Bank Indonesia resmi menurunkan suku bunga acuan ke 5,50% pada Mei 2025. (infobanknews.com)

Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,50% dalam Rapat Dewan Gubernur pada 20–21 Mei 2025. Bersamaan dengan itu, suku bunga Deposit Facility ditetapkan turun ke 4,75%, dan Lending Facility menjadi 6,25%. 

Langkah ini menjadi sinyal kebijakan moneter akomodatif di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang tetap terkendali.

Penurunan BI-Rate dilakukan untuk menjaga momentum pertumbuhan di tengah tekanan perlambatan, di mana Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tercatat tumbuh 4,87% pada kuartal I 2025, lebih rendah dibandingkan 5,02% di akhir 2024. 

Inflasi tahunan pada April 2025 sebesar 1,95%, masih berada dalam rentang sasaran BI sebesar 2,5±1%, dan diperkirakan akan menutup tahun pada level sekitar 2,6%. 

Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, "Inflasi akhir tahun diperkirakan 2,6%, rendah. Ini momentum tepat untuk dorong pertumbuhan." 

Sikap ini menunjukkan bahwa ruang pelonggaran kebijakan moneter masih terbuka, dengan tetap menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.

Kebijakan suku bunga tidak serta merta memberi dampak langsung ke sektor riil. BI memperkirakan transmisi ke suku bunga pasar uang membutuhkan waktu 2 hingga 3 bulan, sementara penyesuaian suku bunga kredit baru terasa dalam 6 hingga 12 bulan. Dampak penuh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional bahkan diproyeksikan baru akan terlihat setelah 1,5 tahun.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Solikin M. Juhro, menjelaskan, "Transmisi suku bunga acuan ke kredit sekitar 6 bulan, ke ekonomi 1,5 tahun." Hal ini menekankan pentingnya kesabaran dalam menilai efektivitas kebijakan moneter terhadap pemulihan ekonomi.

Langkah penurunan suku bunga juga didukung oleh kondisi eksternal yang relatif stabil. Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan sebesar USD 10,92 miliar pada kuartal I 2025, serta cadangan devisa yang kuat senilai USD 152,5 miliar—cukup untuk membiayai 6,4 bulan impor. Hal ini memperkuat ketahanan eksternal negara terhadap gejolak global.

Menurut ekonom Bank Permata, Josua Pardede, "Surplus neraca perdagangan menunjukkan ketahanan eksternal yang stabil," yang menjadi salah satu penopang keyakinan BI dalam melonggarkan kebijakan.

Meski suku bunga acuan telah turun, BI mencatat bahwa penurunan suku bunga kredit perbankan belum signifikan. Bank sentral pun mendorong sektor perbankan untuk lebih cepat merespons kebijakan ini guna mendukung pembiayaan sektor riil.

Untuk memperkuat transmisi, BI juga melengkapi kebijakan ini dengan pelonggaran rasio likuiditas makroprudensial serta perluasan sistem pembayaran berbasis QR (QRIS) lintas negara, termasuk Jepang dan Tiongkok. Langkah ini diharapkan memperkuat daya dorong terhadap sektor konsumsi dan investasi.

Dengan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 oleh BI ke kisaran 4,6–5,4%, pemerintah dan otoritas moneter menghadapi tantangan untuk menjaga momentum ekspansi ekonomi. 

Meskipun ketegangan global mulai mereda dan aliran modal asing kembali masuk ke pasar domestik, respons sektor perbankan dan kondisi eksternal akan menjadi faktor kunci keberhasilan kebijakan ini.

Penurunan suku bunga acuan ke 5,50% mencerminkan upaya BI menyeimbangkan antara menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan. Meski dampak penuhnya baru akan terlihat dalam jangka menengah.

langkah ini memberikan sinyal positif bagi pelaku ekonomi, terutama jika diikuti dengan penyesuaian suku bunga kredit oleh perbankan. Efektivitas kebijakan tetap bergantung pada respons sektor keuangan serta perkembangan global ke depan.