Harga mobil listrik bekas di Indonesia anjlok hingga ratusan juta dalam setahun karena baterai mahal dan masa pakai terbatas. (Bisnis/M. Faisal nur Ikhsan)

Membeli mobil listrik di Indonesia kini dihadapkan pada kenyataan pahit: nilainya anjlok drastis hanya dalam setahun pemakaian. Meski kilometer masih rendah dan kondisi fisik terjaga, harga jual kembali mobil listrik seperti BYD Seal, Hyundai Ioniq 5, atau Chery J6 bisa turun hingga ratusan juta rupiah. 

Fenomena ini bukan sekadar soal pasar, melainkan cerminan tantangan besar dalam adopsi kendaraan ramah lingkungan: baterai yang mahal dan ketidakpastian masa pakainya.

Pasar mobil listrik bekas di Indonesia sedang mengalami guncangan. Berdasarkan pantauan di situs jual beli online, harga mobil listrik bekas merosot tajam meski usia pakai baru setahun. 

Contohnya, BYD Seal Premium yang dibanderol Rp639 juta saat baru kini hanya laku sekitar Rp530 juta, rugi Rp109 juta. Lebih ekstrem, Hyundai Ioniq 5 Signature Long 2024 yang baru dibeli Rp844,6 juta kini dihargai Rp580 juta, anjlok Rp264,6 juta. Chery J6 2024 juga tak luput, turun dari Rp505,5 juta menjadi Rp450 juta.

“Karena baterainya,” tegas Evvy Kartini, pendiri National Battery Research Institute, dalam wawancara dengan CNN Indonesia, Senin (7/7). 

Menurutnya, depresiasi ini bukan karena bodi atau fitur, melainkan kekhawatiran pembeli terhadap sisa masa pakai baterai. 

“Misal mobil listrik dipakai tiga tahun, pembeli bekas akan menghitung sisa masa pakai baterai, mungkin hanya dua tahun. Ganti baterai harganya setengah mobil, jadi harga jual jatuh,” jelasnya.

Baterai mobil listrik memiliki siklus pengisian terbatas, rata-rata 1.000 siklus. Jika sudah terpakai separuh, performa baterai menurun, dan biaya penggantian yang bisa mencapai ratusan juta menjadi momok. 

Berbeda dengan mobil bensin atau diesel yang mesinnya relatif stabil, performa mobil listrik bergantung pada baterai, yang menjadi komponen termahal, mencakup hingga 50% nilai kendaraan.

Pasar Baru, Masih Abu-Abu

Fenomena ini bukan sekadar dinamika pasar lokal. Indonesia sedang berada di tahap awal adopsi mobil listrik, dengan penjualan yang baru melonjak sejak insentif pemerintah diberlakukan pada 2023. 

Pemerintah menargetkan 2 juta mobil listrik dan 12 juta sepeda motor listrik di jalan pada 2030, didukung insentif seperti pembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) 2024, pengurangan PPN dari 11% menjadi 1%, dan pembebasan pajak impor hingga akhir 2025. Namun, insentif ini lebih fokus pada pembelian baru, bukan menjaga nilai jual kembali.

Infrastruktur pengisian daya juga masih terbatas. Hingga Juli 2025, baru ada sekitar 2.000 stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) di Indonesia, jauh dari target 32.000 pada 2030. 

“Ketidakpastian soal infrastruktur dan masa pakai baterai membuat konsumen ragu membeli mobil listrik bekas,” ujar Andi Wijaya, ekonom otomotif dari Universitas Indonesia. “Pasar bekas mobil listrik di Indonesia belum matang, dan ini memperburuk depresiasi.”

Secara global, tren serupa juga terlihat. Studi iSeeCars (Maret 2025) menunjukkan mobil listrik kehilangan nilai rata-rata 58,8% dalam lima tahun, jauh di atas mobil hybrid (40,6%) atau rata-rata industri (45,6%). 

“Perkembangan teknologi baterai yang cepat membuat model lama cepat usang,” kata Andi. Di Indonesia, faktor ini diperparah oleh minimnya kepercayaan konsumen terhadap baterai bekas dan kurangnya standar pengujian kondisi baterai.

Dampak Ekonomi: Konsumen Rugi, Industri Terhambat

Depresiasi yang tinggi memiliki efek domino. Bagi konsumen, kerugian finansial langsung terasa. “Bayangkan, baru setahun pakai, rugi Rp200 juta. Ini membuat orang berpikir ulang untuk beralih ke mobil listrik,” kata Rina, seorang pengguna Hyundai Ioniq 5 di Jakarta, yang kini kesulitan menjual mobilnya. 

Bagi industri, fenomena ini bisa memperlambat adopsi kendaraan listrik, yang menjadi kunci target netralitas karbon Indonesia pada 2060.

Dari sisi ekonomi, pasar mobil bekas yang lemah juga memengaruhi daya tarik investasi di sektor otomotif listrik. “Investor akan ragu jika pasar sekunder tidak stabil,” ujar Dwi Susanto, analis pasar dari Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI. 

Ia menambahkan bahwa depresiasi tinggi bisa menekan permintaan mobil baru, karena konsumen khawatir tentang nilai jual kembali di masa depan.

Secara geopolitik, ketergantungan Indonesia pada impor baterai—terutama dari Tiongkok—meningkatkan risiko. Harga baterai yang mahal dan kurangnya fasilitas daur ulang lokal membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global, seperti litium dan nikel. 

“Jika kita tidak segera membangun ekosistem daur ulang baterai, kita akan terus bergantung pada impor, dan ini akan memperburuk masalah depresiasi,” kata Dwi.

Baterai Harus Jadi Solusi, Bukan Masalah

Respons pemerintah terhadap masalah ini masih terbatas. Kementerian Perindustrian berfokus pada percepatan pembangunan SPKLU dan insentif pembelian, tetapi belum ada kebijakan khusus untuk menangani depresiasi mobil listrik bekas. 

“Kami sedang mempelajari standar pengujian baterai untuk meningkatkan kepercayaan konsumen,” ujar juru bicara Kementerian Perindustrian, tanpa merinci jadwal implementasi.

Pelaku industri juga mulai bergerak. Beberapa merek, seperti BYD, menawarkan garansi baterai hingga delapan tahun, meski ini belum cukup menenangkan pembeli bekas. 

“Garansi panjang bisa membantu, tapi tanpa standar transparansi soal kondisi baterai, pasar bekas tetap sulit berkembang,” kata Evvy Kartini. 

Ia menyarankan pemerintah dan industri berkolaborasi untuk mengembangkan teknologi daur ulang baterai lokal dan sertifikasi kondisi baterai, seperti yang mulai diterapkan di Eropa.

Di pasar global, solusi serupa mulai muncul. Ferrari, misalnya, memperpanjang garansi baterai untuk mobil hibridanya hingga 2025, sementara Norwegia menerapkan standar pengujian baterai untuk mobil bekas (GovTech, Agustus 2024). Indonesia bisa meniru langkah ini untuk membangun kepercayaan pasar.

Depresiasi mobil listrik yang tinggi bukan hanya soal kerugian finansial, tetapi juga tantangan bagi visi Indonesia menuju transportasi berkelanjutan. Pemerintah perlu melangkah lebih jauh dari insentif pembelian, menuju kebijakan yang mendukung pasar sekunder, seperti standar pengujian baterai atau subsidi daur ulang. 

Bagi konsumen, membeli mobil listrik kini harus diimbangi dengan perencanaan jangka panjang—mungkin lebih cocok bagi mereka yang berniat memakai kendaraan hingga akhir masa pakainya.

“Jika baterai bisa dijamin lebih tahan lama atau didaur ulang dengan biaya murah, mobil listrik bekas bisa jadi pilihan menarik,” kata Andi Wijaya. Tanpa solusi ini, mimpi Indonesia memiliki 2 juta mobil listrik pada 2030 bisa terhambat oleh ketidakpastian pasar.