Anggota DPR dari PAN menolak keras rencana merger Pelita Air dengan Garuda Indonesia. DPR khawatir kinerja positif Pelita Air terganggu jika digabung dengan Garuda yang masih bermasalah secara keuangan. (Istimewa)

Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PAN, Abdul Hakim Bafagih, menolak keras rencana penggabungan Pelita Air dengan Garuda Indonesia yang tengah dijajaki PT Pertamina. Penolakan itu ia sampaikan dalam rapat bersama BUMN di Senayan pada awal September 2025.

“Saya, Abdul Hakim Bafagih, menolak dengan keras upaya penggabungan Pelita Air dengan Garuda Indonesia,” kata Hakim dalam forum resmi. Ia menilai Pelita Air saat ini sedang menunjukkan kinerja positif, sedangkan Garuda Indonesia masih menghadapi persoalan keuangan yang berat.

Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, sebelumnya menyampaikan bahwa perusahaan tengah melakukan penjajakan awal penggabungan Pelita Air dengan Garuda Indonesia. 

Langkah itu menjadi bagian dari strategi Pertamina untuk melepas unit usaha non-inti agar fokus pada bisnis minyak, gas, dan energi terbarukan.

“Sebagai contoh, untuk airline kami, kita sedang penjajakan awal untuk penggabungan dengan Garuda Indonesia. Dan tentunya mungkin akan di bawah koordinasi dari Danantara akan kita gabungkan clustering dengan perusahaan-perusahaan sejenis,” ujar Simon.

Selain sektor penerbangan, Pertamina juga menyiapkan roadmap pemisahan usaha non-core di bidang asuransi, layanan kesehatan, hospitality, hingga Patra Jasa. Semua unit tersebut akan dialihkan ke Danantara Asset Management (DAM) untuk dikelompokkan sesuai sektor masing-masing.

Data keuangan menunjukkan kontras antara Pelita Air dan Garuda Indonesia. Pada 2024, Pelita Air mencatat laba sebesar US$5,9 juta, dengan kenaikan pendapatan 81% year-on-year (YoY) dan lonjakan EBITDA hingga 580%. Tingkat ketepatan waktu (on-time performance) maskapai ini mencapai 94,3% dengan seat load factor 80,7%.

Sebaliknya, Garuda Indonesia masih mencatat rugi bersih US$76,48 juta pada kuartal I 2025. Pendapatannya hanya naik 1,62% YoY menjadi US$723,56 juta dengan EBITDA US$197 juta. Ekuitas perseroan bahkan masih negatif US$1,43 miliar per Maret 2025.

Hakim menegaskan, penggabungan dua maskapai dengan kondisi keuangan berbeda justru akan merugikan Pelita Air. Ia mengaku pernah menjajal layanan Pelita Air secara langsung dan mendapat respons publik yang sangat positif.

“Beberapa minggu lalu, saya naik Pelita, saya coba posting di media sosial. Tanggapannya apik kabeh, salut saya. Bagus semuanya. Ini perusahaan lagi bagus-bagusnya. Kalau kemudian digabung dengan perusahaan yang lagi terseok-seok… kasihan Pelita-nya saya,” ujar Hakim.

Ia bahkan mengusulkan agar Pelita Air langsung dijadikan anak usaha Danantara, bukan dilebur dengan Garuda. 

“Kalau memang mau di-spin off, dijadikan langsung anak usahanya Danantara. Jangan kemudian jadi entitas di bawahnya Garuda. Ampun, Pak, ketularan remek, Pak,” tambahnya.

Di sisi lain, Danantara telah memberikan pinjaman sebesar US$1 miliar atau sekitar Rp16 triliun kepada Garuda Indonesia sebagai bagian dari restrukturisasi. Dana ini juga disebut untuk mempersiapkan integrasi dengan Pelita Air.

Namun, penolakan dari DPR serta respons publik yang positif terhadap Pelita Air membuat rencana penggabungan ini menuai pro-kontra. 

Pemerintah melalui Kementerian BUMN dan Danantara masih akan melakukan evaluasi lebih lanjut sebelum mengambil keputusan final terkait nasib dua maskapai pelat merah tersebut.