Pemerintah Polandia mengejutkan Eropa dengan keputusan mengirim hingga 5.000 personel militer ke perbatasan Jerman dan Lithuania mulai 7 Juli 2025. Langkah ini diumumkan pada Jumat (4/7/2025), sebagai respons atas melonjaknya arus migrasi ilegal yang disebut-sebut dipicu oleh kebijakan Jerman yang mengembalikan para migran ke wilayah Polandia.
Polandia memperketat pengawasan dengan mengerahkan drone dan mendirikan 52 pos pemeriksaan—16 di antaranya permanen—di sepanjang perbatasan Jerman.
Di sisi perbatasan Lithuania, 13 titik dijaga ketat. Perdana Menteri Donald Tusk menegaskan sikapnya, “Kesabaran Polandia sudah habis.” Lalu apa yang sebenarnya memicu konflik ini, dan sejauh mana dampaknya bagi Uni Eropa?
Masalah bermula sejak Jerman memperketat kontrol perbatasan pada Mei 2025. Berlin menolak masuk 5.960 migran, termasuk 330 pencari suaka. Dari jumlah itu, 110 orang dikembalikan ke Polandia.
Meski pengadilan Berlin menilai kebijakan ini melanggar aturan suaka Uni Eropa, Kanselir Jerman Friedrich Merz tetap bergeming. Ia menyebut sistem Schengen disalahgunakan oleh jaringan migran ilegal. Untuk itu, Jerman menurunkan 14.000 petugas, termasuk 3.000 tambahan, demi memperketat penjagaan.
Sementara itu, Polandia merasa terdesak. Selain tekanan dari barat, mereka juga menghadapi arus migran dari Rusia dan Belarus melalui Lithuania.
Dalam Operasi “Safe West,” Warsawa mengerahkan ribuan personel dari Pasukan Pertahanan Teritorial, Polisi Militer, hingga Angkatan Udara. Teknologi pengawasan pun diterapkan untuk memantau setiap celah di perbatasan.
Di kawasan Baltik, Tusk menyoroti lemahnya pengamanan—hanya dua dari 13 pos pemeriksaan yang bersifat permanen.
Kegagalan Sistem Asil Eropa?
Menurut Dr. Anna Kowalska, pakar geopolitik Universitas Warsawa, situasi ini mencerminkan kegagalan solidaritas Uni Eropa.
“Aturan Dublin memberatkan negara-negara perbatasan seperti Polandia, sementara negara seperti Jerman justru cenderung menghindar dari tanggung jawab,” ujarnya.
Winfried Kluth, ahli hukum migrasi dari Universitas Hamburg, menambahkan bahwa migran kini berisiko terjebak dalam “pengungsi tanpa negara”—karena tak ada yang memproses permohonan suaka mereka.
Ia mengingatkan, “Jerman mungkin melanggar Konvensi Jenewa, tapi reaksi Polandia juga berisiko menggerus prinsip Schengen.”
Ketegangan ini turut mengganggu lalu lintas barang. Perdagangan antara Polandia dan Jerman yang nilainya mencapai €150 miliar per tahun kini terdampak.
Penundaan di jalur strategis A2 bisa menaikkan ongkos logistik hingga 5%, memukul sektor otomotif dan UKM. Di sisi lain, pengeluaran Jerman untuk mengerahkan 14.000 petugas mencapai €200 juta per tahun—beban tambahan bagi anggaran negara.
“Jika ini terus berlanjut, dampaknya bisa terasa ke seluruh zona Schengen,” ujar Dr. Hans Müller dari Institut Ekonomi Berlin.
Retakan Makin Terlihat di Tubuh Uni Eropa
Situasi ini menciptakan ketegangan politik di dalam negeri masing-masing. Di Polandia, pemerintah Tusk dikritik keras oleh oposisi konservatif PiS yang menuduhnya lemah dalam menjaga kedaulatan.
Di Jerman, Merz menghadapi tekanan dari Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) yang menuntut kebijakan imigrasi yang lebih ekstrem. Tusk juga menuding Rusia dan Belarus memanfaatkan krisis migran ini sebagai bentuk “perang hibrida” untuk mengacaukan kawasan Baltik.
“Sayangnya, baik Tusk maupun Merz terjebak dalam dinamika politik dalam negeri,” kata Kowalska.
Antara Diplomasi dan Ketegangan
Warsawa menyatakan pengerahan militer ini bersifat sementara dan bukan provokasi. “Kami hanya membela hak kami,” ujar juru bicara Kementerian Pertahanan Polandia, Jan Kowalski.
Sementara itu, Merz membuka ruang dialog antarkementerian, namun menolak tuduhan pelanggaran hukum Eropa. Dari sisi Uni Eropa, Komisaris Ylva Johansson hanya menyerukan koordinasi, tanpa menyodorkan solusi konkret.
Anggota parlemen Jerman, Adis Ahmetović, mendorong pertemuan darurat demi mencegah kebijakan masing-masing negara makin keras.
Krisis di perbatasan Polandia-Jerman ini menyoroti dilema abadi Eropa: bagaimana menyeimbangkan solidaritas regional dengan kepentingan nasional. Dengan ribuan pasukan bersiaga dan para migran terjebak di tengah, perbatasan itu kini menjadi simbol rapuhnya persatuan Uni Eropa.
0Komentar