Paris Air Show 2025, acara bergengsi di dunia kedirgantaraan dan pertahanan, dibuka pada Senin, 16 Juni 2025, di Le Bourget, pinggiran Paris. Dengan lebih dari 2.400 perusahaan dari 48 negara memamerkan teknologi mutakhir, pameran ini seharusnya menjadi ajang kolaborasi dan inovasi.
Namun, di hari pembukaan, sebuah keputusan kontroversial mencuri perhatian: Prancis menutup stan lima perusahaan pertahanan Israel karena dianggap melanggar aturan pameran dengan menampilkan senjata ofensif.
Langkah ini memicu kemarahan Israel dan menambah ketegangan di tengah konflik geopolitik yang sedang berlangsung.
Lima perusahaan Israel yang terkena dampak adalah Israel Aerospace Industries (IAI), Rafael, Elbit Systems, UVision, dan Aeronautics.
Menurut sumber pemerintah Prancis, stan mereka ditutup karena menampilkan "senjata ofensif," yang melanggar ketentuan pameran.
Di lokasi acara, dinding hitam didirikan untuk memblokir akses ke stan perusahaan-perusahaan ini, menciptakan pemandangan yang dramatis dan simbolis.
“Kelima perusahaan tersebut dinilai Paris turut memamerkan senjata ofensif dalam pameran tersebut. Senjata yang dipamerkan Israel di ajang itu bahkan termasuk yang digunakan Tel Aviv menggempur habis-habisan Jalur Gaza Palestina sejak Oktober 2023 lalu,” tulis laporan awal yang menjadi dasar informasi ini.
Prancis menegaskan bahwa aturan ini telah disepakati sebelumnya dengan pihak Israel, sebagaimana dikonfirmasi oleh Perdana Menteri Francois Bayrou, yang menyatakan bahwa Kedutaan Israel telah menerima kerangka aturan tersebut.
Rafael, Elbit, dan IAI dikenal sebagai produsen bom dan rudal berpemandu, sementara UVision dan Aeronautics memproduksi drone.
“Dikutip AFP, Rafael, Elbit, dan IAI diketahui memproduksi bom dan rudal berpemandu. Sementara itu, UVision dan Aeronautics memproduksi drone,” demikian laporan tersebut.
Penutupan ini dianggap Prancis sebagai penegakan aturan yang berlaku untuk semua peserta, tetapi Israel melihatnya sebagai tindakan diskriminatif.
Israel tidak tinggal diam. Presiden Isaac Herzog mengecam keputusan Prancis sebagai tindakan “memalukan” yang harus “segera dikoreksi.”
Dalam wawancara dengan stasiun televisi Prancis LCI, Herzog menyatakan, “Perusahaan-perusahaan Israel sudah menandatangani kontrak dengan penyelenggara... ini seperti menciptakan ghetto untuk Israel.”
Pernyataan ini mencerminkan perasaan bahwa Prancis sengaja mengisolasi Israel di panggung internasional.
Kementerian Pertahanan Israel juga mengeluarkan pernyataan keras, menyebut langkah ini sebagai bentuk “diskriminasi” yang “sarat dengan pertimbangan politis dan komersial.”
“Keputusan memalukan dan belum pernah terjadi sebelumnya ini sarat dengan pertimbangan politis dan komersial,” tulis pernyataan tersebut.
CEO IAI, Boaz Levy, bahkan membandingkan tindakan ini dengan perlakuan diskriminatif terhadap orang Yahudi di masa lalu, menambah dimensi emosional pada protes Israel.
Keputusan Prancis tidak bisa dilepaskan dari konteks geopolitik yang tegang. Israel saat ini terlibat dalam dua konflik besar: agresi militer di Jalur Gaza sejak Oktober 2023, yang telah menewaskan lebih dari 54.000 orang, dan serangan udara timbal balik dengan Iran sejak Jumat, 13 Juni 2025.
Tekanan internasional terhadap Israel semakin meningkat, terutama dari kelompok pro-Palestina dan aktivis hak asasi manusia yang menyerukan sanksi atas tindakan militer Israel.
Sebelumnya, pada Januari 2025, Presiden Prancis Emmanuel Macron sempat meyakinkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa perusahaan Israel boleh berpartisipasi dalam Paris Air Show, dengan syarat ada gencatan senjata di Gaza dan Lebanon.
Namun, eskalasi konflik baru-baru ini tampaknya memengaruhi sikap Prancis. Selain itu, kelompok masyarakat sipil di Prancis juga menggelar demonstrasi menentang kehadiran Israel di pameran ini, meskipun pengadilan banding Prancis menolak upaya untuk melarang partisipasi Israel secara keseluruhan.
Meski Prancis bersikeras bahwa aturan diterapkan secara adil, beberapa pihak mempertanyakan konsistensi penerapannya.
Perusahaan dari negara lain, termasuk Prancis sendiri, memamerkan teknologi militer seperti pesawat tempur Rafale dan misil jelajah tanpa hambatan.
Hal ini memicu tuduhan dari Israel bahwa Prancis menerapkan standar ganda, terutama mengingat hubungan komersial dan diplomatik yang rumit antara kedua negara.
Sementara lima perusahaan Israel dilarang menampilkan senjata ofensif, empat perusahaan Israel lainnya diizinkan tetap berpartisipasi karena mematuhi aturan.
Dari sembilan perusahaan Israel yang dijadwalkan hadir, hanya sebagian yang terdampak, menunjukkan bahwa keputusan Prancis lebih ditujukan pada jenis produk yang dipamerkan ketimbang kehadiran Israel secara keseluruhan.
Insiden ini bukanlah yang pertama. Pada 2024, perusahaan Israel juga menghadapi larangan serupa di pameran seperti Eurosatory dan Euronaval, meskipun beberapa di antaranya dibatalkan oleh pengadilan Prancis.
Kejadian di Paris Air Show 2025 menambah ketegangan dalam hubungan Prancis-Israel dan berpotensi memengaruhi partisipasi Israel di acara internasional mendatang.
Di sisi lain, Paris Air Show tetap berjalan dengan sukses, menampilkan berbagai inovasi seperti jet tempur, helikopter, dan drone dari 75 perusahaan pertahanan global.
Namun, kontroversi ini meninggalkan pertanyaan besar: apakah keputusan Prancis murni berdasarkan aturan pameran, atau ada motif politik yang lebih dalam? Bagaimanapun, langkah ini telah memperdalam jurang ketegangan di tengah dunia yang sudah penuh konflik.
Paris Air Show 2025 seharusnya menjadi panggung untuk memamerkan kemajuan teknologi, tetapi justru menjadi arena konflik geopolitik.
Penutupan stan lima perusahaan Israel oleh Prancis mencerminkan kompleksitas hubungan internasional saat ini, di mana kepentingan politik, komersial, dan kemanusiaan saling bertabrakan.
Sementara Prancis bersikeras menegakkan aturan, Israel melihatnya sebagai diskriminasi yang tidak bisa diterima. Di tengah semua ini, dunia menyaksikan bagaimana sebuah pameran teknologi bisa menjadi cerminan ketegangan global yang jauh lebih besar.
0Komentar