Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengisyaratkan kemungkinan pemberlakuan sanksi tambahan terhadap Rusia setelah gelombang serangan udara yang menewaskan belasan warga sipil Ukraina. Dalam pernyataan publik yang mencerminkan perubahan sikap signifikan, Trump mengecam keras tindakan Presiden Rusia Vladimir Putin, menyebutnya sebagai tindakan “tidak masuk akal” dan “sama sekali tak dapat diterima”.
“Kami tengah mengupayakan jalur diplomasi, namun yang dia lakukan adalah menghujani Kyiv dengan rudal. Ini sungguh membuat frustrasi,” ujar Trump dalam konferensi pers di Washington.
Serangan rudal dan drone yang terjadi pada 25 Mei 2025 menyasar sejumlah wilayah di Ukraina barat, termasuk Zhytomyr, dan menewaskan sedikitnya 12 hingga 13 orang. Korban termasuk beberapa anak-anak, memicu reaksi keras dari masyarakat internasional.
Militer Ukraina mengklaim berhasil menembak jatuh 45 rudal dan 266 drone dalam dua malam berturut-turut, namun serangan tersebut tetap menimbulkan kerusakan besar dan menambah penderitaan warga sipil.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyebut serangan itu sebagai tindakan “teror terang-terangan” dan menuntut dunia agar tidak membiarkan Putin bertindak sewenang-wenang.
Ia mengkritik keras lambatnya respons negara-negara besar, dengan mengatakan bahwa sikap diam hanya akan “menambah keberanian” Kremlin.
Ironisnya, serangan brutal tersebut berlangsung berdekatan dengan momentum diplomatik penting—pertukaran 303 tawanan perang antara Rusia dan Ukraina yang dimediasi oleh Turki pada 16 Mei.
Namun harapan akan terobosan damai kembali kandas setelah perundingan gencatan senjata yang digelar pada 17 Mei gagal mencapai kesepakatan. Ukraina menolak tuntutan Rusia yang dinilai tidak realistis dan melemahkan kedaulatan nasional.
Di tengah ketegangan ini, Trump yang sebelumnya cenderung menghindari sanksi tambahan terhadap Rusia, mulai menunjukkan perubahan haluan. Ia secara terbuka mempertimbangkan langkah-langkah ekonomi yang lebih keras, termasuk membidik sektor energi vital Rusia.
Jika sanksi baru diberlakukan, sektor energi diprediksi akan menjadi sasaran utama. Rosneft, raksasa minyak milik negara Rusia, serta jaringan kapal tanker bayangan (shadow fleet) yang digunakan untuk menghindari batas harga minyak Barat, berada di garis bidik.
Pemerintahan Biden sebelumnya telah menjatuhkan sanksi pada Januari 2025 yang memengaruhi sekitar 60% dari armada tanker tersebut, menyebabkan kerugian besar dalam pengiriman ekspor Rusia.
Proyek ambisius Rosneft, Vostok Oil, yang dirancang untuk memperkuat ketahanan energi Rusia di kawasan Arktik, kini juga terancam penundaan akibat pembatasan teknologi dan logistik dari Barat.
Ditambah lagi, data terbaru menunjukkan pendapatan dari ekspor minyak dan gas Rusia turun 6% pada April, sementara harga minyak Urals terus mengalami diskon besar terhadap harga global—mencapai selisih hingga $15 per barel.
Dukungan untuk langkah lebih tegas terhadap Rusia datang dari berbagai penjuru dunia. Uni Eropa, khususnya Jerman, menyerukan penerapan sanksi yang lebih keras. Menteri Luar Negeri Jerman menyatakan bahwa “Putin tidak menunjukkan niat untuk menghentikan perang, dan tindakan tegas adalah satu-satunya jalan.”
Tekanan ini juga datang dari pasar energi global. Negara-negara seperti India dan China, yang sebelumnya menjadi konsumen besar minyak Rusia, mulai mengurangi pembelian karena khawatir terkena dampak sanksi sekunder dari Amerika Serikat.
Trump kini berada pada persimpangan penting. Di satu sisi, ia mengkritik keras Presiden Zelensky karena dianggap “memanaskan situasi dengan retorika yang berlebihan”.
Namun di sisi lain, Trump tak lagi menutup kemungkinan bahwa tekanan ekonomi adalah satu-satunya bahasa yang dapat menghentikan agresi militer Rusia.
Langkah Trump untuk mempertimbangkan sanksi tambahan mencerminkan dinamika geopolitik yang semakin kompleks. Dengan situasi di Ukraina yang memburuk, tekanan internasional meningkat, dan dampak ekonomi mulai terasa di Moskow, dunia kini menanti apakah Washington akan beralih dari pendekatan hati-hati ke strategi tekanan maksimum.
Apakah ini awal dari perubahan strategi jangka panjang, atau sekadar respons politis jangka pendek? Satu hal yang pasti: ketegangan antara Washington dan Moskow kembali berada di titik didih, dan keputusan Trump bisa menjadi penentu arah perang dalam bulan-bulan mendatang.
0Komentar