Demonstran desak Harvard untuk ambil sikap terhadap Presiden Donald Trump. (Erin Clark / The Boston Globe via Getty Images)

Konflik antara lembaga pendidikan tinggi dan kekuasaan politik kembali mencuat ke permukaan, kali ini melalui langkah hukum yang diambil oleh Universitas Harvard terhadap pemerintahan Trump. Gugatan tersebut muncul setelah keputusan pemerintah mencabut sertifikasi Program Mahasiswa dan Pengunjung Pertukaran (SEVP), yang pada dasarnya melarang kampus untuk menerima mahasiswa asing.

Bagi Harvard, keputusan ini bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi bentuk serangan langsung terhadap nilai-nilai dasar pendidikan dan kebebasan akademik. 

Di dalam dokumen gugatan, Harvard menuduh pencabutan ini dilakukan secara sepihak dan bermotif politis—sebuah bentuk balasan karena kampus menolak intervensi pemerintah dalam hal kurikulum, tata kelola, dan kebijakan keberagaman.

Langkah ini dinilai melanggar Amandemen Pertama Konstitusi AS yang menjamin kebebasan berpendapat dan akademik, sekaligus bertentangan dengan klausul Proses Hukum karena tidak ada pemberitahuan atau mekanisme pembelaan sebelum keputusan diberlakukan.

Dampaknya sangat nyata dan langsung terasa. Lebih dari 7.000 mahasiswa asing terancam kehilangan visa mereka, termasuk mereka yang berada di tahun terakhir dan sedang mempersiapkan kelulusan. 

Dengan sepertiga mahasiswa Harvard berasal dari luar negeri, ancaman ini tidak hanya mengguncang kehidupan pribadi ribuan orang, tetapi juga mengganggu stabilitas intelektual dan ekonomi kampus.

Dalam konteks globalisasi pendidikan, hilangnya mahasiswa internasional berarti runtuhnya jembatan kerja sama riset, pertukaran budaya, dan kontribusi ekonomi yang signifikan. Proyek-proyek penting di bidang sains seperti penelitian kanker, Alzheimer, dan bioteknologi dapat tertunda atau gagal total karena keterputusan jaringan kolaborasi internasional.

Namun, respons dari pemerintahan Trump tidak menunjukkan tanda kompromi. Kristi Noem, Menteri Keamanan Dalam Negeri, menuduh Harvard memfasilitasi gerakan antisemitisme dan memiliki koneksi ideologis dengan Partai Komunis China. 

Tudingan ini disampaikan bersamaan dengan ancaman finansial berupa pembekuan dana federal sebesar $2,2 miliar yang dialokasikan untuk riset universitas.

Secara politik, ini tampaknya menjadi bagian dari strategi kampanye yang lebih luas—menggunakan institusi pendidikan sebagai simbol perlawanan terhadap “elite liberal” yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai nasionalis yang diusung Trump.

Tentu saja, tuduhan semacam itu mengundang reaksi internasional. Pemerintah China, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri, mengecam langkah AS sebagai tindakan yang merusak reputasi globalnya sendiri. Sebagai bentuk respons, China menawarkan peluang studi alternatif bagi warganya, termasuk melalui beasiswa ke universitas top di Hong Kong.

Dunia akademik pun merespons: asosiasi profesor, alumni, dan mahasiswa Harvard menyuarakan solidaritas mereka, menyebut tindakan ini sebagai bentuk otoritarianisme baru yang mengancam ruang berpikir bebas dan integritas akademik.

Di sisi hukum, ada sedikit titik terang. Pengadilan Federal Massachusetts mengeluarkan penangguhan sementara terhadap pencabutan SEVP pada 23 Mei 2025. Ini memberi waktu bagi para mahasiswa dan pihak kampus untuk bernapas sejenak sebelum sidang lanjutan yang dijadwalkan akhir Mei.

Namun, proses hukum ini bukan sekadar sengketa administratif. Ia mencerminkan pertarungan lebih besar tentang arah kebijakan imigrasi, peran universitas dalam demokrasi, dan batas kekuasaan eksekutif dalam mengatur institusi pendidikan.

Yang sedang diuji bukan hanya legalitas sebuah kebijakan, tetapi legitimasi politik yang berupaya membentuk lanskap akademik berdasarkan kalkulasi ideologis dan geopolitik.

Ketika pemerintah mulai menggunakan visa pelajar sebagai alat tekanan, itu bukan lagi soal keamanan nasional atau efisiensi birokrasi, melainkan upaya mendisiplinkan lembaga pendidikan agar tunduk pada narasi negara.

Pertanyaannya kemudian, apakah pendidikan tinggi di Amerika akan tetap menjadi pilar kebebasan berpikir dan tempat pertemuan gagasan global, atau justru berubah menjadi arena perang budaya yang dikendalikan dari pusat kekuasaan?

Gugatan Harvard, dalam konteks ini, adalah sinyal perlawanan terhadap normalisasi intervensi politik dalam ruang akademik.

Dalam lanskap global yang saling terhubung, posisi universitas seperti Harvard tak hanya sebagai lembaga pendidikan, melainkan sebagai duta diplomasi intelektual dan jendela terbuka bagi dunia untuk melihat Amerika.

Ketika kebijakan domestik mulai menutup jendela itu, maka yang hilang bukan hanya mahasiswa, melainkan juga kepercayaan dunia terhadap nilai-nilai yang selama ini dijadikan landasan moral dan strategis oleh AS.