Presiden AS Donald Trump ancam tarif impor farmasi hingga 200%. Indonesia terancam tarif 32% mulai 1 Agustus, Menko Airlangga Hartarto terbang ke Washington untuk negosiasi darurat. (NDTV)

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif impor setinggi 200% terhadap produk farmasi dan 50% terhadap tembaga. Sementara itu, Indonesia jadi salah satu negara yang terdampak langsung bahkan terancam diberlakukan tarif 32% mulai 1 Agustus 2025. 

Sebagai langkah darurat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto langsung terbang ke Washington DC untuk melakukan negosiasi tingkat tinggi.

Berikut adalah enam perkembangan terbaru dalam konflik dagang yang kembali menguat ini:

1. Trump Umumkan Tarif 200% untuk Farmasi, 50% untuk Tembaga

Dalam rapat kabinet di Gedung Putih, Trump menyatakan niat untuk menaikkan tarif impor secara drastis. 

Produk farmasi dikenai ancaman tarif hingga 200%, namun akan diberlakukan dalam 12 hingga 18 bulan ke depan, menunggu hasil kajian dari U.S. Trade Representative dan Departemen Perdagangan. 

Sementara, tembaga langsung dikenakan tarif 50%, kebijakan yang disebut Trump sebagai bagian dari “perlindungan industri dalam negeri dari kompetisi tidak adil.”

2. PM Malaysia Kecam Kebijakan Dagang AS

Reaksi keras datang dari kawasan Asia Tenggara. Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyebut kebijakan Trump sebagai “alat tekanan geopolitik, bukan kebijakan ekonomi yang sehat.” Pernyataan itu disampaikan saat forum ASEAN di Kuala Lumpur, bertepatan dengan kehadiran Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio.

3. Indonesia Kirim Airlangga ke Washington DC

Tak tinggal diam, Indonesia langsung kirim Airlangga Hartarto untuk melakukan diplomasi ekonomi darurat. Ia dijadwalkan bertemu dengan Jamieson Greer (USTR), Howard Lutnick (Menteri Perdagangan AS), dan Scott Bessent (Menteri Keuangan AS). Misi utamanya: membatalkan rencana tarif 32% atas ekspor RI yang berlaku mulai 1 Agustus.

Sebagai kompensasi, pemerintah Indonesia berjanji akan meningkatkan impor dari AS senilai US$ 34 miliar, termasuk pembelian pesawat Boeing dan kedelai.

4. AS Beri Waktu Tambahan hingga 1 Agustus

Di tengah tekanan diplomatik, AS menyepakati untuk menunda implementasi tarif hingga awal Agustus. Wakil Menteri Luar Negeri RI Arif Havas Oegroseno menyebut keputusan ini memberi “ruang negosiasi lanjutan,” meski Indonesia tetap harus bersiap jika pembicaraan gagal.

Negara lain juga jadi target tarif baru: Jepang dikenai 24%, Korea Selatan 25%, dan negara anggota BRICS tambahan 10% sebagai sanksi atas “kebijakan anti-Amerika.”

5. Pasar Saham Asia Cuek, Investor Malah Masuk

Meski tensi perdagangan meningkat, pasar saham Asia relatif stabil. Analis senior Carol Fong dari CGS International mencatat adanya pergeseran portofolio investor global ke Asia karena “arus investasi asing langsung (FDI) yang kuat dan prospek pertumbuhan India.” Reaksi pasar ini mencerminkan kepercayaan bahwa kawasan Asia mampu bertahan dari guncangan proteksionisme AS.

6. BRICS Disasar Trump, Ketegangan Global Melebar

Selain Indonesia, negara-negara BRICS lain seperti Brasil, Rusia, India, dan China juga jadi sasaran tarif baru. Trump menuding kelompok ini mempromosikan agenda “anti-Amerika” setelah pernyataan bersama mereka di KTT BRICS Rio de Janeiro yang mengecam kebijakan dagang AS.

Tambahan tarif 10% untuk negara-negara BRICS dinilai sebagai bentuk eskalasi serius. Konflik dagang ini tak lagi sekadar ekonomi, tetapi juga bagian dari persaingan geopolitik global.

Kritik Publik dan Tekanan Domestik

Di dalam negeri, langkah Airlangga memicu pro dan kontra. Tagar #TarifBalasan sempat trending di media sosial, dengan banyak warganet menilai negosiasi ini “terlambat dan lemah.” 

Beberapa pihak menyerukan Indonesia agar “tidak ragu memberlakukan tarif balasan,” mengikuti langkah negara lain yang lebih agresif dalam merespons tekanan perdagangan AS.

Dengan tenggat waktu hanya tiga pekan menuju 1 Agustus, tekanan terhadap pemerintah Indonesia kian besar. Negosiasi Airlangga akan jadi penentu, apakah RI mampu lolos dari tarif 32% atau justru masuk dalam daftar panjang negara yang jadi korban proteksionisme Trump Jilid Dua.