Taufik Hidayat diangkat sebagai komisaris PLN EPI sejak akhir Juni 2025. Rangkap jabatannya sebagai Wamenpora menuai kritik publik soal etika dan konflik kepentingan. (Okezone)

Mantan atlet bulu tangkis legendaris Indonesia, Taufik Hidayat, resmi menjabat sebagai Komisaris PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) sejak akhir Juni 2025. Penunjukan ini dikonfirmasi oleh Sekjen Hipmi, Anggawira, yang juga turut diangkat sebagai komisaris dalam periode yang sama. 

Meski baru diumumkan ke publik pada 9 Juli 2025, informasi ini telah ramai diperbincangkan di berbagai media nasional dan memicu kontroversi soal rangkap jabatan di kalangan pejabat negara.

Taufik, yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga (Wamenpora) sejak November 2024, menambah daftar panjang pejabat yang merangkap posisi di BUMN. 

PLN EPI merupakan subholding dari PT PLN (Persero) yang berfokus pada penyediaan energi primer mulai dari batu bara, gas, bahan bakar minyak (BBM), hingga biomassa untuk mendukung kebutuhan pembangkit listrik di seluruh Indonesia. 

Artinya, posisi komisaris di perusahaan ini bukan sekadar simbolis, tapi menyangkut hajat hidup orang banyak dan strategi energi nasional ke depan.

Publik langsung menyorot pengangkatan ini sebagai bentuk konflik kepentingan yang berpotensi melanggar prinsip pemisahan kekuasaan dan akuntabilitas pejabat publik. 

Menurut pengamat tata negara dan peneliti CELIOS, Muhamad Saleh, praktik rangkap jabatan semacam ini sudah lama menjadi sorotan namun terus berulang. 

Ia menyebutnya sebagai “normalisasi” pelanggaran etika tata kelola pemerintahan yang seharusnya tak boleh terjadi. “Kalau pejabat aktif rangkap jabatan di BUMN, siapa yang akan mengawasi siapa?” ujarnya kepada media, Rabu (9/7).

PLN EPI sendiri bukan pemain kecil. Perusahaan ini memegang peran strategis dalam rantai pasok energi nasional. 

Penunjukan komisaris baru disebut-sebut membawa tujuh mandat khusus dari pemegang saham. Beberapa di antaranya adalah memperkuat ketahanan pasokan energi primer, mengoptimalkan portofolio bisnis, mempercepat pengembangan infrastruktur gas dan LNG, hingga mendukung transisi energi nasional secara bertahap. 

Komisaris juga diminta mendorong transformasi digital dan membangun sinergi strategis demi mendukung kemandirian energi dalam negeri.

Namun di balik ekspektasi besar itu, sorotan terhadap Taufik Hidayat justru lebih mengarah pada aspek etis dan politik. 

Sebagai pejabat publik aktif, langkahnya menduduki kursi komisaris BUMN dianggap menciderai semangat reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang bersih. 

Terlebih, ini bukan kali pertama Taufik terlibat dalam jabatan publik. Sebelumnya, ia sempat menjabat sebagai staf khusus Kemenpora, Wakil Ketua Satlak Prima, bahkan mencalonkan diri sebagai anggota DPR lewat Partai Gerindra dalam Pemilu 2024, meski gagal lolos ke Senayan.

Nama besar Taufik sebagai peraih emas Olimpiade Athena 2004 dan juara dunia 2005 memang tak terbantahkan. Namun rekam jejaknya di dunia birokrasi dan politik masih jadi tanda tanya di kalangan publik, terutama soal kontribusi nyata dan kapasitas teknokratis di sektor energi. Banyak yang menilai penunjukan ini lebih politis ketimbang profesional.

Fenomena rangkap jabatan bukanlah hal baru di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, lebih dari 15% pejabat eselon I dan II di kementerian tercatat menjabat rangkap di dewan komisaris BUMN. 

Persoalannya bukan hanya soal etika, tapi juga efektivitas kerja dan potensi benturan kepentingan yang sulit diawasi secara objektif.

Kasus Taufik hanyalah puncak gunung es dari praktik yang telah berlangsung lama dan berulang. Di tengah tantangan transisi energi, pengembangan gas, serta ancaman defisit pasokan listrik di beberapa wilayah, publik berharap komisaris PLN EPI benar-benar bekerja, bukan sekadar mengisi daftar hadir rapat bulanan.