Israel dan Hamas menyetujui gencatan senjata selama 60 hari di Gaza berdasarkan proposal AS. Kesepakatan ini mencakup pertukaran sandera dan jenazah, di tengah eskalasi konflik dan krisis kemanusiaan. (Foto: The Guardian)

Setelah berbulan-bulan konflik berdarah, secercah harapan muncul di Jalur Gaza. Israel dan Hamas dikabarkan telah menyetujui gencatan senjata sementara selama 60 hari, berdasarkan proposal yang dirancang oleh Amerika Serikat dan dimediasi oleh Qatar serta Mesir. Kesepakatan ini mencakup penghentian serangan militer dan pertukaran sandera.

Seorang pejabat Israel yang tidak disebutkan namanya, dikutip oleh Haaretz, menjelaskan bahwa, “Proposal AS mencakup pembebasan 10 sandera Israel yang masih hidup dan pengembalian 18 jenazah oleh Hamas dalam waktu satu minggu. Sebagai imbalan, Israel akan menghentikan operasi militernya selama 60 hari."

Di sisi lain, Hamas disebut menyambut tawaran tersebut dengan hati-hati. Menurut sumber diplomatik yang berbicara kepada The Jerusalem Post, “Hamas melihat proposal ini cenderung menguntungkan Israel. Kami khawatir tidak ada jaminan bahwa gencatan ini akan diperpanjang menjadi permanen.” 

Sumber tersebut juga menekankan kekhawatiran kelompok tersebut bahwa Israel akan melanjutkan serangan setelah masa jeda berakhir.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan secara terbuka bahwa pemerintahannya menyetujui usulan yang disampaikan Amerika Serikat. 

Dalam pernyataannya kepada media, ia menyebut, “Kami menerima roadmap yang diajukan AS, namun kami tidak akan menghentikan perang sampai tujuan kami tercapai: kekalahan total Hamas.”

Sementara itu, dari pihak AS, juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengonfirmasi bahwa Israel telah lebih dulu menyatakan persetujuan sebelum proposal disampaikan ke Hamas.

“Israel telah setuju sebelum proposal kami kirimkan ke pihak Hamas. Diskusi masih berlangsung, dan kami berharap kesepakatan ini bisa menjadi dasar untuk repatriasi sandera secara aman,” ujarnya dalam konferensi pers di Washington.

Kesepakatan ini datang di tengah memuncaknya operasi militer Israel di Gaza, yang mereka namai Operation Gideon’s Chariots

Kampanye militer ini dimulai sebagai balasan atas serangan mendadak Hamas pada Oktober 2023, yang menewaskan lebih dari 1.200 warga Israel dan menyebabkan sekitar 250 orang disandera.

Sejak saat itu, Israel menggempur Gaza dari udara dan darat. Laporan dari otoritas Palestina dan lembaga kemanusiaan menyebutkan lebih dari 50.000 warga Palestina tewas, mayoritas merupakan warga sipil. Infrastrukur sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan fasilitas air bersih juga rusak parah.

Proposal dari AS mencakup beberapa tahap. Tahap pertama adalah penghentian permusuhan selama dua bulan dan pembebasan sandera secara bertahap. 

Tahap berikutnya mengatur pengawasan internasional untuk memastikan akses kemanusiaan tanpa hambatan ke Gaza, serta proses negosiasi lanjutan untuk potensi gencatan permanen.

Namun, proposal ini belum menyertakan jaminan eksplisit tentang perpanjangan gencatan. Inilah yang menjadi salah satu alasan utama keraguan dari Hamas.

Dari Kairo, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi menyampaikan bahwa “gencatan ini adalah langkah awal yang penting. Namun upaya menuju perdamaian sejati harus tetap dilanjutkan.” 

Pernyataan serupa disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, yang menyebut peran negaranya sebagai “jembatan diplomatik yang terus berusaha menjaga peluang dialog tetap terbuka.”

PBB pun menyambut baik kabar ini, meski Sekjen António Guterres mengingatkan, “Gencatan senjata saja tidak cukup jika akar konflik tidak ditangani.”

Meski jeda kekerasan ini membawa harapan, banyak pihak tetap skeptis. Gencatan senjata sebelumnya pada akhir 2023 hanya berlangsung singkat sebelum pertempuran kembali pecah. 

Banyak analis menilai bahwa selama tidak ada komitmen politik yang jelas dari kedua belah pihak—dan tekanan internasional yang konsisten—maka peluang menuju perdamaian jangka panjang masih rapuh.

“Pertukaran sandera bisa menjadi titik balik,” ujar analis Timur Tengah dari ICG, Huda Saleh. “Namun, jika tidak diikuti dengan komitmen politik, maka kita hanya menunda konflik berikutnya.”

Dengan latar belakang penderitaan sipil yang mendalam dan ketegangan militer yang belum sepenuhnya surut, gencatan senjata 60 hari ini memberi ruang bernapas bagi Gaza—dan kesempatan bagi diplomasi. 

Namun, apakah jeda ini akan berkembang menjadi perdamaian, atau sekadar menunda babak kekerasan berikutnya, masih menjadi pertanyaan besar yang hanya waktu bisa menjawab.