Indonesia mengincar pendanaan hingga Rp633,75 triliun dari Bank BRICS (NDB) untuk mendanai 120 proyek strategis, termasuk infrastruktur hijau dan energi bersih, usai KTT BRICS 2025 di Brasil. (Dok. Sekretariat Presiden)

Presiden Prabowo Subianto bergerak cepat mengamankan pembiayaan untuk proyek-proyek strategis nasional lewat New Development Bank (NDB), bank pembangunan multilateral yang dibentuk oleh negara-negara BRICS. 

Komitmen ini disampaikan usai menghadiri KTT BRICS di Brasil pada 6-7 Juli 2025, dengan potensi pembiayaan mencapai US$39 miliar atau sekitar Rp633,75 triliun (kurs Rp16.250/US$).

Dana jumbo ini direncanakan untuk mendukung 120 proyek prioritas, dengan fokus pada transformasi hijau dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. 

Sejumlah sektor yang menjadi target antara lain infrastruktur, energi bersih, dan proyek-proyek berbasis keberlanjutan lingkungan.

Langkah ini mencerminkan upaya pemerintah untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah ekonomi global, sekaligus mendiversifikasi sumber pembiayaan di luar institusi konvensional seperti IMF dan Bank Dunia.

Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir yang turut mendampingi Presiden Prabowo di Brasil menilai kehadiran NDB sebagai respons atas lambatnya reformasi di lembaga-lembaga keuangan global.

"Karena reformasi di Bretton Woods institution sangat lambat, BRICS mengambil inisiatif membentuk NDB agar negara berkembang bisa mengelola pembiayaan pembangunan secara mandiri," ujarnya dalam kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dana dari NDB akan difokuskan untuk proyek-proyek yang sejalan dengan agenda transformasi hijau.

"Indonesia siap aktif berpartisipasi dalam NDB guna mengakses pembiayaan strategis, terutama di sektor-sektor yang mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan," kata Airlangga, 2 Juli lalu.

Dari 120 proyek yang diajukan, mayoritas diarahkan pada penguatan infrastruktur dan pengembangan energi terbarukan. 

Proyek-proyek ini dinilai dapat meningkatkan daya saing Indonesia di tengah pergeseran global menuju ekonomi rendah karbon.

Indonesia resmi menjadi anggota NDB pada 25 Maret 2025. Presiden NDB Dilma Rousseff menyambut baik langkah tersebut dan mengungkapkan bahwa Indonesia telah mengajukan 77 proyek prioritas.

"Indonesia punya posisi strategis di kawasan. NDB siap mendukung proyek-proyek sesuai kebutuhan nasional, tanpa campur tangan terhadap kebijakan domestik," tegas Rousseff usai bertemu dengan Prabowo.

Sejak berdiri pada 2015, NDB telah menghimpun modal awal senilai US$100 miliar, dengan setengahnya telah disetor oleh para anggotanya. Namun, tantangan tetap ada. 

Laporan CSIS yang dikutip Jakarta Globe pada Januari 2025 menunjukkan bahwa sejauh ini mayoritas pembiayaan NDB masih terserap oleh anggota pendiri seperti Tiongkok dan India.

"Indonesia perlu mendorong pembaruan regulasi di internal NDB agar skema pembiayaan bisa lebih inklusif, terutama untuk anggota baru," kata peneliti CSIS.

Meski begitu, potensi dana jumbo Rp633,75 triliun tetap menjadi peluang besar untuk mempercepat pembangunan nasional di tengah tekanan fiskal dan gejolak global.

Presiden Prabowo menekankan pentingnya memperkuat kerja sama ekonomi antarnegara berkembang di era multipolar.

"Kemitraan ekonomi negara-negara Global South sangat krusial, dan kami berharap manfaat dari NDB bisa terus ditingkatkan," ujarnya di sela KTT BRICS.

Keanggotaan Indonesia di NDB juga memperluas akses pembiayaan dan membuka peluang kolaborasi dengan negara-negara BRICS baru, seperti Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab.

Analisis dari The China-Global South Project menyebutkan bahwa NDB berpotensi menjadi mitra strategis dalam mendorong agenda industri hijau Indonesia, termasuk pembangunan transportasi ramah lingkungan dan pembangkit listrik tenaga surya.

Jika terealisasi, pendanaan ini bisa membawa perubahan besar dalam lanskap pembangunan nasional dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain kunci dalam ekonomi hijau di kawasan.