Ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China akhirnya menunjukkan tanda-tanda pelonggaran. Kedua negara ekonomi terbesar di dunia itu menyepakati penghentian sementara tarif perdagangan selama 90 hari. Kesepakatan ini disambut positif oleh pelaku pasar global yang selama ini dihantui kekhawatiran akan perang dagang skala penuh.
Langkah ini disebut sebagai sinyal positif bahwa kedua pihak tengah mencari jalan damai dan berupaya meredakan konflik dagang yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Dalam pernyataan bersama, disebutkan bahwa bea timbal balik antara AS dan China akan turun drastis, yaitu sebesar 115 poin persentase.
Scott Bessent, Menteri Keuangan AS, menyampaikan bahwa nada negosiasi kali ini jauh lebih konstruktif dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Pertemuan itu sendiri menjadi momen penting karena merupakan dialog langsung pertama sejak Presiden Donald Trump kembali menduduki kursi kepresidenan dan kembali menerapkan kebijakan proteksionis.
Jane Foley, Kepala Strategi Valas di Rabobank, menggarisbawahi bahwa meskipun ini merupakan langkah ke arah yang lebih baik, ketidakpastian tetap ada. Menurutnya, tarif dasar sebesar 10% masih diberlakukan dan batas waktu 90 hari terus berjalan. Artinya, dunia belum sepenuhnya lepas dari risiko gejolak perdagangan.
Peluang untuk Indonesia: Siap-Siap Panen Manfaat
Indonesia, sebagai salah satu mitra dagang penting bagi baik AS maupun China, memiliki potensi untuk mendapatkan keuntungan strategis dari pergeseran ini. Beberapa peluang yang bisa dimaksimalkan antara lain:
-Peningkatan Peluang Ekspor
Dengan menurunnya tensi dagang dan tarif antar kedua raksasa ekonomi, pasar di AS bisa menjadi lebih terbuka bagi produk-produk Indonesia. Selama ini, banyak produk Indonesia yang kalah bersaing dengan barang dari China karena harganya yang lebih murah. Kini, dengan pengurangan tarif terhadap barang China, posisi kompetitif Indonesia bisa lebih menonjol di pasar AS.
Indonesia bisa memanfaatkan peluang ini untuk memperluas akses produk seperti tekstil, alas kaki, makanan olahan, dan produk kayu. Diversifikasi produk ekspor menjadi kunci agar tidak tergantung pada komoditas primer semata.
-Stabilitas Keuangan Global Memberi Ruang Bernapas
Ketika ketegangan dagang mereda, pasar keuangan global cenderung menjadi lebih stabil. Ini berdampak positif bagi negara berkembang seperti Indonesia. Nilai tukar rupiah bisa lebih stabil, sentimen pasar membaik, dan investor asing akan lebih percaya diri menanamkan modalnya.
Buktinya sudah terlihat dalam data transaksi selama 5–8 Mei 2025, di mana investor asing melakukan beli neto senilai Rp0,12 triliun. Meskipun ada jual neto di pasar saham dan SRBI, pasar Surat Berharga Negara (SBN) menunjukkan minat yang kuat dari investor asing.
-Masuknya Investasi Asing Langsung (FDI)
Penguatan optimisme global juga berdampak pada peningkatan minat investasi asing langsung. Investor yang sempat menahan diri kini mulai mempertimbangkan kembali ekspansi ke pasar-pasar potensial, termasuk Indonesia.
Realisasi investasi dari China dan AS ke Indonesia pada kuartal pertama 2025 mencapai US$1,75 miliar dan US$0,8 miliar. Ini bisa menjadi permulaan yang baik, terutama jika Indonesia mampu menjaga stabilitas domestik dan mempercepat reformasi regulasi yang ramah investor.
-Harga Bahan Baku Menjadi Lebih Kompetitif
Bagi sektor industri dalam negeri, terutama manufaktur dan elektronik, penurunan tarif impor bisa menjadi angin segar. Banyak industri Indonesia bergantung pada bahan baku dari China. Jika harga input menurun, biaya produksi pun ikut turun, meningkatkan efisiensi dan daya saing produk lokal di pasar ekspor.
Dengan daya saing yang lebih tinggi, industri nasional bisa mengisi celah pasar yang mungkin ditinggalkan oleh barang-barang China di pasar negara ketiga.
-Peluang Menegosiasikan Ulang Perjanjian Dagang
Dalam situasi global yang mulai melunak ini, Indonesia berpeluang untuk membuka ruang negosiasi ulang perjanjian dagang dengan AS. Pemerintah bisa mengambil inisiatif untuk memperbaiki skema tarif dan membuka jalur ekspor yang lebih menguntungkan.
Bukan hanya soal angka, tetapi juga menciptakan hubungan dagang yang lebih seimbang dan saling menguntungkan. Ini juga bisa menjadi momentum untuk memperkuat kerja sama strategis dalam bidang teknologi, energi, dan rantai pasok.
Tetap Waspada di Tengah Optimisme
Meski peluang besar terbuka lebar, bukan berarti Indonesia bisa bersantai. Tantangan tetap ada, terutama karena kesepakatan antara AS dan China ini bersifat sementara. Dalam waktu 90 hari, bisa saja situasi kembali memanas jika negosiasi menemui jalan buntu.
Pemerintah Indonesia perlu menyiapkan strategi cadangan agar tetap tahan banting jika ketidakpastian kembali meningkat. Diversifikasi mitra dagang, peningkatan kualitas produk, serta perbaikan regulasi dan infrastruktur bisnis menjadi langkah penting yang tidak bisa ditunda.
Meredanya tensi perdagangan AS-China adalah kabar baik bagi ekonomi global, dan lebih lagi bagi Indonesia. Peluang ekspor, masuknya investasi, serta efisiensi biaya produksi bisa menjadi "durian runtuh" yang memperkuat posisi Indonesia dalam peta perdagangan internasional.
Namun, agar manfaat tersebut benar-benar bisa dirasakan secara luas dan berkelanjutan, diperlukan kebijakan yang cepat, cerdas, dan adaptif dari pemerintah serta kesiapan dari pelaku usaha nasional untuk merespons dinamika global yang terus bergerak.
0Komentar