Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa Palestina tidak akan pernah memiliki kendali atas keamanan, meski diberi hak mengatur pemerintahan sendiri.

Dalam pertemuan yang sarat simbolisme kekuasaan dan arah baru diplomasi Timur Tengah, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyampaikan pernyataan tegas: Palestina boleh mengatur dirinya sendiri, tapi tidak akan pernah mengendalikan keamanannya. 

Dalam jumpa pers bersama Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Gedung Putih, Senin (8/7), Netanyahu menegaskan bahwa kendali militer dan keamanan akan tetap menjadi hak eksklusif Israel apa pun bentuk solusi politik yang mungkin ditawarkan.

“Saya pikir Palestina seharusnya memiliki semua kekuasaan untuk mengatur diri mereka sendiri, tapi tidak memiliki kekuasaan untuk mengancam kami,” ujarnya. “Itu berarti kekuasaan berdaulat seperti keamanan secara keseluruhan akan selalu tetap di tangan kami.”

Pernyataan itu menegaskan kembali posisi Israel yang telah lama menolak gagasan negara Palestina sepenuhnya berdaulat. 

Namun yang mencengangkan, Presiden Trump—yang dikenal vokal dan pro-Israel selama masa jabatannya—menolak memberikan sikap resmi AS terhadap solusi dua negara. 

Ketika ditanya wartawan, Trump hanya berkata singkat, “I don’t know,” lalu menyerahkan mikrofon kepada Netanyahu.

"Setelah 7 Oktober, Kami Tidak Akan Ambil Risiko Lagi"

Netanyahu tidak datang ke Washington dalam ruang hampa. Serangannya terhadap ide kedaulatan Palestina dibingkai dalam konteks tragedi serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan 1.200 orang Israel dan menculik lebih dari 250 lainnya.

“Setelah 7 Oktober, orang-orang mengatakan Palestina sudah punya negara-negara Hamas di Gazadan lihat apa yang mereka lakukan: membangun terowongan, menyerang warga sipil, membantai, memperkosa, memenggal,” tegas Netanyahu dengan nada getir. “Itu kejahatan seperti yang tidak terlihat sejak Holocaust.”

Sejak serangan tersebut, Israel melancarkan ofensif militer besar-besaran di Jalur Gaza. Data dari Kementerian Kesehatan Gaza menyebutkan lebih dari 57.000 warga Palestina tewas, sebagian besar perempuan dan anak-anak, serta jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal. 

Meski dikecam internasional, Israel tetap bersikukuh bahwa operasi militer tersebut adalah bentuk "pertahanan eksistensial."

Solusi Dua Negara yang Kian Jauh

Pernyataan Netanyahu dan sikap ambigu Presiden Trump dinilai sebagai pukulan baru terhadap prospek solusi dua negara yang sejak lama menjadi agenda utama diplomasi Timur Tengah. Harapan bahwa Amerika Serikat akan kembali memainkan peran sebagai mediator netral semakin pudar.

“Dengan pernyataan seperti itu, Netanyahu pada dasarnya mengubur solusi dua negara,” ujar Dr. Youssef Al-Habib, pengamat politik Timur Tengah dari King’s College London. “Ia tidak hanya menolak kedaulatan Palestina, tapi juga menyatakan Israel akan terus mengontrol wilayah tanpa memberikan hak yang setara. Ini adalah formula abadi untuk konflik.”

Sementara itu, Profesor Deborah Stein dari Universitas Tel Aviv menyebut bahwa pendekatan ini “bisa diterjemahkan sebagai bentuk apartheid modern,” mengingat kontrol satu pihak atas populasi lain tanpa representasi atau kedaulatan sejati.

Kunjungan Netanyahu terjadi saat kawasan Timur Tengah kembali berada di ujung tanduk. Di Qatar, perundingan tidak langsung antara Israel dan Hamas tengah berlangsung dengan mediasi dari pemerintahan Trump. 

Namun pernyataan keras Netanyahu bisa memperumit jalannya negosiasi gencatan senjata dan pembebasan sandera.

“Setiap kali ada pernyataan seperti ini, kredibilitas proses diplomatik terguncang,” kata Rami Khouri, analis hubungan internasional asal Lebanon. “Pesan yang dikirim ke rakyat Palestina dan negara-negara Arab adalah bahwa tidak ada ruang untuk keadilan atau kompromi.”

Di sisi lain, sejumlah negara Teluk seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accords kini berada dalam tekanan domestik. 

Masyarakat sipil di negara-negara tersebut semakin vokal menentang kerja sama dengan Israel, terutama setelah laporan kerusakan infrastruktur sipil di Gaza dan tewasnya ribuan anak-anak.

Ancaman Aneksasi: Dari Retorika ke Rencana

Pernyataan Netanyahu juga memperkuat dorongan dari internal pemerintahannya untuk segera menganeksasi wilayah Tepi Barat. Sejumlah anggota parlemen dari Partai Likud dilaporkan tengah menyusun rencana percepatan aneksasi sebelum parlemen (Knesset) memasuki masa reses akhir Juli.

Langkah ini dinilai akan memperburuk posisi Israel di mata dunia. Uni Eropa dan sejumlah negara anggota PBB sebelumnya telah memperingatkan bahwa aneksasi sepihak akan menjadi pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional, terutama Resolusi PBB 242 dan 338 yang menekankan penarikan Israel dari wilayah yang diduduki sejak 1967.

“Jika aneksasi dilaksanakan, maka itu bukan hanya akhir dari solusi dua negara—itu adalah awal dari konflik terbuka dan mungkin kekerasan baru di seluruh kawasan,” kata Tamara Cofman Wittes, mantan pejabat diplomasi AS era Obama.

AS Tidak Lagi Jadi Penengah?

Presiden Trump, yang pernah membanggakan keberhasilan membawa negara-negara Arab berdamai dengan Israel pada masa jabatan pertamanya, kini terlihat enggan kembali mengambil peran diplomatik aktif dalam konflik Palestina-Israel. 

Sebaliknya, ia lebih fokus pada stabilitas kawasan sebagai bagian dari kepentingan keamanan nasional AS dan kestabilan pasar energi global.

Namun ketidakjelasan posisi AS juga menimbulkan tanda tanya besar: apakah Washington masih bisa dipercaya sebagai penengah yang adil?

“Netanyahu memanfaatkan kekosongan sikap ini dengan sangat efektif. Ia tahu Trump tidak akan menantangnya secara terbuka,” ujar Dr. Steven Cook dari Council on Foreign Relations. “Tapi dalam jangka panjang, ini bisa merusak legitimasi AS sebagai aktor global yang dipercaya semua pihak.”

Palestina: Kedaulatan Semu, Negara Tanpa Tentara

Dengan tidak adanya prospek kedaulatan penuh, rakyat Palestina menghadapi kemungkinan hidup dalam sistem pemerintahan yang hanya sebatas administratif. 

Mereka bisa mengelola pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar—namun tidak memiliki hak atas ruang udara, perbatasan, atau angkatan bersenjata.

“Ini bukan kedaulatan. Ini otonomi terbatas yang dikendalikan dari luar,” ujar Hanan Ashrawi, mantan negosiator Palestina. “Dan jika dunia menerimanya begitu saja, maka kita semua berpartisipasi dalam menciptakan sistem ketidakadilan permanen.”

Netanyahu menutup konferensi persnya dengan kalimat yang merujuk pada trauma sejarah bangsa Yahudi. “Orang akan berkata, ‘Itu bukan negara penuh.’ Kami tidak peduli. Kami telah bersumpah ‘tidak akan pernah lagi.’ Dan janji itu berlaku sekarang. Itu tidak akan terjadi lagi.”

Namun bagi sebagian besar pengamat, yang semakin jelas bukan hanya sikap Israel terhadap Palestina, tetapi juga arah baru diplomasi global yang semakin ditentukan oleh kekuatan, bukan kompromi.

Dan bagi rakyat Palestina, mimpi tentang tanah air merdeka kini terasa semakin jauh, tertutup oleh dinding beton, penjagaan bersenjata, dan keheningan dunia internasional.