Sejarah kalender masehi dari romawi kuno, reformasi julius caesar hingga paus gregorius, dan bagaimana akhirnya dipakai sebagai standar global sampai sekarang. (Pexels/Olya Kobruseva)

Kalender Masehi adalah sistem penanggalan yang dipakai hampir di seluruh dunia saat ini. Mulai dari sekolah, pemerintahan, hingga pertemuan internasional, semua memakai hitungan tanggal yang sama. Namun, kalender yang tampak biasa ini sebenarnya hasil perjalanan sejarah panjang yang melibatkan Romawi kuno, gereja Katolik, hingga keputusan politik para raja Eropa.

Awalnya, Romawi menggunakan kalender yang berbeda jauh dari yang kita kenal sekarang. Kalender Romawi kuno hanya punya 10 bulan dalam setahun, dimulai dari bulan Maret dan berakhir pada Desember. Januari dan Februari baru ditambahkan belakangan.

Masalahnya, kalender itu tidak sinkron dengan peredaran matahari. Akibatnya, musim sering bergeser dari tanggal yang seharusnya. Hal ini menyulitkan pertanian, upacara keagamaan, dan kegiatan militer.

Pada abad pertama sebelum Masehi, Julius Caesar penguasa Romawi memutuskan melakukan reformasi. Tahun 45 SM, ia memperkenalkan kalender baru yang disebut kalender Julian.

Kalender Julian punya 365 hari dalam setahun dengan tambahan satu hari setiap empat tahun, yang kita kenal sekarang sebagai tahun kabisat. Sistem ini lebih akurat dibanding kalender sebelumnya, meski tetap ada selisih kecil dengan peredaran bumi mengelilingi matahari.

Selisih kecil tadi ternyata menumpuk selama berabad-abad. Pada abad ke-16, tanggal perayaan Paskah dalam tradisi Kristen mulai melenceng jauh dari musim semi, yang menjadi acuan awalnya.

Kondisi ini membuat Gereja Katolik merasa perlu mengubah sistem penanggalan. Pada 1582, Paus Gregorius XIII memperkenalkan kalender baru yang disebut kalender Gregorian, atau dalam bahasa sehari-hari kita kenal sebagai kalender Masehi.

Perubahan utama terletak pada aturan tahun kabisat. Jika dalam kalender Julian setiap empat tahun otomatis ditambah satu hari, kalender Gregorian memberi pengecualian: tahun yang habis dibagi 100 tidak dianggap kabisat, kecuali jika juga habis dibagi 400.

Aturan ini membuat kalender Gregorian lebih akurat. Selisihnya hanya sekitar 26 detik per tahun dari peredaran bumi, jauh lebih kecil dibanding sistem Julian.

Untuk menyesuaikan, Paus Gregorius juga langsung "menghapus" 10 hari dari kalender. Setelah Kamis 4 Oktober 1582, hari berikutnya langsung melompat ke Jumat 15 Oktober.

Tidak semua negara langsung menerima perubahan ini. Negara-negara Katolik seperti Italia, Spanyol, dan Portugal cepat mengadopsinya. Namun negara-negara Protestan dan Ortodoks sempat menolak, karena melihatnya sebagai kebijakan gereja Katolik.

Misalnya, Inggris baru mulai menggunakan kalender Gregorian pada 1752. Saat itu, 11 hari harus "dihilangkan" agar sesuai dengan penanggalan baru. Rusia bahkan baru mengikuti kalender Masehi setelah Revolusi Bolshevik pada 1918.

Di belahan dunia lain, adopsi kalender Gregorian banyak terjadi karena kolonialisme dan globalisasi. Negara-negara Asia, Afrika, hingga Timur Tengah akhirnya ikut menggunakannya untuk urusan resmi, meski di kehidupan sehari-hari sebagian masyarakat tetap mempertahankan kalender tradisional, seperti Hijriah, Jawa, atau Imlek.

Pertanyaan sederhana: kenapa dunia akhirnya sepakat memakai kalender Masehi?Jawabannya bukan hanya soal akurasi, tapi juga kekuatan politik dan ekonomi.

Ketika Eropa mendominasi perdagangan, kolonialisme, dan ilmu pengetahuan sejak abad ke-16, kalender Gregorian otomatis ikut menyebar. Semua urusan diplomasi, kontrak, hingga ilmu astronomi membutuhkan sistem tanggal yang sama agar tidak membingungkan.

Selain itu, PBB dan organisasi internasional lain kemudian menjadikan kalender Masehi sebagai standar resmi. Hal ini membuatnya sulit tergantikan, meski sistem lain tetap hidup berdampingan.


Meski kalender Masehi jadi standar global, banyak masyarakat masih menggunakan kalender tradisional untuk tujuan budaya dan keagamaan.

Kalender Hijriah dipakai umat Islam untuk menentukan Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha.

Kalender Jawa masih digunakan untuk keperluan adat di Jawa, seperti pernikahan atau weton.

Kalender Imlek dipakai komunitas Tionghoa untuk menentukan Tahun Baru dan hari besar lainnya.

Kalender Hindu Bali digunakan dalam upacara keagamaan dan tradisi di Bali.


Dengan kata lain, kalender Masehi tidak menggantikan sepenuhnya, melainkan berjalan berdampingan dengan kalender lain sesuai fungsi masing-masing.

Bagi kebanyakan orang, tanggal di kalender hanyalah alat praktis untuk mengatur aktivitas. Namun di baliknya ada sejarah panjang soal bagaimana manusia menyesuaikan hidup dengan alam, agama, dan kekuasaan politik.

Kalender Masehi yang kita pakai sekarang bukanlah sistem paling sempurna, tapi ia terbukti konsisten dan cukup akurat untuk kebutuhan global.

Fakta bahwa hampir semua negara akhirnya sepakat menggunakannya menunjukkan betapa pentingnya keseragaman dalam dunia yang makin terhubung. Dan mungkin, tanpa kalender Masehi, banyak hal sederhana seperti menentukan tanggal libur internasional atau jadwal penerbangan lintas negara akan jadi jauh lebih rumit.