![]() |
Inggris, Kanada, dan Prancis mengejutkan publik dengan pernyataan keras terhadap Israel terkait serangan di Gaza dan blokade bantuan kemanusiaan. (REUTERS) |
Ketegangan di Timur Tengah memasuki babak baru. Tiga negara sekutu Barat—Inggris, Kanada, dan Prancis—melontarkan ancaman sanksi terhadap Israel, menandai perubahan signifikan dalam dukungan tradisional mereka terhadap negara tersebut. Mereka mengecam serangan militer Israel di Gaza yang dianggap tidak proporsional serta blokade yang menghambat masuknya bantuan kemanusiaan.
Dalam pernyataan bersama yang dirilis awal Mei, ketiganya menyebut penolakan bantuan oleh pemerintah Israel sebagai tindakan yang melanggar hukum humaniter internasional.
Di tengah krisis yang terus memburuk, peringatan tersebut tidak hanya berbentuk kecaman diplomatik, tapi juga mengarah pada tindakan konkret.
Ketiga negara secara eksplisit menyatakan bahwa jika Israel tetap melanjutkan kebijakan ekspansi permukiman di Tepi Barat dan operasi militer intensif di Gaza, maka sanksi yang ditargetkan akan diberlakukan. Ini adalah sinyal kuat bahwa dukungan Barat terhadap Israel kini datang dengan batas yang lebih jelas.
"Kami selalu mendukung hak Israel membela diri," ujar salah satu diplomat senior, "tapi eskalasi ini benar-benar tidak proporsional."
Reaksi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, datang dengan nada keras. Ia menuduh negara-negara tersebut "memberikan hadiah besar" kepada Hamas dan menyatakan bahwa Israel akan terus berperang sampai "kemenangan total" diraih.
Israel juga tetap menutup akses bantuan sejak Maret, memblokir pasokan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan sebagai bentuk tekanan terhadap Hamas—strategi yang justru memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah ada.
Lebih dari 53.000 orang dilaporkan tewas di Gaza, menurut otoritas kesehatan setempat. Blokade membuat 80% populasi bergantung pada bantuan makanan darurat, dengan 30.000 anak mengalami malnutrisi akut.
PBB menyebut situasi di Gaza sebagai "ambang kelaparan," sementara Amnesty International menyoroti penggunaan senjata terlarang dan serangan terhadap zona aman sebagai indikasi kejahatan perang.
Respons Hamas terhadap pernyataan tiga negara Barat cukup positif. Mereka menyebutnya sebagai langkah penting dalam mengembalikan prinsip-prinsip hukum internasional.
Di sisi lain, proposal gencatan senjata yang diajukan Hamas—yang mencakup pembebasan sandera dan penarikan total Israel dari Gaza—ditolak mentah-mentah oleh Netanyahu, dengan dalih Hamas tak dapat dipercaya.
Ketegangan internasional tak berhenti di situ. Amerika Serikat, mitra terdekat Israel, untuk pertama kalinya sejak perang dimulai menahan pengiriman senjata sebagai bentuk tekanan.
Pemerintah AS, di bawah tekanan dari dalam negeri terutama dari Partai Demokrat yang semakin terpecah, mencoba menyeimbangkan dukungan terhadap Israel dengan kepatuhan pada hukum internasional dan kemanusiaan.
Sementara itu, Uni Eropa menghadapi dinamika internalnya sendiri. Negara seperti Spanyol dan Irlandia mendorong sanksi keras, namun mendapat resistensi dari Jerman dan Hungaria.
Jika Israel terus mengabaikan putusan Mahkamah Internasional, kemungkinan tekanan dari Eropa akan meningkat, memperluas isolasi diplomatik yang kini mulai dirasakan Tel Aviv.
Ancaman eskalasi regional juga semakin nyata. Iran dan kelompok Hizbullah memperingatkan bahwa invasi besar-besaran ke Rafah akan memicu keterlibatan langsung mereka.
Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, menyatakan siap untuk mengambil tindakan, membuka potensi konflik yang jauh lebih luas di kawasan.
Di dalam negeri Israel, tekanan terhadap Netanyahu juga meningkat. Ribuan warga, termasuk keluarga para sandera, turun ke jalan menuntut diadakannya pemilu baru. Mereka menuding Netanyahu sengaja memperpanjang konflik demi mempertahankan koalisi sayap kanan dan kelangsungan kekuasaannya.
Kritik tajam ini menambah beban bagi seorang pemimpin yang kini terjepit antara tuntutan politik dalam negeri, tekanan internasional, dan medan perang yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
Di balik semua itu, dampak ekonomi mulai terasa. Nilai tukar shekel jatuh, investor asing mulai menarik diri, dan ketidakpastian politik memperparah kekhawatiran akan masa depan ekonomi Israel. Jika sanksi benar-benar diberlakukan, dampaknya bisa jauh lebih besar daripada sekadar tekanan militer.
Konflik Israel-Gaza kini bukan lagi hanya soal dua entitas yang saling bermusuhan. Ia telah menjadi episentrum dari krisis kemanusiaan, diplomatik, dan politik yang menyita perhatian dunia.
Ketika kepentingan geopolitik, tekanan publik, dan prinsip kemanusiaan saling berbenturan, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah: sampai kapan dunia akan membiarkan tragedi ini berlanjut tanpa solusi nyata?
0Komentar