![]() |
Harga batu bara menguat di tengah kebijakan AS yang pro-batu bara, terutama langkah dari pemerintahan Trump. (PT. SHA SOLO) |
Harga batu bara global mencatat penguatan moderat pada pekan ini di tengah dinamika kebijakan energi, gangguan pasokan, dan tekanan dari tren transisi energi bersih. Pada Jumat (23/5), harga batu bara ICE Newcastle untuk kontrak pengiriman Juni 2025 ditutup pada level US$100,4 per ton, naik 0,3% dari hari sebelumnya.
Dalam sepekan terakhir, harga mencatat kenaikan sebesar 1,41% secara point-to-point, dan secara bulanan telah menguat hingga 5,96%.Meski demikian, level harga saat ini masih jauh di bawah rekor tertinggi sepanjang masa yang pernah dicapai pada September 2022, yaitu sebesar US$463,75 per ton, ketika krisis energi global mencapai puncaknya.
Salah satu faktor utama penggerak harga pekan ini datang dari Amerika Serikat. Pemerintahan Trump kembali mendorong sektor energi batu bara melalui paket kebijakan ekonomi baru, termasuk alokasi 4 juta hektar lahan tambang di wilayah barat AS.
Rancangan Undang-Undang tersebut telah disetujui DPR dan kini menunggu pembahasan di Senat. Jika disahkan, peningkatan pasokan batu bara domestik AS diperkirakan dapat mulai terealisasi dalam waktu 90 hari. Sentimen ini menambah dorongan optimisme pasar meskipun secara global permintaan batu bara tengah berfluktuasi.
Di sisi lain, gangguan pasokan turut berperan dalam menahan laju penurunan harga. Cuaca buruk yang terjadi di Queensland, Australia, menghambat aktivitas ekspor Whitehaven Coal, salah satu produsen batu bara terbesar di negara tersebut. Hal ini memicu kekhawatiran akan terjadinya pengetatan pasokan jangka pendek di pasar internasional.
China Kurangi Impor, Indonesia Kena Imbasnya
Sementara itu, dari sisi permintaan, China kembali menjadi perhatian utama. Negara tersebut mencatat penurunan impor batu bara termal sebesar 13,1% pada April 2025 dibanding bulan sebelumnya.
Namun demikian, Pemerintah Tiongkok secara bersamaan mengumumkan target peningkatan produksi domestik sebesar 1,5% atau setara dengan 4,82 miliar ton. Kebijakan ini menunjukkan strategi ketahanan energi lokal sekaligus sinyal bahwa ketergantungan terhadap impor kemungkinan akan terus berkurang.
Situasi serupa juga dialami oleh Indonesia sebagai salah satu eksportir batu bara utama dunia. Pemerintah Indonesia baru-baru ini menetapkan kewajiban penggunaan Harga Batu Bara Acuan (HBA) untuk seluruh transaksi ekspor mulai 1 Maret 2025.
Kebijakan ini memicu penolakan dari sejumlah importir besar, terutama dari China, karena sistem HBA yang hanya diperbarui sebulan sekali dinilai tidak mampu mencerminkan kondisi harga pasar yang fluktuatif. Beberapa pembeli bahkan dikabarkan telah membatalkan atau menegosiasikan ulang kontrak pembelian.
Efek langsung dari kebijakan ini terlihat pada data April 2025, di mana impor batu bara China dari Indonesia tercatat turun hingga 20%.
Meski demikian, Indonesia justru mencatatkan rekor produksi batu bara tertinggi pada 2024, yaitu sebesar 836 juta ton. Walau pencapaian ini menunjukkan kapasitas industri yang terus berkembang, lonjakan produksi ini juga meningkatkan risiko oversupply, terutama jika permintaan dari mitra dagang utama seperti China dan India terus melemah.
Sinyal Campuran dari Grafik Harga
Analisis teknikal terhadap harga batu bara pekan depan menunjukkan sinyal campuran. Saat ini, level support berada di kisaran US$98 per ton (moving average 5 hari) dan US$97 per ton (moving average 10 hari), sementara resistance terdekat berada di US$103 per ton.
Jika level tersebut mampu ditembus, ada potensi harga mengalami kenaikan lanjutan hingga menyentuh US$124 per ton. Namun, indikator stochastic RSI menunjukkan angka 100, menandakan kondisi pasar yang berada dalam zona overbought ekstrem.
Artinya, peluang koreksi harga dalam jangka pendek cukup terbuka jika tidak ada sentimen baru yang kuat. Di sisi lain, indikator volatilitas ATR (Average True Range) selama 14 hari menunjukkan nilai rendah di angka 3, yang mengindikasikan pasar masih dalam kondisi relatif stabil.
Tekanan Energi Bersih Masih Jadi Ancaman
Di balik dinamika jangka pendek tersebut, pasar batu bara tetap dibayangi tekanan jangka panjang dari transisi energi global. Inisiatif-inisiatif besar seperti program dari Rockefeller Foundation yang bertujuan menutup pembangkit batu bara di negara berkembang menunjukkan bahwa masa depan batu bara sebagai sumber energi utama semakin terbatas.
Tren ini diperkuat oleh penurunan biaya teknologi energi terbarukan dan target net-zero emission yang terus dikejar berbagai negara di Asia, Eropa, hingga Amerika Latin.
Meskipun harga saat ini cenderung stabil, proyeksi dari lembaga seperti Trading Economics menunjukkan bahwa batu bara kemungkinan akan berada di kisaran US$100,63 per ton hingga akhir kuartal II 2025, setelah sebelumnya turun lebih dari 20% sejak awal tahun.
Di luar faktor fundamental dan teknikal, pasar juga mulai mencermati faktor geopolitik, khususnya ketegangan antara India dan Pakistan, yang berpotensi mengganggu permintaan regional karena kedua negara merupakan konsumen batu bara terbesar di kawasan Asia Selatan.
Secara keseluruhan, pasar batu bara saat ini berada dalam persimpangan penting. Di satu sisi, ada peluang penguatan harga dalam jangka pendek akibat gangguan pasokan dan kebijakan pro-batu bara di Amerika Serikat.
Namun di sisi lain, tekanan dari penurunan permintaan, kebijakan ekspor yang tidak fleksibel, serta komitmen global terhadap energi bersih dapat menjadi penghambat utama bagi keberlanjutan tren naik ini.
Pelaku pasar dihadapkan pada kenyataan bahwa meskipun ada ruang untuk reli harga, arah jangka panjang tetap mengarah pada perlambatan karena pergeseran struktural dalam konsumsi energi global.
0Komentar