Zaman Muromachi merupakan periode penting di Jepang yang ditandai pemerintahan Shogun Ashikaga dan berkembangnya budaya Zen serta seni Noh. Konflik politik seperti Perang Ōnin juga mewarnai era ini. (Ilustrasi/Apluswire)

Jepang memasuki periode penting dalam sejarahnya antara abad ke-14 hingga ke-16 yang dikenal sebagai Zaman Muromachi (1336–1573). Era ini berpusat di Kyoto di bawah pemerintahan militer Ashikaga.

Meski menjadi masa berkembangnya budaya dan seni, periode ini juga diwarnai oleh konflik politik yang berujung pada melemahnya pemerintahan pusat.

Sejarawan Jepang menyebut Zaman Muromachi sebagai fase transisi yang membentuk identitas politik dan budaya negeri tersebut sebelum memasuki era peperangan besar di abad berikutnya.


Pemerintahan Shogun Ashikaga

Zaman Muromachi dimulai pada 1336 setelah Ashikaga Takauji mendirikan bakufu (pemerintahan militer) yang berbasis di distrik Muromachi, Kyoto. Ia mengambil alih kekuasaan dari Kaisar Go-Daigo yang sebelumnya menjalankan Restorasi Kenmu.

Pemerintahan Ashikaga mengandalkan sistem feodal, dengan shogun sebagai panglima tertinggi dan daimyo sebagai penguasa daerah. 

Namun, kekuasaan shogun relatif lebih lemah dibandingkan pendahulunya dari klan Minamoto di Kamakura. Ashikaga sering kali harus berkompromi dengan daimyo yang semakin kuat.

Prof. Haruko Wakita, sejarawan dari Universitas Kyoto, dalam kajiannya menyebut, “Kekuatan shogun Ashikaga sangat bergantung pada kesetiaan daimyo. Situasi ini membuat stabilitas politik sulit dipertahankan.”

Pada abad ke-15, pemerintahan Ashikaga mencapai puncak pengaruhnya di bawah Shogun Ashikaga Yoshimitsu. Yoshimitsu berperan dalam memperluas hubungan diplomatik dengan Tiongkok dan mendorong pertumbuhan budaya. Namun, setelah era kepemimpinannya berakhir, kekuatan klan Ashikaga terus melemah.


Budaya Zen dan Kelahiran Seni Noh

Selain gejolak politik, Zaman Muromachi dikenal sebagai masa berkembangnya budaya. Buddhisme Zen menyebar luas di kalangan samurai dan bangsawan. 

Ajaran ini menekankan meditasi, kesederhanaan, dan disiplin, yang kemudian memengaruhi berbagai aspek seni dan kehidupan sosial.

Prinsip Zen tercermin dalam arsitektur, desain taman batu, upacara minum teh, hingga lukisan tinta (sumi-e). Taman Zen seperti Ryoan-ji di Kyoto menjadi simbol estetika sederhana yang penuh makna filosofis.

Konsep wabi-sabi, yang menekankan keindahan dalam kesederhanaan dan ketidaksempurnaan, muncul pada masa ini. Konsep tersebut tidak hanya menjadi gaya seni, tetapi juga filosofi hidup yang memengaruhi budaya Jepang hingga era modern.

Di bidang seni pertunjukan, teater Noh berkembang melalui tokoh Kan’ami dan putranya, Zeami. Pertunjukan Noh memadukan musik, tarian, dan drama dengan penggunaan topeng serta simbolisme mendalam. Ceritanya banyak terinspirasi dari legenda, kisah sejarah, maupun nilai spiritual Buddhisme.

Zeami menulis sejumlah risalah tentang teori pertunjukan Noh, termasuk prinsip yūgen (keindahan yang halus dan misterius). 

Seni ini kemudian mendapat dukungan penuh dari shogun dan menjadi bentuk hiburan sekaligus sarana spiritual bagi bangsawan.


Konflik Ōnin dan Dampak Politik

Meski budaya berkembang, Muromachi juga menjadi saksi perang besar. Perang Ōnin pecah pada 1467 akibat perebutan kekuasaan dalam suksesi shogun kedelapan.

Ashikaga Yoshimasa, shogun saat itu, tidak memiliki keturunan laki-laki. Ia menunjuk keponakannya, Ashikaga Yoshimi, sebagai penerus. 

Namun, setelah Yoshimasa memiliki seorang putra, Ashikaga Yoshihisa, muncul perpecahan mengenai siapa yang berhak mewarisi jabatan.

Perselisihan ini memecah kubu daimyo besar. Hosokawa Katsumoto mendukung Yoshimi, sementara Yamana Sōzen mendukung Yoshihisa. Pertikaian politik itu segera berubah menjadi konflik bersenjata.

Pertempuran pecah di Kyoto dan berlangsung selama satu dekade, dari 1467 hingga 1477. Kota Kyoto hancur besar-besaran, banyak kuil, istana, dan rumah rakyat terbakar. Warga sipil menderita akibat kelaparan dan pengungsian.

Sejarawan Jepang, Prof. Mary Elizabeth Berry dari Universitas California, menulis, “Perang Ōnin bukan sekadar konflik suksesi, melainkan awal dari fragmentasi politik Jepang yang berlangsung selama lebih dari satu abad.”

Hasil perang tidak melahirkan pemenang yang jelas. Shogun kehilangan wibawa, sementara daimyo semakin independen dan membangun kekuatan militer sendiri. 

Kondisi ini membuka jalan bagi era Sengoku, periode panjang peperangan antar-kubu yang berlangsung hingga akhir abad ke-16.


Warisan Muromachi

Meskipun ditandai instabilitas politik, Zaman Muromachi meninggalkan warisan budaya yang berpengaruh hingga kini. Tradisi Zen, estetika wabi-sabi, seni Noh, hingga perkembangan seni rupa Jepang modern berakar pada periode ini.

Selain itu, konflik internal yang terjadi justru menjadi pijakan bagi lahirnya pemimpin militer kuat seperti Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieyasu. Mereka kemudian menyatukan Jepang di bawah pemerintahan pusat pada abad ke-17.

Zaman Muromachi dipandang sebagai periode penuh kontras yakni kehancuran politik di satu sisi, dan kemunculan warisan budaya yang abadi di sisi lain.


Sejarah panjang zaman Jepang
1 dari 8