![]() |
KCIC mengaku tak sanggup membiayai proyek Kereta Cepat Jakarta–Surabaya sendirian. Biaya tinggi dan kompleksitas trase membuat dukungan pemerintah jadi kunci. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/rwa) |
Proyek ambisius kereta cepat Jakarta–Surabaya terancam mandek sebelum dimulai. PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) secara terbuka mengakui tak mampu menggarap megaproyek ini sendirian. Alasannya sederhana tapi krusial: biayanya sangat besar, dan tanpa keterlibatan aktif pemerintah, proyek ini dinilai mustahil jalan.
Pernyataan ini datang langsung dari Direktur Utama KCIC, Dwiyana Slamet Riyadi. Ia menyebut, proyek kereta cepat bukanlah proyek biasa.
Di banyak negara, skema pendanaannya selalu melibatkan pemerintah, entah lewat penyediaan lahan, subsidi infrastruktur, atau bahkan suntikan langsung dari APBN. Tanpa itu semua, menurutnya, investasi akan terlalu berat dan masa pengembalian terlalu panjang.
“Kalau semuanya dibebankan ke KCIC, kita nggak akan sanggup. Perlu ada campur tangan pemerintah, minimal untuk lahan dan sebagian infrastruktur,” kata Dwiyana, dikutip dari Antara dan diperkuat laporan CNN Indonesia yang tayang Selasa (9/7/2025).
Saat ini, proyek kereta cepat Jakarta–Surabaya masih dalam tahap studi awal. Rencana tersebut sedang direview oleh Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), untuk menyesuaikan dengan kondisi terkini.
Kajian teknis dan finansial masih berjalan, termasuk penentuan trase, sumber pembiayaan, dan potensi keekonomian rute.
Studi awal proyek ini digarap oleh China Railway Design Corporation (CRDC) bersama sejumlah konsultan dalam negeri.
Namun hingga kini belum ada kepastian apakah trase akan mengikuti jalur eksisting, atau membuka jalur baru yang lebih mahal.
Belum ada pula rincian pasti mengenai skema investasi dan pembagian beban antara Indonesia dan Tiongkok, seperti proyek sebelumnya.
Sebagai perbandingan, proyek kereta cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) bisa jadi cermin. Proyek ini semula dirancang senilai US$6 miliar, namun dalam perjalanannya mengalami pembengkakan menjadi US$7,2 miliar—naik 20% atau sekitar Rp18,3 triliun.
Skema pembiayaannya pun tak ringan: 60% ditanggung konsorsium Indonesia dan 40% sisanya oleh China.
Beban finansial besar ini jadi pelajaran mahal. KCIC kini menilai, jika skema pembiayaan yang sama diterapkan ke proyek Jakarta–Surabaya yang jauh lebih panjang, maka potensi risiko dan ketergantungan terhadap utang akan meningkat signifikan.
Apalagi, belum ada jaminan bahwa okupansi dan pendapatan dari rute ini akan mencukupi untuk menutupi investasi dalam jangka menengah.
Pemerintah sebenarnya sudah menunjukkan sinyal dukungan, meski masih terbatas di tataran wacana. Menurut sumber CNN Indonesia, keinginan untuk melanjutkan proyek ini tetap ada, tetapi pemerintah belum masuk pada tahap konkret terkait alokasi anggaran atau skema kerja sama baru.
Dwiyana menyebut, memperluas rute ke arah timur seperti Yogyakarta hingga Surabaya adalah keharusan secara skala ekonomi.
Pasalnya, Whoosh hanya menghubungkan dua titik dalam radius 142 km, yang secara finansial belum optimal. Tapi untuk mewujudkan ekspansi ini, dukungan penuh dari negara adalah harga mati.
Jika proyek ini gagal disokong sejak awal, Indonesia bisa kehilangan momentum dalam pembangunan jaringan transportasi cepat antarkota.
Selain itu, ada potensi kerugian dari sisi konektivitas dan integrasi wilayah yang tengah dikejar dalam agenda besar pembangunan infrastruktur nasional.
Hingga kini, publik masih menanti langkah konkret dari pemerintah. Apakah proyek ini akan menjadi sejarah baru transportasi Indonesia, atau justru masuk kotak karena beban finansial yang terlalu besar. Yang jelas, KCIC sudah angkat tangan jika harus berdiri sendiri.
0Komentar