CEO Nvidia Jensen Huang memprediksi China akan melampaui AS dalam pengembangan AI, didorong oleh subsidi energi dan regulasi yang lebih lincah. (Wikimedia Commons)

CEO Nvidia Jensen Huang menyampaikan peringatan tajam bahwa China berpotensi melampaui Amerika Serikat dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI), meskipun menghadapi pembatasan ekspor semikonduktor canggih dari Washington. Pernyataan itu disampaikan Huang dalam Future of AI Summit yang digelar Financial Times pada Rabu (5/11).

“China akan memenangkan perlombaan AI,” kata Huang di hadapan peserta forum. 

Ia menilai lingkungan regulasi Beijing yang fleksibel dan subsidi energi yang besar membuat biaya listrik “pada dasarnya dapat diabaikan” bagi perusahaan teknologi lokal.

Komentar itu muncul di tengah kebijakan Presiden Donald Trump yang memperketat kontrol ekspor terhadap chip AI paling mutakhir buatan Nvidia. 

Dalam pernyataan terpisah, Trump menegaskan prosesor seri Blackwell hanya akan tersedia bagi perusahaan di Amerika Serikat, menurut laporan Reuters dan Yahoo Finance (3/11).

Subsidi energi jadi senjata China

Huang menyoroti kebijakan subsidi agresif pemerintah China terhadap pusat data sebagai keunggulan strategis utama. Beberapa provinsi seperti Gansu, Guizhou, dan Mongolia Dalam dilaporkan menawarkan potongan biaya listrik hingga 50 persen untuk perusahaan besar seperti ByteDance, Alibaba, dan Tencent.

Subsidi tersebut juga difokuskan pada fasilitas yang menggunakan chip buatan dalam negeri seperti Huawei dan Cambricon. Beberapa program bantuan bahkan mampu menutup seluruh biaya operasional tahunan, memberikan napas tambahan bagi perusahaan yang kehilangan akses ke chip Nvidia yang lebih hemat energi.

Regulasi Amerika yang rumit

Huang membandingkan efisiensi sistem China dengan kompleksitas regulasi di AS. Ia menilai perusahaan-perusahaan teknologi Amerika menghadapi hambatan administratif karena harus menyesuaikan diri dengan potensi aturan AI yang berbeda di tiap negara bagian.

“Amerika terlalu sinis terhadap AI. Kita membutuhkan lebih banyak optimisme,” ujar Huang seperti dikutip Financial Times.

China, sebaliknya, telah menerapkan pendekatan regulasi yang lebih lincah. Menurut laporan BindingHook (5/11), otoritas Beijing mampu menerbitkan aturan AI dalam waktu kurang dari sembilan bulan setelah kemunculan ChatGPT, dengan sistem dua jalur yang membedakan layanan publik dan aplikasi korporasi.

Peringatan Huang datang di tengah hubungan perdagangan yang masih tegang antara kedua negara. Meski Trump dan Presiden Xi Jinping baru-baru ini mencapai kesepakatan ekonomi sementara, Washington tetap mempertahankan larangan ekspor chip AI canggih ke China.

Sebagai balasan, Beijing dilaporkan melarang penggunaan chip asing di pusat data yang dibiayai negara, langkah yang berpotensi memangkas pangsa pasar Nvidia di negara tersebut.