Taiwan tak lagi hanya bersiap menghadapi serangan militer terbuka dari Tiongkok. Dalam latihan Han Kuang 2025 yang digelar selama 10 hari nonstop, militer Taipei secara sistematis menyimulasikan bentuk konflik paling rumit dan ambigu: taktik gray zone.
Ini bukan perang konvensional, melainkan skema tekanan bertahap, tanpa deklarasi perang, yang belakangan jadi ciri khas agresi Beijing di kawasan Indo-Pasifik.
Selama tiga hari pertama latihan, militer Taiwan dihadapkan pada skenario eskalasi non-militer yang kian intens.
Dimulai dari patroli agresif kapal milisi dan penjaga pantai Tiongkok di perairan Taiwan, serangan siber terhadap jaringan komando, hingga penyebaran masif disinformasi yang menyerang moral publik dan kredibilitas pemerintah.
Semua skenario itu disimulasikan dalam waktu nyata, tanpa skenario tetap, untuk memaksa unit lapangan mengambil keputusan cepat dalam suasana ketidakpastian.
“Ancaman sebenarnya bukan hanya rudal dan tank, tapi manipulasi narasi, pemutusan informasi, dan tekanan berlapis yang tidak memicu perang, tapi tetap melemahkan,” ujar Menteri Pertahanan Taiwan, Chiu Kuo-cheng, dalam pernyataannya yang dikutip Focus Taiwan.
Enam bentuk utama taktik gray zone yang biasa digunakan Tiongkok mulai dari legal warfare, cognitive warfare, sampai provocation disimulasikan secara paralel.
Misalnya, dalam satu momen latihan, militer Taiwan diminta menanggapi simulasi pelanggaran wilayah udara oleh drone, disertai dengan simulasi penyebaran narasi palsu di media sosial yang menyatakan pemerintah kehilangan kendali atas situasi.
Unit siber dan operasi psikologis Taiwan juga dilibatkan penuh. Mereka menghadapi simulasi serangan ransomware terhadap jaringan listrik serta gangguan terhadap sistem komunikasi berbasis satelit.
Latihan tidak hanya menitikberatkan pada respons teknis, tapi juga kemampuan mengontrol narasi publik dan mencegah kepanikan massal.
Selain itu, militer Taiwan mempraktikkan protokol aktifasi pusat komando alternatif saat sistem utama lumpuh.
Ini mencerminkan skenario nyata, di mana serangan awal Tiongkok diperkirakan akan langsung menyasar titik-titik komando dan pengambil keputusan.
Desentralisasi komando dan koordinasi antara militer dan sipil diperkuat—termasuk evakuasi warga dari area sensitif serta penggunaan MRT sebagai jalur logistik darurat.
Han Kuang 2025 juga menekankan pada pergeseran dari status damai menuju potensi konflik terbuka. Dalam alur eskalasi yang disimulasikan, serangan non-militer meningkat menjadi insiden insiden militer terbatas, hingga akhirnya berkembang ke skenario invasi penuh.
Di titik ini, seluruh pasukan cadangan dan komponen sipil dilibatkan, menandakan aktivasi respons nasional total.
“Ini bukan sekadar latihan fisik, tapi simulasi spektrum ancaman modern dari yang tidak terlihat hingga yang paling brutal,” tulis Taipei Times dalam laporan lapangannya.
Dengan lebih dari 22.000 personel cadangan, ribuan tentara aktif, dan keterlibatan unit siber, informasi, logistik, serta sipil, Han Kuang 2025 membentuk pola latihan perang hybrid yang belum pernah dilakukan Taiwan sebelumnya.
Ini memperlihatkan kesadaran strategis bahwa peperangan hari ini tidak selalu dimulai dengan ledakan, tapi bisa dengan hoaks, intimidasi maritim, atau padamnya sistem komunikasi nasional.
Integrasi taktik gray zone ke dalam skema latihan bukan hanya langkah realistis, tapi juga penegasan bahwa Taiwan mulai beradaptasi dengan bentuk ancaman modern yang dijalankan secara sistematis oleh Beijing.
Selat Taiwan kini bukan lagi hanya wilayah geografis yang sensitif, tapi juga medan pertempuran naratif, hukum, dan psikologis yang terus bergeser ke arah ketegangan tanpa peluru—setidaknya untuk saat ini.
0Komentar