Kanselir Jerman Friedrich Merz (Reuters)

Ketua Uni Demokratik Kristen (CDU) Friedrich Merz menyampaikan kritik tajam terhadap operasi militer Israel di Jalur Gaza yang terus menimbulkan korban sipil dalam jumlah besar. Dalam pernyataan terbarunya, Merz menyebut serangan tersebut "tidak dapat lagi dibenarkan sebagai perang melawan terorisme Hamas", seraya mempertanyakan tujuan militer Israel setelah kehancuran luas infrastruktur sipil dan memburuknya kondisi kemanusiaan.

“Membahayakan penduduk sipil hingga sedemikian rupa... tidak dapat lagi dibenarkan sebagai perang melawan terorisme Hamas,” tegas Merz, dalam sebuah wawancara yang dikutip media Jerman pekan ini.

Merz juga mengungkapkan niatnya untuk menghubungi langsung Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu guna menyampaikan keprihatinan Jerman terhadap eskalasi kekerasan yang dianggap sudah melampaui batas. 

Ia memperingatkan bahwa tindakan berlebihan akan merusak posisi Israel di mata komunitas internasional, termasuk di antara sekutu terdekatnya.

“Kami ingin tetap di sisi Israel, tetapi pemerintah Israel tidak boleh melakukan apa pun yang sahabat terdekatnya tidak lagi bisa terima,” ujar Merz.

Krisis Kemanusiaan Meningkat

Kritik Merz muncul di tengah laporan mengkhawatirkan dari lembaga internasional tentang kondisi kemanusiaan di Gaza. Sejak Israel memperketat blokade bantuan kemanusiaan pada Maret 2025, wilayah tersebut mengalami krisis kelaparan akut. 

Laporan PBB menunjukkan bahwa 92% ibu hamil dan bayi mengalami kekurangan gizi, sementara WHO mencatat setidaknya 57 anak meninggal akibat malnutrisi sejak awal blokade.

Korban jiwa pun terus meningkat. Per Mei 2025, lebih dari 52.600 warga Palestina telah tewas—sekitar 70 persen di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. 

Amnesty International dan Human Rights Watch menuduh Israel melakukan "tindakan genosida", merujuk pada penghancuran sistematis infrastruktur sipil dan blokade yang melumpuhkan distribusi bantuan.

Merz menyinggung kompleksitas posisi Jerman dalam menyikapi konflik ini. Sebagai negara dengan tanggung jawab historis atas Holocaust, Jerman selama ini bersikap hati-hati dalam mengkritik Israel. 

Namun, menurut Merz, hal tersebut tidak boleh menghalangi kecaman terhadap pelanggaran hukum internasional.

“Sebagai bangsa yang berakar pada prinsip kemanusiaan dan penghormatan terhadap hukum, Jerman tidak bisa tinggal diam ketika hukum humaniter internasional dilanggar—bahkan oleh sekutu dekat sekalipun,” kata Merz.

Gesekan Politik di Dalam Negeri

Pernyataan Merz menambah dinamika dalam perdebatan politik domestik di Jerman. Beberapa anggota Partai Sosial Demokrat (SPD), yang merupakan bagian dari koalisi pemerintahan Kanselir Olaf Scholz, secara terbuka mendesak penghentian ekspor senjata ke Israel. 

Mereka menyatakan bahwa senjata buatan Jerman tidak boleh digunakan dalam operasi yang berujung pada bencana kemanusiaan.

Survei nasional terbaru menunjukkan adanya penurunan tajam dalam persepsi publik Jerman terhadap Israel—dari 46% pada 2021 menjadi hanya 36% pada 2025. 

Ini mengindikasikan bahwa dukungan tradisional terhadap konsep Staatsräson—doktrin yang menyatakan keamanan Israel sebagai kepentingan nasional Jerman—sedang mengalami ujian serius.

Pernyataan Merz bisa dibilang terlambat, namun tetap relevan dalam konteks eskalasi yang semakin sulit dipertanggungjawabkan secara moral maupun politik. 

Dunia telah menyaksikan penderitaan luar biasa di Gaza selama berbulan-bulan, dan diamnya banyak pemimpin Eropa selama periode ini mencerminkan kegagalan kolektif.

Bahwa seorang tokoh konservatif Jerman kini secara terbuka mempertanyakan legitimasi operasi militer Israel menandai pergeseran penting dalam wacana Eropa. 

Ini bukan sekadar kritik terhadap Netanyahu, melainkan juga sinyal bahwa dukungan buta terhadap kebijakan militer Israel mulai kehilangan legitimasi, bahkan di mata sekutu historisnya.

Jika Israel terus mengabaikan seruan internasional dan melanjutkan strategi penghancuran total yang dibungkus dalam retorika keamanan, bukan tidak mungkin akan kehilangan lebih dari sekadar opini publik: bisa jadi, dukungan politik dan ekonomi dari sekutu utama pun akan tergerus.