Amerika Serikat dan China akhirnya mencapai kesepakatan penting untuk menurunkan tarif impor selama 90 hari ke depan. (Net)

Ketegangan panjang antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China, tampaknya mulai mencair. Dalam perundingan intensif yang berlangsung di Jenewa, Swiss, kedua negara sepakat untuk saling menurunkan tarif impor dalam kurun waktu 90 hari ke depan.

Langkah ini menjadi sinyal positif setelah bertahun-tahun dunia menyaksikan ketegangan perdagangan yang sempat mengguncang stabilitas pasar global. Kesepakatan ini disebut sebagai bentuk de-eskalasi dramatis, mengejutkan banyak pihak yang sudah mulai pesimistis terhadap kemungkinan berakhirnya sengketa ekonomi ini.

Mengutip pemberitaan CNN pada Selasa (13/5/2025), pemerintah AS mengharapkan langkah ini akan membantu memperbaiki defisit perdagangan yang selama ini menjadi perhatian utama Presiden Donald Trump. Pemerintah AS sebelumnya telah memberlakukan tarif tinggi terhadap produk China sebagai bagian dari strategi tekanannya. Namun kebijakan ini juga menimbulkan konsekuensi besar bagi pasar keuangan dunia, termasuk ancaman resesi bagi perekonomian domestik Amerika sendiri.

Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS, Kevin Hassett, mengatakan bahwa perundingan ini menjadi titik awal dari pendekatan baru dalam hubungan ekonomi antara kedua negara. Dalam wawancara eksklusifnya, Hassett menegaskan bahwa AS kini memasuki fase baru dengan China — sebuah era negosiasi yang lebih terarah dan konstruktif.

Selama dua hari pembicaraan intensif, kedua belah pihak sepakat untuk menurunkan tarif yang sebelumnya mencapai tingkat "stratosfer." Tarif bea masuk produk China ke AS yang semula menyentuh 145%, akan dipangkas menjadi hanya 30%. Sebaliknya, tarif China atas produk-produk AS juga akan turun drastis dari 125% menjadi 10%. Perubahan ini mulai diberlakukan efektif pada 14 Mei 2025 dan akan berlangsung selama tiga bulan ke depan.

Perwakilan AS, yakni Menteri Keuangan Scott Bessent dan Perwakilan Dagang Jamieson Greer, disebut oleh pelaku pasar sebagai figur yang kredibel dan tenang. Keberadaan mereka dalam perundingan ini memberikan kepercayaan bahwa AS benar-benar serius ingin mengakhiri konflik tarif yang berkepanjangan.

Di sisi lain, pemerintah China juga menunjukkan sikap yang lebih terbuka terhadap kompromi. Meskipun tidak banyak disorot dalam media barat, sumber diplomatik menyebut bahwa Beijing sudah lama merasakan tekanan ekonomi domestik akibat ketegangan ini. Bahkan beberapa pengamat meyakini bahwa kestabilan internal China menjadi salah satu faktor pendorong utama sikap kooperatif mereka dalam perundingan kali ini.

Menariknya, kesepakatan ini turut memberikan dampak positif terhadap perundingan dagang AS dengan negara-negara lain. Kesepakatan kecil yang dicapai dengan Inggris pekan lalu menjadi semacam 'pemanasan' yang mendorong semangat negosiasi multilateral lainnya.

Sejumlah penasihat Gedung Putih menyebut bahwa pendekatan baru ini—lebih pragmatis dan fokus pada hasil nyata—menjadi angin segar setelah bertahun-tahun dominasi pendekatan maksimalis yang cenderung konfrontatif.

Salah seorang senator Partai Republik bahkan mengatakan kepada CNN bahwa, untuk pertama kalinya, ia bisa melihat "landasan pendaratan" dari konflik ekonomi ini tanpa membayangkan skenario kehancuran besar-besaran.

Pernyataan ini mencerminkan perubahan signifikan dalam pandangan internal elit politik AS terhadap pendekatan Trump dalam isu perdagangan. Dulu dianggap terlalu agresif, kini dinilai lebih fleksibel dan realistis, terutama setelah peringatan serius dari berbagai eksekutif industri besar dan tekanan dari pasar obligasi serta rantai pasok global.

Bloomberg juga mencatat bahwa perubahan tarif ini telah disambut positif oleh pelaku pasar. Reaksi spontan terlihat dalam bentuk penguatan mata uang, stabilisasi harga saham sektor manufaktur, dan perbaikan ekspektasi pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

Dalam konferensi pers di Jenewa, Bessent menyatakan bahwa AS kini memiliki "mekanisme untuk perundingan lanjutan dengan China." Ia menambahkan bahwa kesepakatan ini bukan akhir, melainkan awal dari proses panjang untuk membangun kembali kepercayaan antara dua ekonomi terbesar dunia itu.

Bagi Trump sendiri, isu perdagangan tidak hanya soal ekonomi semata, tetapi juga bagian dari diplomasi strategisnya. Ia bahkan mengaitkan keberhasilan menengahi gencatan senjata antara India dan Pakistan dengan janji peningkatan volume perdagangan bilateral.

Sebagian analis menilai bahwa sikap Trump kali ini lebih reflektif, mungkin sebagai respons atas tekanan ekonomi dan politik yang meningkat menjelang tahun pemilu. Namun tidak bisa dipungkiri, keputusan ini memberikan secercah harapan bahwa stabilitas global masih bisa dipulihkan melalui jalur diplomasi.

Dalam konteks global, pergeseran ini bisa menjadi katalis penting untuk mengurangi fragmentasi perdagangan internasional. Jika berhasil, dunia mungkin akan menyaksikan era baru hubungan dagang yang lebih stabil, terukur, dan saling menguntungkan.

Akhirnya, meskipun masa depan hasil dari perundingan ini masih belum pasti, setidaknya dunia kini memiliki alasan untuk sedikit optimis. Bukan hanya karena tarif yang turun, tetapi karena ada tanda bahwa nalar dan kompromi perlahan kembali mewarnai hubungan antara Washington dan Beijing.