Sudan Selatan geser Zimbabwe sebagai negara dengan inflasi tertinggi 2025. Harga melonjak tajam, ekonomi nyaris lumpuh total. (Kominfo Jatim)

Inflasi ekstrem kembali menjadi sorotan global. Sejumlah negara tengah berjuang menghadapi lonjakan harga yang luar biasa tinggi, hingga mencapai level hiperinflasi. Fenomena ini bukan sekadar naiknya harga kebutuhan pokok, tapi mencerminkan guncangan ekonomi yang dalam dan kompleks.

Per Maret dan April 2025, data terbaru menunjukkan bahwa Sudan Selatan kini menempati posisi teratas dalam daftar negara dengan inflasi paling tinggi di dunia. Zimbabwe, yang sebelumnya langganan posisi pertama, tergeser ke peringkat kedua.

Apa Itu Hiperinflasi?

Sebelum masuk ke daftar lengkap, penting memahami apa yang dimaksud dengan hiperinflasi. Ini adalah kondisi ekonomi ekstrem di mana harga-harga naik sangat cepat, seringkali mencapai ratusan hingga ribuan persen dalam waktu singkat. 

Akibatnya, nilai uang jatuh drastis dan daya beli masyarakat merosot. Dalam situasi ini, uang tunai seakan tak lagi punya nilai nyata karena harga barang berubah dari hari ke hari—bahkan dari jam ke jam.

Hiperinflasi biasanya dipicu oleh kombinasi dari lemahnya institusi negara, konflik politik, defisit fiskal yang membengkak, dan krisis kepercayaan publik terhadap mata uang serta kebijakan pemerintah.

- Sudan Selatan — 173,3% (Maret 2025)

Sudan Selatan kini menjadi simbol baru krisis inflasi global. Angka inflasi mencapai 173,3%, melampaui ambang batas hiperinflasi. Negara termuda di dunia ini terjebak dalam konflik bersenjata berkepanjangan, yang merusak sistem produksi dan distribusi ekonomi.

Ketergantungan tinggi pada ekspor minyak mentah membuat perekonomian sangat rapuh terhadap gangguan. Ketika stabilitas politik terganggu, produksi minyak terganggu, dan pemasukan negara anjlok. Imbasnya, harga barang kebutuhan melonjak tajam, memukul rakyat kecil.

Situasi ini diperparah oleh lemahnya struktur pemerintahan dan terbatasnya akses terhadap pasar internasional. Tanpa reformasi besar-besaran dan bantuan eksternal, negara ini berisiko mengalami krisis kemanusiaan lebih luas.

- Zimbabwe — 85,7% (April 2025)

Zimbabwe kembali dikejar bayang-bayang krisis ekonomi. Dengan inflasi menyentuh 85,7%, negeri ini sekali lagi mengalami tekanan berat yang mengingatkan dunia pada era hiperinflasi tahun 2008, saat uang Zimbabwe praktis kehilangan nilai.

Meskipun pemerintah telah mencoba berbagai strategi, termasuk reformasi mata uang dan kebijakan moneter ketat, kenyataannya krisis kepercayaan terhadap sistem fiskal belum sepenuhnya pulih. Banyak warga lebih memilih menggunakan mata uang asing seperti dolar AS untuk transaksi sehari-hari.

Inflasi tinggi menjadi refleksi dari lemahnya kredibilitas institusi keuangan dan tingginya defisit fiskal. Tanpa perbaikan tata kelola yang signifikan, Zimbabwe berisiko terus terjebak dalam siklus inflasi berulang.

- Argentina — 55,9%

Argentina telah lama menjadi "pasien kronis" inflasi di Amerika Selatan. Inflasi 55,9% mencerminkan tekanan struktural yang tak kunjung reda, mulai dari defisit anggaran, subsidi energi yang membebani fiskal, hingga depresiasi mata uang peso yang terus-menerus.

Pemerintahan baru telah meluncurkan sejumlah program reformasi ekonomi, namun hasilnya belum terlihat signifikan. Investor dan masyarakat masih menunggu sinyal kestabilan jangka panjang. Jika gagal mengembalikan kepercayaan publik, Argentina akan tetap berada dalam bayang-bayang krisis inflasi.

- Burundi — 39,7%

Negara kecil di Afrika Timur ini menghadapi inflasi tinggi sebesar 39,7%, terutama karena masalah struktural seperti kemiskinan ekstrem dan ketergantungan pada impor pangan. Gangguan pasokan global dan melemahnya produksi lokal memperparah tekanan harga.

Burundi membutuhkan investasi besar di sektor pertanian dan logistik agar mampu memproduksi pangan dalam negeri. Tanpa itu, negara ini akan terus rentan terhadap fluktuasi harga global.

- Turki — 37,86%

Turki adalah contoh negara berpenghasilan menengah yang mengalami inflasi tinggi akibat kebijakan ekonomi yang tidak kolnvensional. Pemerintah selama beberapa tahun mempertahankan suku bunga rendah meski inflasi tinggi, sebuah strategi yang dikritik banyak ekonom.

Akibatnya, nilai tukar lira Turki terus melemah, dan harga-harga kebutuhan melonjak tajam. Gejolak geopolitik, ketergantungan energi impor, dan tekanan eksternal menambah kompleksitas situasi. Pemerintah Turki kini menghadapi dilema antara menstimulasi pertumbuhan dan mengendalikan inflasi.

- Iran — 33,2%

Sanksi internasional masih menjadi faktor utama yang mendorong inflasi di Iran. Dengan angka mencapai 33,2%, ekonomi Iran terus tertekan akibat isolasi global, depresiasi rial, serta ketergantungan tinggi pada barang impor.

Selain faktor eksternal, ketidakstabilan politik dan kurangnya transparansi kebijakan domestik memperparah kondisi. Iran membutuhkan strategi jangka panjang untuk membangun ekonomi yang lebih mandiri dan tahan terhadap tekanan geopolitik.

- Malawi (30,5%) dan Haiti (25,2%)

Kedua negara ini menghadapi inflasi tinggi karena faktor yang relatif serupa: ketergantungan pada impor pangan dan energi, serta lemahnya sistem distribusi dan infrastruktur.

Malawi dan Haiti sangat rentan terhadap krisis global, mulai dari fluktuasi harga minyak hingga perubahan iklim yang berdampak pada produksi pangan. Stabilitas harga di kedua negara sangat bergantung pada bantuan eksternal dan pembenahan sistem logistik.

- Nigeria dan Angola (sekitar 24%)

Dua negara produsen minyak besar di Afrika ini menutup daftar 10 besar dengan inflasi sekitar 24%. Meskipun memiliki potensi ekonomi besar, keduanya menghadapi tantangan dalam mengelola hasil minyak agar benar-benar memberikan stabilitas ekonomi domestik.

Nigeria, misalnya, meskipun berstatus sebagai ekonomi terbesar di Afrika, masih tergantung pada impor dan rawan terhadap krisis nilai tukar. Sementara Angola masih berjuang di tengah proses liberalisasi ekonomi yang menimbulkan tekanan harga.

Inflasi Tinggi Bukan Sekadar Masalah Harga

Inflasi ekstrem bukan hanya soal ekonomi, tapi juga berkaitan dengan politik, sosial, dan kepercayaan masyarakat. Negara-negara dengan inflasi tinggi sering kali memiliki pola yang mirip: ketidakstabilan politik, ketergantungan pada ekspor komoditas tertentu, dan lemahnya institusi ekonomi.

Jika inflasi tidak segera dikendalikan, dampaknya bisa destruktif. Hiperinflasi bukan hanya menghancurkan daya beli, tapi juga mendorong kemiskinan ekstrem, memperburuk ketimpangan, dan merusak fondasi sosial masyarakat.

Mengatasi inflasi tinggi tidak bisa hanya lewat kebijakan moneter atau fiskal jangka pendek. Diperlukan reformasi struktural, transparansi kebijakan, dan dukungan dari lembaga internasional. Lebih dari itu, kepercayaan masyarakat perlu dipulihkan agar mata uang kembali punya nilai di mata rakyatnya sendiri.

Tanpa langkah serius, inflasi ekstrem bisa berubah menjadi bencana sosial yang lebih luas, dan sejarah telah menunjukkan betapa mahalnya harga dari krisis yang diabaikan terlalu lama.