![]() |
Per April 2025, simpanan nasabah dengan saldo di atas Rp 5 miliar mencapai 54% dari total dana perbankan nasional, meski hanya mewakili 0,02% rekening. (Foto: 123rf) |
Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencerminkan satu tren yang konsisten, dominasi simpanan nasabah berkocek tebal dalam struktur perbankan nasional. Per April 2025, total simpanan di bank umum mencapai Rp 9.075,92 triliun, tumbuh 4,3% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Menariknya, lebih dari separuh dana tersebut—tepatnya 54,1% atau setara Rp 4.912,59 triliun—dimiliki oleh segelintir nasabah dengan saldo di atas Rp 5 miliar. Angka ini bahkan tumbuh 4,7% YoY, menunjukkan kecenderungan kelompok tajir untuk terus menumpuk dana di tengah situasi yang tidak selalu kondusif bagi ekspansi bisnis.
Dominasi nominal ini menjadi semakin kontras ketika melihat jumlah rekening yang mewakilinya. Dari total 622 juta rekening, hanya 144.702 (0,02%) yang berisi saldo lebih dari Rp 5 miliar.
Kelompok nasabah dengan simpanan Rp 2–5 miliar juga tak kalah mencolok; meski menyumbang Rp 710,38 triliun atau 7,8% dari total simpanan, jumlah rekeningnya hanya 222.579 atau 0,04% dari keseluruhan.
Sebaliknya, rekening dengan saldo di bawah Rp 100 juta mendominasi secara jumlah, mencapai 615,01 juta rekening atau 98,8% dari total, namun hanya menyumbang sebagian kecil secara nominal.
Fenomena ini mencerminkan ketimpangan struktural dalam sistem simpanan nasional—sebuah kondisi di mana segelintir entitas menguasai sebagian besar likuiditas perbankan.
“Kendati mendominasi secara nominal, dua kelompok nasabah ini tercatat hanya menyumbang sebagian kecil dari total rekening di perbankan,” ungkap laporan LPS, menyoroti ketimpangan yang kian melebar.
Di balik angka-angka tersebut, tersimpan cerita tentang strategi bertahan di tengah tekanan ekonomi. Kelompok dengan saldo jumbo, yang sebagian besar merupakan nasabah korporasi, menunjukkan sikap konservatif.
“Tier > Rp 5 miliar itu umumnya (nasabah) korporasi. Ini bisa jadi indikasi mereka agak menahan ekspansi, konsumsi, atau investasi bisnis,” ujar sumber yang dekat dengan otoritas moneter.
Alih-alih memperluas usaha atau meningkatkan penyerapan kredit investasi, mereka memilih untuk menahan dana di bank—memberikan ruang bagi perbankan untuk menjaga likuiditas, meski dengan risiko stagnasi dalam penyaluran kredit produktif.
Stabilnya inflasi juga menjadi salah satu pendorong pertumbuhan simpanan kalangan atas. Dengan inflasi April 2025 tercatat hanya 1,95% YoY, daya beli riil terhadap nilai simpanan tetap terjaga.
“Tren ini diperkuat oleh inflasi di level 1,95 persen YoY pada April 2025 sehingga daya beli nilai simpanan riil bisa terjaga,” kata pengamat ekonomi.
Lingkungan makroekonomi yang relatif stabil mendorong keputusan menahan uang tunai di bank sebagai strategi mitigasi risiko, bukan karena kebutuhan konsumsi atau likuiditas jangka pendek.
Tren dominasi simpanan jumbo bukanlah hal baru. Dua tahun sebelumnya, tepatnya April 2022, simpanan >Rp 5 miliar bahkan sempat turun 7% secara bulanan (month-on-month/mom), namun secara tahunan tetap tumbuh 13,5% dan sudah mencakup lebih dari 50% total simpanan.
Ini menunjukkan bahwa meskipun ada fluktuasi jangka pendek, kecenderungan konsentrasi dana pada kelompok atas tetap bertahan.
Di sisi lain, kelompok rekening kecil, terutama dengan saldo <Rp 100 juta, juga menunjukkan tren pertumbuhan yang stabil. Pada April 2022, kelompok ini tumbuh 7% mom dan menyumbang 13,5% dari total simpanan.
Bahkan hingga Maret 2025, pertumbuhannya masih tercatat 5% mom, mencerminkan partisipasi aktif masyarakat umum dalam sistem perbankan. Namun secara nilai, kontribusinya tetap jauh tertinggal.
Kondisi ini menimbulkan sejumlah implikasi strategis. Dari sisi industri perbankan, likuiditas yang melimpah dari kelompok tajir memungkinkan fleksibilitas dalam menjaga struktur pendanaan.
Namun dari sudut pandang makroekonomi, ketimpangan ini dapat menjadi penghambat sirkulasi dana ke sektor riil, terutama jika tidak diimbangi dengan dorongan ekspansi kredit yang sehat.
Di tengah ketidakpastian global dan dinamika kebijakan domestik, ada pula pertimbangan psikologis di balik tren akumulasi simpanan. Beberapa analis menyoroti ketidakpercayaan nasabah kaya terhadap arah kebijakan pemerintah sebagai salah satu faktor yang mendorong perilaku menahan dana.
Laporan dari lembaga kajian ekonomi Celios menyebutkan bahwa persepsi akan stabilitas fiskal dan politik turut memengaruhi keputusan simpanan, terutama bagi kelompok korporasi dan investor besar.
Kombinasi antara kehati-hatian korporasi, inflasi yang terjaga, serta belum pulihnya optimisme bisnis telah menciptakan struktur simpanan yang terpusat di tangan sedikit pemilik rekening.
Jika tren ini terus berlanjut tanpa disertai pergeseran dalam distribusi kredit atau kebijakan fiskal yang progresif, potensi ketimpangan ekonomi dapat makin membesar, dengan segala risiko sosial dan politik yang mengikutinya.
0Komentar