Netanyahu usulkan Trump untuk Nobel Perdamaian di tengah agresi Gaza yang tewaskan 57.000 warga sipil. Langkah ini menuai kecaman sebagai pencitraan politik. (Reuters)

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyerahkan surat nominasi Penghargaan Nobel Perdamaian untuk Presiden Amerika Serikat Donald Trump. 

Momen ini terjadi dalam makan malam di Gedung Putih pada Senin (7/7) malam waktu setempat, memicu gelombang kritik keras dari aktivis hingga pengamat internasional. 

Langkah Netanyahu dinilai sebagai pencitraan politik yang tidak hanya kontroversial, tetapi juga menghina nilai perdamaian itu sendiri, terutama saat agresi Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 57.000 warga sipil.

Netanyahu tiba di Gedung Putih dengan membawa apa yang ia sebut sebagai "hadiah spesial" untuk Trump: surat nominasi Nobel Perdamaian yang ditulisnya sendiri. 

Dalam pidatonya, ia memuji Trump sebagai sosok yang "menciptakan perdamaian dari satu negara ke negara lain, dari satu kawasan ke kawasan lain." "Saya ingin memberikan kepada Anda, Tuan Presiden, surat yang saya kirim ke Komite Nobel. 

Saya mencalonkan Anda untuk Hadiah Nobel Perdamaian, dan itu memang pantas Anda dapatkan," ujar Netanyahu, seperti dikutip Reuters.

Trump, yang tampak terkejut sekaligus tersanjung, merespons dengan nada emosional. "Saya tidak tahu tentang ini. Wow. Terutama dari Anda, ini sangat berarti. 

Terima kasih banyak, Bibi," katanya, menggunakan panggilan akrab untuk Netanyahu. Momen ini terjadi di sela pembahasan negosiasi gencatan senjata 60 hari antara Israel dan Hamas yang tengah berlangsung di Doha, Qatar, serta proposal kontroversial untuk merelokasi warga Palestina dari Gaza.

Namun, di balik kemegahan acara tersebut, dunia menyaksikan kontradiksi mencolok. Kementerian Kesehatan Gaza, yang datanya dikutip PBB, melaporkan sedikitnya 57.012 warga sipil tewas akibat serangan Israel sejak Oktober 2023. 

Rumah sakit, sekolah, dan kamp pengungsi menjadi sasaran, memicu tuduhan genosida dari berbagai organisasi internasional. Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang memimpin operasi militer berdarah ini mengusulkan penghargaan perdamaian?

Gaza Berdarah, Panggung Politik Berlanjut

Konteks nominasi ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik domestik dan internasional kedua tokoh. Netanyahu, yang tengah menghadapi tekanan hukum domestik dan tuduhan kejahatan perang dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC), tampaknya memanfaatkan hubungan eratnya dengan Trump untuk memperkuat posisinya. 

Sementara itu, Trump, yang dikenal terobsesi dengan Nobel Perdamaian, melihat peluang untuk memperkuat citra diplomatiknya menjelang agenda politik masa depan.

Menurut Dr. Alon Pinkas, mantan diplomat Israel dan pengamat politik, langkah Netanyahu adalah "manuver sinis yang tidak memiliki bobot diplomatik." 

Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Pinkas menyebut nominasi ini sebagai "upaya putus asa untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan Netanyahu di Gaza dan skandal hukumnya." Ia menambahkan, "Ini bukan soal perdamaian, tetapi soal bertahan hidup politik."

Di sisi lain, Ruth Ben-Ghiat, sejarawan dan pakar politik otoritarian dari Universitas New York, menyebut nominasi ini "patetik." 

"Netanyahu, yang dihantui tuduhan korupsi dan kejahatan perang, mencoba memoles citra Trump, yang haus pengakuan global. Ini seperti dua orang yang tenggelam saling menawarkan pelampung bocor," katanya kepada The Independent.

Ekonomi Gaza Hancur, Diplomasi Terhenti

Dampak ekonomi dari konflik Gaza memperparah krisis kemanusiaan. Menurut laporan Bank Dunia (Juli 2025), ekonomi Gaza telah runtuh hingga 90% sejak Oktober 2023, dengan infrastruktur senilai $18 miliar hancur. 

Pengangguran mencapai 80%, dan lebih dari 1,9 juta warga mengungsi tanpa akses memadai ke pangan dan air bersih. 

Proposal Trump untuk menjadikan Gaza sebagai "Riviera Timur Tengah"—sebuah ide yang mencakup pengusiran warga Palestina dan pembangunan kawasan turis elite—menuai protes global karena dianggap mengabaikan realitas kemanusiaan.

"Visi Trump soal Gaza sebagai destinasi wisata adalah fantasi kolonial yang tidak realistis," kata Dr. Tareq Baconi, ekonom dan analis kebijakan Timur Tengah dari International Crisis Group. "Membangun resor di atas puing-puing rumah warga yang dibom adalah mimpi buruk, bukan solusi ekonomi. Yang dibutuhkan Gaza adalah rekonstruksi inklusif, bukan eksploitasi."

Secara geopolitik, nominasi ini memperumit dinamika Timur Tengah. Negosiasi gencatan senjata di Doha, yang melibatkan mediator Qatar dan Mesir, terhambat oleh ketidaksepakatan mendasar. 

Hamas menuntut penarikan penuh pasukan Israel dan jaminan akhir perang, sementara Netanyahu bersikeras agar Hamas menyerah total. 

Menurut sumber diplomatik yang dikutip The New York Times, peluang kesepakatan sebelum akhir Juli 2025 semakin tipis, memperpanjang penderitaan warga Gaza.

Langkah Netanyahu juga berisiko mengasingkan sekutu Barat Israel, terutama negara-negara Eropa yang semakin kritis terhadap operasi militer di Gaza. 

"Nominasi ini bisa dilihat sebagai provokasi oleh komunitas internasional yang sudah muak dengan narasi perdamaian palsu," kata Dr. Federica Bicchi, pakar hubungan internasional dari London School of Economics, kepada DW. "Ini melemahkan kredibilitas Israel di panggung global."

Respons Pemerintah dan Publik

Pemerintah Israel, melalui juru bicara Kantor Perdana Menteri, membela langkah Netanyahu. "Perdana Menteri hanya mengakui kontribusi luar biasa Presiden Trump dalam memajukan perdamaian global, termasuk di Timur Tengah," ujar pernyataan resmi, seperti dilansir The Times of Israel. 

Namun, pernyataan ini tidak menyebutkan detail pencapaian konkret Trump dalam konteks Gaza.

Di kubu Trump, Gedung Putih belum memberikan komentar resmi, tetapi sumber internal menyebut presiden "sangat menghargai" nominasi tersebut. 

Menurut CNN, Trump berharap kesepakatan gencatan senjata di Doha bisa menjadi "kemenangan diplomatik" yang mendongkrak citranya, meski sejauh ini hasilnya nihil.

Reaksi publik, terutama di media sosial dan platform seperti X, didominasi oleh kecaman. Aktivis hak asasi manusia seperti Hamdah Salhut dari Al Jazeera menyebut nominasi ini sebagai "penghinaan terhadap korban Gaza." 

Tagar #NobelHypocrisy sempat trending di X, mencerminkan kemarahan global terhadap apa yang dilihat sebagai manipulasi narasi perdamaian.

Pemerintah Palestina, melalui juru bicara Hamas, Ismail Haniyeh, mengecam nominasi ini sebagai "lelucon tragis." 

Dalam pernyataan kepada Al Jazeera, Haniyeh berkata, "Mereka berbicara tentang perdamaian sambil membunuh anak-anak kami. Dunia harus membuka mata terhadap kemunafikan ini."

Di Mana Perdamaian Sejati?

Langkah Netanyahu mencalonkan Trump untuk Nobel Perdamaian adalah cerminan dari politik panggung yang kini mendominasi diplomasi Timur Tengah. 

Di satu sisi, kedua pemimpin berupaya memoles citra mereka sebagai pembawa damai. Di sisi lain, Gaza terus berdarah, dengan korban jiwa bertambah setiap hari dan harapan gencatan senjata semakin memudar.

Dampak jangka panjang dari manuver ini tidak hanya terbatas pada Gaza, tetapi juga pada kredibilitas diplomasi internasional. Ketika penghargaan sekelas Nobel Perdamaian dijadikan alat tawar-menawar politik, nilai perdamaian itu sendiri direndahkan. 

Seperti kata Dr. Pinkas, "Perdamaian bukanlah hadiah yang bisa diberikan di meja makan. Perdamaian adalah proses panjang yang membutuhkan keberanian, bukan pencitraan."

Sementara dunia menunggu hasil negosiasi di Doha, satu hal tampak jelas: panggung politik Netanyahu dan Trump mungkin bercahaya, tetapi di Gaza, kegelapan masih menyelimuti jutaan nyawa yang terluka.