Laut China Selatan kembali memanas. Vietnam, salah satu negara yang berbatasan langsung dengan wilayah ini, mengambil langkah tegas menghadapi manuver China yang dianggap mengganggu kedaulatan mereka.
Kapal riset China bernama Bei Diao 996 diketahui beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Vietnam sejak pertengahan Juni hingga awal Juli 2025, memicu ketegangan baru di kawasan yang selama ini dikenal sebagai titik panas geopolitik Asia.
Kapal sepanjang 100 meter dan berbobot 7.400 ton itu tercatat melakukan manuver berulang di perairan Vietnam yang menyerupai pola pemetaan dasar laut.
Aktivitas ini tidak dianggap sebagai survei biasa. Ray Powell, analis dari SeaLight – lembaga riset maritim Universitas Stanford – menyebut operasi Bei Diao 996 menunjukkan pola survei hidrografi yang lazim digunakan untuk kepentingan militer dan intelijen.
“Kehadirannya yang berkepanjangan di ZEE Vietnam menandakan potensi pelanggaran yurisdiksi,” ujar Powell.
Pemerintah Vietnam tak tinggal diam. Pada 19 Juni, kapal penjaga perikanan Vietnam, Kiem Ngu 471, dikerahkan untuk membayangi Bei Diao 996. Hingga kapal riset itu meninggalkan lokasi menuju Pulau Hainan, kapal Vietnam terus melakukan pemantauan ketat.
Kementerian Luar Negeri Vietnam secara resmi mengecam aktivitas tersebut dan menegaskan bahwa kegiatan riset asing tanpa izin di ZEE mereka merupakan pelanggaran hukum internasional berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Situasi ini bukan insiden tunggal. Dalam beberapa tahun terakhir, Vietnam dan negara-negara lain seperti Filipina dan Malaysia juga kerap bersitegang dengan China yang mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan.
Aktivitas kapal riset China, menurut Jun Kajee dari Korea Institute for Maritime Strategy, telah menjadi pemandangan rutin di kawasan.
“Mereka mengumpulkan data, termasuk posisi kabel bawah laut dan potensi lokasi pangkalan militer,” ujarnya.
Eskalasi terbaru ini terjadi tak lama setelah China menetapkan larangan penangkapan ikan tahunan yang secara sepihak mencakup wilayah ZEE Vietnam dan Filipina.
Langkah itu memicu kecaman luas karena dianggap sebagai bentuk agresi yurisdiksi yang melanggar kedaulatan negara tetangga. Bahkan pada 2024, Beijing secara sepihak menetapkan garis dasar baru di Teluk Tonkin, upaya lain untuk memperluas kontrol wilayah laut yang selama ini disengketakan.
Selain insiden Bei Diao 996, ketegangan juga terlihat di titik-titik lain. Di Sandy Cay—gosong pasir kecil di Kepulauan Spratly—Vietnam, Filipina, dan China saling mengklaim wilayah.
Bahkan, sempat terjadi aksi saling bentang bendera antara militer China dan Filipina. Vietnam pun langsung melayangkan nota protes diplomatik atas pelanggaran kedaulatan itu. Tak hanya itu, kapal rumah sakit milik Angkatan Laut China bernama Youai juga memicu protes keras dari Hanoi.
Kapal tersebut memberikan layanan kesehatan kepada personel militer China di Kepulauan Paracel, wilayah yang juga diklaim Vietnam sebagai milik mereka sejak lama.
Pada Mei 2025, satu lagi kapal riset China, Xiang Yang Hong 10, bahkan dikawal lima kapal pengawal saat beroperasi di dekat ladang gas yang dikelola perusahaan Rusia di ZEE Vietnam. Kendati diminta angkat kaki, kapal-kapal China tetap bertahan.
Situasi ini menunjukkan pola yang konsisten: China memperkuat klaimnya dengan aksi nyata di lapangan, sementara negara-negara ASEAN, termasuk Vietnam, terus merespons dengan cara diplomatik dan pengerahan kapal penjaga. Meski belum berujung pada konflik terbuka, ketegangan ini menjadi alarm serius bagi stabilitas kawasan.
Vietnam menegaskan, pihaknya akan tetap mengedepankan hukum internasional sebagai basis klaim dan tindakannya. “Semua aktivitas di ZEE Vietnam harus sesuai UNCLOS 1982,” tegas pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Vietnam.
China sendiri hingga kini belum memberikan respons terbuka atas serangkaian protes dari Hanoi. Namun yang jelas, Laut China Selatan tampaknya akan terus menjadi arena tarik-menarik kekuatan, bukan hanya soal batas wilayah, tapi juga akses sumber daya dan kepentingan strategis di jantung Asia Tenggara.
Dengan target finalisasi Kode Etik (CoC) Laut China Selatan pada 2026, harapan akan redanya ketegangan masih jauh dari pasti. Selama belum ada kesepakatan yang mengikat, setiap kapal yang masuk—baik berbendera riset, perang, atau bahkan rumah sakit—bisa saja menyulut bara baru di perairan yang semakin panas ini.
0Komentar