Warga Uni Eropa kembali harus menghadapi kenyataan pahit soal tagihan energi, Harga gas untuk rumah tangga di Eropa dilaporkan melonjak tajam pada paruh kedua tahun 2024. Kenaikan ini menjadi yang tertinggi sejak krisis energi pada 2022 lalu.
Data dari Eurostat menunjukkan bahwa tarif gas mulai naik lagi pada periode Juli hingga Desember 2024. Ini jadi pertama kalinya harga melonjak setelah sempat stabil dalam beberapa waktu terakhir.
Lonjakan harga ini bukan tanpa sebab, Sanksi terhadap Rusia akibat konflik Ukraina mendorong Uni Eropa untuk memangkas ketergantungannya pada gas dari Moskow. Alhasil, impor gas dari Rusia pun anjlok drastis.
Sebelum konflik, sekitar 40% gas UE berasal dari Rusia. Namun, awal 2025 angkanya tinggal 19%. Sisanya kini datang dari negara lain seperti Amerika Serikat—dengan harga lebih mahal.
Rata-rata harga gas, termasuk pajak, tercatat sebesar USD13,96 per 100 kWh. Bandingkan dengan periode sebelumnya yang hanya sekitar USD12,50. Ini adalah harga tertinggi sejak pencatatan dimulai tahun 2008.
Tentu saja, tidak semua negara UE terkena dampak yang sama. Swedia misalnya, mencatat harga tertinggi secara nominal yakni 18,93 euro per 100 kWh. Meski begitu, konsumsi gas di negara itu sangat kecil, hanya sekitar 2% dari kebutuhan energinya. Swedia lebih banyak mengandalkan energi terbarukan dan rendah karbon.
Sementara Portugal jadi negara dengan gas termahal jika dihitung berdasarkan daya beli. Mereka sangat bergantung pada LNG impor dari Nigeria dan Amerika Serikat, dengan porsi gas Rusia yang tinggal 4,4% tahun lalu.
Italia berada di posisi kedua untuk harga gas termahal dalam istilah daya beli. Negara ini juga memangkas pasokan dari Rusia, meski pejabat setempat sempat membuka kemungkinan untuk mengimpor kembali jika konflik Ukraina mereda.
Hungaria menjadi pengecualian. Negara ini mencatat harga gas terendah, baik secara nominal maupun dalam standar daya beli. Kondisi ini menunjukkan bahwa peralihan energi memang tidak murah, apalagi jika dilakukan mendadak karena faktor geopolitik.
Dalam jangka panjang, ketergantungan pada energi impor—terutama dari negara jauh—bisa menimbulkan ketidakstabilan harga. Di sisi lain, transisi menuju energi bersih tetap penting, namun harus dibarengi dengan strategi yang matang agar tidak membebani rakyat.
0Komentar