih dari 500 GW di Selat Alas secara teoritis.
Namun realitasnya, belum ada teknologi yang berhasil menyerap potensi ini secara masif. Dan pertanyaannya tetap: siapa yang mau bertaruh di perairan yang penuh risiko teknis, finansial, dan regulasi?
Teknologi Bawah Laut dan Risiko yang Tak Terlihat
Indonesia memilih teknologi turbin arus laut horizontal, mirip kincir angin bawah air, dengan padat energi delapan ratus kali lipat dibandingkan udara.
Ini artinya, turbin kecil bisa menghasilkan listrik dalam jumlah besar—asal arusnya cukup kuat dan stabil. Proyek ini menghindari opsi pasang surut (tidal barrage) yang mahal, dan gelombang laut yang fluktuatif.
Namun, infrastruktur laut bukan tanpa tantangan: korosi, biofouling, kabel bawah laut, dan biaya operasional di laut dalam masih menjadi rintangan besar.
Belum lagi skema tarif berdasarkan Permen ESDM No. 50/2017 yang membatasi harga jual listrik PLTAL maksimal 85% dari Biaya Pokok Produksi (BPP) lokal.
“Dengan tarif itu, sulit mengharapkan swasta masuk tanpa insentif tambahan,” ujar salah satu konsultan energi kelautan dari Prancis yang terlibat dalam studi awal.
Studi kasus proyek Tidal Bridge di Selat Larantuka, yang sempat menjadi simbol ambisi kelautan Indonesia pada 2018, kini jadi pengingat pahit.
Meski sempat diumumkan akan mengintegrasikan jembatan dan turbin, proyek tersebut terhenti karena masalah pendanaan dan inkonsistensi regulasi.
Geopolitik dan Green Race Regional
Indonesia bukan satu-satunya yang memburu energi dari laut. Filipina dan Korea Selatan juga tengah mengembangkan teknologi serupa. Perusahaan-perusahaan seperti SIMEC Atlantis dari Inggris dan Ocean Energy dari Irlandia sudah meluncurkan proyek pilot di Eropa dan Asia.
Namun, tidak ada yang beroperasi secara komersial penuh dalam skala besar—membuka peluang bagi Indonesia untuk memimpin, jika PLTAL 2028 berhasil diwujudkan.
Dari sisi geopolitik, proyek ini juga menjadi titik temu antara kepentingan lokal dan internasional. Perusahaan Belanda Tidal Bridge BV dan Naval Energies dari Prancis telah menyatakan minat untuk bekerja sama.
Skema pembiayaan kreatif seperti green bond, climate investment fund, dan skema PPP (public-private partnership) menjadi kunci agar proyek ini tidak bernasib sama seperti pendahulunya.
Apa yang Bisa Salah—dan Apa yang Bisa Menjadi Terobosan?
Apa yang bisa salah? Segalanya. Mulai dari keterlambatan pengadaan, minimnya SDM terlatih, belum adanya sertifikasi teknologi arus laut di Indonesia, hingga resistensi dari masyarakat pesisir yang khawatir dengan ekosistem laut.
Belum lagi risiko regulatory backpedaling, saat proyek berpotensi terhenti akibat pergantian menteri atau perubahan kebijakan fiskal.
Apa yang bisa jadi terobosan? Banyak. PLTAL dapat menyuplai listrik ke pulau-pulau terpencil, mengurangi penggunaan diesel, mempercepat target Net Zero Emission 2060, dan bahkan menjadi tulang punggung integrasi wilayah melalui jembatan laut yang menghasilkan listrik—mirip model hybrid infrastruktur ala Norwegia dan Jepang.
Menurut data BRIN, Indonesia punya lebih dari 25 selat aktif dengan potensi listrik tinggi, dan sebagian besar belum tersentuh proyek komersial. Jika 10% dari potensi 43 GW bisa dimanfaatkan, itu setara dengan seluruh kapasitas listrik Jawa Timur saat ini.
Proyek PLTAL ini bisa menjadi dua hal: simbol kebangkitan energi laut Indonesia, atau tanda tanya besar dalam catatan kegagalan transisi energi.
Semuanya tergantung pada bagaimana pemerintah dan swasta menavigasi arus teknologi, politik, dan ekonomi dalam tiga tahun ke depan.
0Komentar