Saham Garuda Indonesia (GIAA) melonjak 41% setelah kabar suntikan modal dari Danantara. (Wikimedia Commons)

Saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) kembali jadi sorotan setelah mencatat lonjakan harga sebesar 41% dalam sepekan terakhir, menembus Rp55 per saham per 23 Mei 2025. Optimisme pasar meningkat seiring kabar rencana suntikan modal dari Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, yang berpotensi menyelamatkan maskapai pelat merah ini dari tekanan keuangan berat yang telah membayang sejak beberapa tahun terakhir.

Dorongan utama bagi lonjakan saham GIAA datang dari kabar bahwa Danantara tengah mengkaji penyertaan modal baru ke Garuda. Skema tersebut diperkirakan digunakan untuk menambah armada baru, dengan target hingga 50 unit pesawat Boeing, termasuk opsi Boeing 777X untuk meningkatkan efisiensi rute jarak jauh.

CEO Danantara, Rosan Roeslani, menyatakan bahwa diskusi dengan para pemangku kepentingan tengah berlangsung. “Kita masih diskusi dengan semua pihak... sedang berjalan, insyaallah,” ujarnya. 

Meskipun belum ada angka pasti, rencana ini menandai sinyal kepercayaan dari pemerintah yang sebelumnya telah menyerahkan 65% kepemilikan saham GIAA kepada Danantara pada Maret 2025 sebagai bagian dari restrukturisasi BUMN.

Analis Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji, menilai bahwa suntikan modal dapat menjadi titik balik bagi GIAA, khususnya jika digunakan untuk memperbarui armada dan memperkuat posisi kompetitif. Namun ia menegaskan, “Tantangannya adalah efisiensi, serta bagaimana Garuda bisa mencetak laba.”

Laporan keuangan kuartal I 2025 menunjukkan kerugian bersih US$76 juta, memang lebih baik dibandingkan rugi US$87 juta pada Q1 2024, namun belum menandakan pemulihan. 

Ekuitas perusahaan juga masih negatif Rp23,2 triliun, dengan total utang membengkak hingga Rp62,5 triliun—menjadikan Garuda technically bankrupt secara finansial.

Tak hanya itu, 15 unit pesawat Garuda tidak dapat beroperasi karena tertundanya pembayaran perawatan. Sejumlah pemasok bahkan menuntut pembayaran di muka untuk suku cadang, mencerminkan ketidakpercayaan terhadap kelayakan pembayaran maskapai.

Salah satu beban terbesar bagi Garuda adalah keterikatan pada regulasi tarif domestik yang membatasi ruang gerak maskapai dalam menaikkan harga tiket. 

Di tengah tekanan biaya operasional dan pembengkakan utang, fleksibilitas harga bisa menjadi kunci untuk mempercepat pemulihan—yang sayangnya belum tersedia sepenuhnya.

Dalam jangka menengah, Garuda telah meluncurkan program transformasi 2025 yang fokus pada efisiensi biaya dan peningkatan pendapatan dari segmen kargo. 

Anak usaha Garuda, GMFI (Garuda Maintenance Facility), bahkan menunjukkan potensi pertumbuhan yang menjanjikan dengan kenaikan harga saham 43,48% dalam sepekan terakhir.

Hal ini membuka peluang diversifikasi yang lebih kuat ke bisnis penunjang aviasi, sebagai cara memperkuat struktur pendapatan di luar penerbangan penumpang yang sangat sensitif terhadap kondisi makro.

Di kancah regional, maskapai seperti AirAsia dan Lion Air menunjukkan pemulihan yang jauh lebih cepat. Lion Air mencatatkan kapasitas tertinggi di ASEAN dengan 3,16 juta kursi pada September 2024, sementara AirAsia mencatatkan peningkatan jumlah penumpang hingga 4,5 juta orang pada kuartal III 2023. Dengan kompetitor yang agresif, Garuda perlu bergerak cepat jika ingin mengejar ketertinggalan.

GIAA melakukan IPO pada Februari 2011 dengan harga Rp750 per saham. Namun, saham langsung terkoreksi pada hari pertama perdagangan dan belum pernah menyentuh harga IPO sejak saat itu. Dengan harga Rp55 saat ini, investor jangka panjang masih mencatat kerugian lebih dari 90%.

Suntikan modal dari Danantara jelas menjadi harapan baru bagi Garuda Indonesia untuk keluar dari tekanan keuangan akut dan memperkuat posisi bisnisnya. 

Namun dengan beban utang yang masih tinggi, inefisiensi operasional, dan keterbatasan ruang manuver harga, pemulihan GIAA tetap bergantung pada implementasi strategi jangka panjang yang disiplin dan efektif.

Investor perlu mencermati lebih lanjut arah konkret dari penyertaan modal ini, termasuk potensi risiko dari ketergantungan pada satu produsen pesawat serta evaluasi kinerja kuartal mendatang. Transformasi butuh waktu dan konsistensi, tidak cukup hanya dengan kabar baik sesaat.