Sejarah jalur sutera maritim di Aceh: rute rempah Nusantara, catatan pelaut Arab dan Portugis, serta artefak arkeologi di Banda Aceh dan Pulau Weh. (Wikimedia Commons) 


Sejak berabad-abad lalu, Aceh dikenal sebagai salah satu pintu masuk utama ke Nusantara. Letaknya yang strategis di ujung barat Sumatra menjadikannya titik singgah penting bagi kapal-kapal yang melintas dari Samudra Hindia menuju Selat Malaka. Posisi ini membuat Aceh terhubung langsung dengan jalur perdagangan internasional yang menghubungkan Asia Tenggara, Teluk Parsi, hingga Tiongkok.  

Rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh menjadi komoditas utama yang diperdagangkan. Nilai ekonominya tinggi, sehingga menarik minat pedagang dari Arab, India, hingga Eropa. 

Bagi kerajaan-kerajaan di Aceh, perdagangan ini bukan hanya soal keuntungan, tetapi juga sarana memperkuat posisi politik dan diplomasi.  

Rute perdagangan dari Aceh terbagi ke beberapa jalur. Kapal-kapal yang berangkat dari pelabuhan di Aceh bisa menuju Gujarat di India Barat, lalu diteruskan ke Teluk Parsi. Dari sana, rempah Nusantara masuk ke pasar Timur Tengah dan Afrika Utara.  


Jalur lain menghubungkan Aceh dengan pantai timur India, sebelum akhirnya sampai ke Tiongkok. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pedagang Tiongkok sudah lama menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan di Sumatra. 

Barang-barang seperti sutera, keramik, dan logam ditukar dengan rempah-rempah yang hanya tumbuh di kepulauan tropis.  

Selat Malaka menjadi jalur paling ramai. Kapal-kapal dari berbagai bangsa singgah di pelabuhan Aceh untuk mengisi perbekalan, membayar cukai, atau sekadar menunggu angin muson yang tepat. Aktivitas ini menjadikan Aceh sebagai simpul penting dalam jaringan perdagangan global.  


Catatan Pelaut Arab dan Portugis

Banyak catatan pelaut Arab yang menyebutkan nama Lamuri, sebuah kerajaan kuno di Aceh Besar. Mereka menggambarkan wilayah ini sebagai tempat yang makmur dengan hasil bumi melimpah. Lada dari Aceh disebut-sebut memiliki kualitas tinggi dan menjadi komoditas yang sangat dicari di pasar Timur Tengah.  

Ketika Portugis mulai masuk ke Asia Tenggara pada abad ke-16, mereka juga mencatat peran penting Aceh. Para pelaut Portugis menulis tentang pelabuhan yang ramai, kapal-kapal besar yang berlabuh, serta aktivitas perdagangan yang melibatkan pedagang dari berbagai bangsa. 

“Aceh adalah pelabuhan yang ramai, tempat kapal-kapal besar dari berbagai bangsa berlabuh, dan pusat perdagangan lada yang sangat dicari di Eropa.” (Catatan pelaut Portugis abad ke-16)  

Bagi Portugis, menguasai jalur perdagangan di Aceh berarti mengendalikan salah satu sumber rempah paling berharga di dunia.  

Namun, hubungan antara Portugis dan Aceh tidak selalu harmonis. Konflik kerap terjadi karena kepentingan dagang yang saling bertabrakan. 

Aceh, di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, bahkan pernah melancarkan serangan ke Malaka yang dikuasai Portugis. Catatan ini menunjukkan betapa pentingnya posisi Aceh dalam perebutan jalur rempah.  

Artefak Arkeologi di Banda Aceh dan Pulau Weh
Jejak kejayaan perdagangan Aceh masih bisa ditemukan hingga kini. Di Banda Aceh, sejumlah artefak arkeologi menunjukkan adanya interaksi dengan pedagang asing. 

Keramik Tiongkok, koin Arab, dan pecahan tembikar dari Eropa menjadi bukti nyata bahwa Aceh pernah menjadi pusat pertemuan budaya.  

Pulau Weh, yang terletak di ujung barat Aceh, juga menyimpan peninggalan sejarah. Pulau ini dikenal sebagai titik singgah kapal sebelum melanjutkan perjalanan ke Selat Malaka. 

Penemuan jangkar tua, sisa bangunan benteng, dan keramik asing memperkuat dugaan bahwa Pulau Weh berperan penting dalam jalur perdagangan maritim.  

Bagi para arkeolog, temuan ini bukan hanya benda mati. Artefak-artefak tersebut membantu merekonstruksi bagaimana jaringan perdagangan bekerja, siapa saja yang terlibat, dan bagaimana interaksi budaya terjadi. Dengan kata lain, benda-benda itu adalah saksi bisu dari pertemuan peradaban di jalur laut.  


Konteks Sejarah dan Dampaknya

Perdagangan rempah melalui Aceh tidak hanya berdampak pada ekonomi lokal. Ia juga memengaruhi dinamika politik regional. Kerajaan-kerajaan di Aceh memperoleh kekuatan dari pajak perdagangan, yang kemudian digunakan untuk memperkuat militer dan memperluas pengaruh.  

Selain itu, jalur perdagangan ini membawa masuk pengaruh budaya dan agama. Islam, misalnya, menyebar ke Nusantara melalui para pedagang Arab dan Gujarat yang singgah di pelabuhan Aceh. Interaksi ini membentuk identitas Aceh sebagai salah satu pusat Islam di Asia Tenggara.  

Dari sisi global, keterlibatan Aceh dalam jalur rempah menunjukkan betapa pentingnya kawasan ini dalam sejarah perdagangan dunia. Rempah dari Nusantara tidak hanya mengubah selera kuliner di Eropa, tetapi juga memicu ekspedisi besar-besaran bangsa Barat untuk mencari sumbernya langsung.  


Warisan yang Masih Terasa

Hingga kini, warisan jalur perdagangan itu masih terasa di Aceh. Tradisi kuliner, seni, dan bahasa menunjukkan adanya pengaruh dari berbagai bangsa. Kata-kata serapan dari Arab, India, dan Portugis masih bisa ditemukan dalam bahasa sehari-hari.  

Foto: Pelabuhan Malahayati adalah sebuah pelabuhan yang terletak di Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. (dishub.acehprov.go.id)

Pelabuhan-pelabuhan modern di Aceh kini berfungsi untuk perdagangan kontemporer, tetapi jejak sejarahnya tetap menjadi bagian penting dari identitas daerah. 

Upaya pelestarian situs arkeologi dan peninggalan sejarah menjadi cara untuk mengingat kembali peran Aceh dalam jaringan perdagangan global.  

Bagi masyarakat Aceh, mengenang jalur sutera maritim bukan sekadar nostalgia. Ia adalah pengingat bahwa daerah ini pernah menjadi simpul penting dalam pertemuan bangsa-bangsa. Dalam konteks sekarang, warisan itu bisa menjadi modal untuk membangun kembali peran Aceh di jalur perdagangan internasional.