Rencana pemerintah menghapus batas usia di lowongan kerja mendapat penolakan dari pengusaha. (USS FEED)

Pemerintah tengah menggodok kebijakan penghapusan batas usia dalam lowongan kerja demi mendorong inklusivitas dan mengurangi diskriminasi di pasar tenaga kerja. Namun, rencana tersebut belum sepenuhnya mendapat sambutan positif dari kalangan pengusaha.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), melalui Ketua Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam, menyampaikan pandangannya yang sedikit berbeda. Menurutnya, pembatasan usia dalam rekrutmen bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan bagian dari strategi efisiensi proses seleksi kerja.

Bob mengungkapkan bahwa dalam sejumlah sektor pekerjaan, seperti manufaktur atau pekerjaan lapangan, syarat usia diperlukan karena pekerjaan tersebut menuntut ketahanan fisik dan respons yang cepat.

“Ada bidang pekerjaan yang memang menuntut tenaga dan kelincahan. Jadi bukan semata soal umur, tapi lebih kepada kesesuaian fisik,” ujar Bob dalam Media Briefing Apindo yang digelar di Jakarta, Selasa (13/5/2025).

Ia juga menyoroti aspek efisiensi biaya. Dengan menyeleksi pelamar berdasarkan usia, perusahaan dapat menyaring pelamar sejak awal tanpa harus mengeluarkan biaya besar untuk menyeleksi ribuan orang.

“Bayangkan satu posisi kosong, pelamarnya seribu. Masa semua harus dites? Itu kan biaya juga. Makanya ada kriteria usia sebagai filter awal,” tegasnya.

Dalam pandangannya, isu utama dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia bukan soal diskriminasi usia, melainkan kurangnya lapangan kerja yang tersedia. Ia membandingkan situasi di Indonesia dengan kondisi di negara tetangga seperti Malaysia.

“Di sana, pelamar kerja bisa memilih. Mereka yang menanyakan: ‘Gaji berapa?’. Kalau nggak cocok, mereka bisa pilih tempat lain. Artinya lowongannya banyak,” ujar Bob.

Ia menilai bahwa selama pasokan tenaga kerja melebihi jumlah lowongan, maka sistem seleksi akan selalu ketat—termasuk adanya batasan usia. Oleh karena itu, fokus utama pemerintah seharusnya diarahkan pada penciptaan lebih banyak kesempatan kerja, bukan semata mengubah regulasi seleksi.

Di sisi lain, pemerintah tetap pada jalurnya untuk mengurangi diskriminasi dalam rekrutmen tenaga kerja. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) berencana melakukan dua langkah strategis.

Pertama, revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tengah dikaji. Tujuannya adalah mengakomodasi kebijakan non-diskriminatif dalam proses perekrutan.

Kedua, Kemnaker juga akan merancang aturan turunan sebagai implementasi konkret dari undang-undang baru tersebut. Hal ini diungkapkan langsung oleh Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja, Darmawansyah.

Jika ditelaah lebih dalam, baik pandangan pengusaha maupun niat pemerintah memiliki dasar yang kuat. Di satu sisi, diskriminasi berdasarkan usia memang membatasi kesempatan kerja bagi banyak individu yang masih produktif. Namun di sisi lain, beban biaya dan efisiensi perusahaan juga perlu diperhitungkan.

Solusi ideal mungkin bukan dengan sepenuhnya melarang batasan usia, melainkan dengan membuat klasifikasi jenis pekerjaan yang memang membutuhkan syarat tertentu, termasuk usia. Pemerintah juga sebaiknya memberikan insentif atau subsidi untuk proses seleksi di sektor-sektor padat karya, agar perusahaan tetap bisa menjaring kandidat terbaik tanpa terbebani biaya tinggi.

Lebih penting lagi, strategi jangka panjang harus difokuskan pada penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan kualitas tenaga kerja melalui pelatihan, serta perbaikan iklim investasi agar perusahaan-perusahaan mau membuka lebih banyak kesempatan kerja.