Nissan Motor Co, salah satu pabrikan otomotif terbesar asal Jepang, mengumumkan rencana besar-besaran untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 20 ribu karyawan di seluruh dunia. Langkah drastis ini diambil setelah perusahaan mencatatkan kerugian bersih sebesar US$4,5 miliar atau sekitar Rp74,9 triliun (dengan kurs Rp16.645 per dolar AS) pada kuartal pertama tahun 2025.
Langkah ini menandai salah satu pukulan terberat yang pernah dialami Nissan sejak krisis keuangan yang melanda perusahaan pada akhir 1990-an. Kala itu, restrukturisasi besar-besaran menjadi jalan keluar, dan kini, sejarah tampaknya kembali terulang.
CEO Nissan, Ivan Espinosa, menyatakan bahwa keputusan untuk melakukan PHK tidak diambil dengan mudah. Menurutnya, ini adalah upaya terakhir untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan di tengah tekanan global yang semakin berat.
"Kami tidak akan melakukan ini jika tidak benar-benar diperlukan untuk bertahan," ujar Espinosa, seperti dikutip dari kantor berita AFP, Selasa (13/5).
Meskipun menyampaikan angka kerugian besar, manajemen Nissan enggan merinci berapa total laba bersih yang tercatat hingga Maret 2025. Mereka hanya menyebut target penjualan bersih sebesar 12,5 triliun yen untuk tahun fiskal ini, sembari menghindari membagikan proyeksi laba operasional maupun laba bersih tahunan.
Dihantam Tarif dan Kompetisi Ketat
Salah satu faktor utama yang disebut mengganggu performa keuangan Nissan adalah kebijakan tarif resiprokal dari Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. Kebijakan ini menyebabkan ketidakpastian pasar yang tinggi, terutama bagi produsen Jepang yang menggantungkan sebagian besar penjualannya pada ekspor ke AS.
"Ketidakpastian dari tarif AS membuat kami kesulitan membuat proyeksi rasional untuk laba dalam jangka panjang," kata Espinosa.
Menurut analis Bloomberg Intelligence, Tatsuo Yoshida, Nissan adalah produsen mobil Jepang yang paling rentan terhadap dampak tarif tersebut. Hal ini karena segmen konsumen Nissan dinilai sangat peka terhadap perubahan harga, berbeda dari pelanggan merek Jepang lainnya seperti Toyota atau Subaru yang dinilai lebih loyal dan stabil.
Tertekan oleh Mobil Listrik China
Tekanan terhadap Nissan tak hanya datang dari sisi kebijakan dagang, namun juga dari dinamika persaingan pasar yang berubah cepat. Produsen kendaraan listrik (EV) asal China kini semakin mendominasi pasar, terutama di wilayah Asia dan Eropa. Inovasi cepat dan harga kompetitif membuat produsen Jepang seperti Nissan tertinggal jauh dalam segmen kendaraan listrik.
Sebagai respons, Nissan menyatakan akan mempercepat peluncuran model-model kendaraan energi baru (NEV) yang lebih ramah lingkungan, dengan fokus utama pada pasar Tiongkok. Mereka menyadari bahwa masa depan industri otomotif kini bergerak ke arah elektrifikasi total, dan tidak ingin tertinggal lebih jauh.
Restrukturisasi dan Opsi Merger
PHK massal bukanlah satu-satunya strategi yang akan dilakukan Nissan. Espinosa menyebut perusahaan juga berencana memangkas jumlah pabrik mobil dari 17 menjadi 10 unit hingga tahun 2027. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi biaya produksi dan meningkatkan efisiensi operasional perusahaan di masa depan.
Selain itu, isu merger kembali mencuat. Setelah sebelumnya sempat menjajaki penggabungan dengan Honda Motor Co, rencana tersebut akhirnya gagal pada Februari 2025 lalu. Gagalnya merger terjadi karena ketidaksepakatan soal struktur kepemilikan.
Honda disebut hanya bersedia melanjutkan merger jika Nissan bersedia menjadi anak perusahaannya, yang ditolak oleh manajemen Nissan.
Meski demikian, Espinosa menyatakan pihaknya tetap terbuka untuk kemungkinan merger di masa mendatang, baik dengan Honda atau dengan mitra strategis lainnya.
"Kami terbuka untuk kerja sama yang saling menguntungkan, selama itu memungkinkan kami untuk tetap berdiri sebagai entitas independen yang kuat," tambahnya.
Refleksi Tantangan Industri Otomotif Jepang
Langkah drastis Nissan mencerminkan betapa kerasnya tekanan yang dihadapi industri otomotif global saat ini. Era kendaraan berbasis mesin bakar internal (ICE) dengan cepat ditinggalkan, dan siapa yang gagal beradaptasi akan segera tergilas.
Selain tantangan teknologi, kondisi geopolitik dan kebijakan perdagangan juga memengaruhi arah bisnis otomotif. Ketika kebijakan proteksionis seperti tarif masuk diberlakukan sepihak, produsen seperti Nissan yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap ekspor akan lebih cepat terdampak.
Di sisi lain, kegagalan merger dengan Honda juga menunjukkan masih kuatnya ego korporasi di Jepang, yang sering kali menghambat langkah besar untuk kolaborasi. Padahal, kolaborasi bisa menjadi jalan keluar di tengah tantangan besar ini.
Nissan sedang berada di persimpangan. Langkah yang mereka ambil saat ini akan menentukan apakah mereka bisa bertahan dan bertransformasi, atau justru menjadi salah satu nama besar yang terpaksa tersingkir dalam sejarah otomotif dunia.
0Komentar