![]() |
Pengunduran diri mendadak Direktur Eksekutif Gaza Humanitarian Foundation (GHF) mengungkap kontroversi seputar distribusi bantuan di Gaza. (Foto: HO-Baznas/aa) |
Pengunduran diri Jake Wood dari Gaza Humanitarian Foundation (GHF) pada 25 Mei 2025 menjadi sorotan global. Wood, mantan Marinir AS sekaligus direktur eksekutif GHF, memilih mundur dengan alasan prinsip: "Saya tidak akan meninggalkan prinsip-prinsip ini," tulisnya, merujuk pada nilai dasar kemanusiaan—kemanusiaan, netralitas, ketidakberpihakan, dan independensi—yang menurutnya tak lagi dijunjung oleh organisasi yang ia pimpin.
Keputusan Wood datang di tengah tekanan besar. Blokade total oleh Israel sejak Maret 2025 telah menciptakan krisis kelaparan akut di Gaza: 93% warga menghadapi kerawanan pangan ekstrem, 57 anak dilaporkan meninggal akibat gizi buruk, dan setengah juta lainnya terancam kelaparan.
Dalam situasi seperti ini, GHF semestinya menjadi harapan. Namun, justru sebaliknya, lembaga ini menjadi pusat kontroversi.
GHF merancang sistem distribusi bantuan melalui empat titik di selatan Gaza, dengan paket 20 kg yang harus diambil langsung oleh warga. Tak ada mekanisme khusus bagi penyandang disabilitas, korban luka, atau lansia.
"Bagaimana mungkin seorang ibu dengan tiga anak kecil harus berjalan sejauh 10 kilometer hanya untuk mendapat sekarung tepung?" tanya salah satu relawan LSM lokal yang menolak disebutkan namanya.
PBB, Komite Palang Merah Internasional (ICRC), dan sedikitnya sebelas LSM kemanusiaan telah menolak skema ini. Mereka menyebut GHF melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan, dengan tudingan paling keras datang dari Tom Fletcher dari PBB yang menyebut GHF menjadikan "kelaparan sebagai alat tawar-menawar."
GHF dibentuk pada Februari 2025 melalui pertemuan rahasia antara pejabat Israel, mantan perwira militer AS, dan pengusaha swasta. Sejak awal, konsep "gelembung kemanusiaan" GHF—wilayah aman yang diatur Israel untuk menyalurkan bantuan—sudah memicu kekhawatiran.
Bukan hanya karena mekanismenya yang tidak realistis, tetapi juga karena peran besar kontraktor keamanan swasta bersenjata dan eks-pejabat intelijen AS dalam operasionalnya.
Kritik juga datang karena tidak adanya keterlibatan otoritas atau organisasi sipil Palestina. Data penerima bantuan diminta oleh Israel dalam bentuk biometrik, namun Wood sempat menolaknya sebelum akhirnya mengundurkan diri.
"GHF bukan organisasi kemanusiaan, ini proyek politik dengan topeng moral," kata Jan Egeland dari Norwegian Refugee Council.
Meski dihantam kritik dan kehilangan pemimpinnya, GHF tetap melanjutkan operasinya mulai 26 Mei, dengan target menjangkau satu juta warga Gaza dalam sepekan.
Pemerintah AS melalui Departemen Luar Negeri menyatakan tetap mendukung misi GHF, menyitir Presiden Trump yang mengatakan, "Rakyat Palestina sangat membutuhkan bantuan."
Namun pertanyaannya tetap: bantuan macam apa? Apakah sebuah bantuan yang hanya bisa diakses dengan berpindah tempat dan risiko tinggi tetap bisa disebut ‘kemanusiaan’? PBB bahkan memperingatkan bahwa cara kerja GHF bisa memicu eksodus paksa warga Gaza utara ke selatan demi sekotak makanan.
GHF mungkin memulai misinya dengan niat mulia, tetapi realita politik dan militer dengan cepat membelokkan arah. Pengunduran diri Jake Wood menjadi momen reflektif—bahwa dalam krisis sebesar Gaza, garis antara bantuan dan kepentingan bisa kabur, bahkan di tangan mereka yang mengaku datang membawa harapan.
Di balik semua angka, sistem, dan pernyataan diplomatik, tetap ada satu pertanyaan mendasar: apakah warga Gaza masih dianggap manusia penuh hak, atau hanya pion dalam permainan geopolitik yang tak berkesudahan?
0Komentar